News

Pernyataan Jokowi Boleh Kampanye dan Memihak, Puan: Berkaitan Dukungan ke Prabowo-Gibran


Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani menyikapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal boleh ikut berkampanye dan juga memihak dalam Pemilu 2024 dengan alasan aturannya ada di dalam Undang-undang Pemilu. Puan menyerahkan hal tersebut kepada rakyat terkait pemberian dukungan Presiden Jokowi kepada pasangan capres-cawapres. 

“Biar rakyat yang menilai, sebaiknya itu, presiden itu apakah menjadi Presiden Republik Indonesia ataukah kemudian diperbolehkan untuk memihak,” kata Puan seusai menghadiri acara memperingati Harla PPP ke-51 tahun di GOR Sudiang, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/1/2024).

Sebab, kata Puan, hal ini berkaitan dengan pemberian dukungan kepada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Gibran merupakan anak sulung dari Jokowi.

Sebelumnya Presiden Jokowi mengatakan seorang presiden atau menteri boleh berkampanye dan juga boleh memihak dalam gelaran Pilpres 2024 asalkan tak menggunakan fasilitas negara. Ucapan tersebut ia sampaikan di hadapan Menteri Pertahanan (Menhan) sekaligus capres nomor urut 2, Prabowo Subianto.

“Presiden tuh boleh lho kampanye, Presiden boleh memihak, boleh,” ujar Jokowi di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Pernyataan Jokowi tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak yang menilai Jokowi kian nyata ikut “cawe-cawe” berupaya memenangkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut Jokowi telah melakukan suatu perbuatan yang tercela dan melanggar hukum terkait dengan pernyataannya bahwa presiden dibolehkan berkampanye dan memihak pada Pemilu 2024.

“Kalau kita pakai (frasa) perbuatan tercela pun, itu sudah masuk (untuk dilakukannya pemakzulan), kalau menurut saya. Karena perbuatan tercela itu jangan dianggapnya seperti perbuatan tercela untuk rakyat jelata, kayak kita nih misalnya,” kata Bivitri dalam diskusi bertajuk ‘Pemilu Curang Menyoal Netralitas Presiden hingga Laporan Kemhan ke Bawaslu’ di Jakarta, Kamis (25/1/2024).

“Kalau melihat presiden, kita harus lihat dalam konteks jabatannya, apa yang patut dan tidak patut dilakukan dalam jabatan itu. Nah patut, tidak patutnya di mana letaknya? Juga akan terlihat dalam prinsip-prinsip konstitusionalisme,” lanjut pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera itu.

Dengan begitu, kata Bivitri, Presiden Jokowi sudah memenuhi syarat untuk dimakzulkan setelah menyatakan presiden dibolehkan berkampanye dan memihak. “Kalau pertanyaannya apakah sudah memenuhi syarat untuk pemakzulan atau belum, kalau menurut saya sudah,” ujar Bivitri, menekankan.

Hal tersebut, menurut Bivitri, merujuk pada UUD 1945 Pasal 7A yang menyebut presiden dapat diberhentikan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya.

 

 

 

Back to top button