Kanal

Kekejaman Pengusiran Warga, Warisan yang ‘Dilestarikan’ dari Zaman ke Zaman

Kasus kekerasan terhadap warga Rempang, Kepulauan Riau yang tidak rela tempat tinggalnya digusur menyisakan pertanyaan mengapa pengusiran selalu diiringi dengan kekerasan aparat? Setiap rezim yang memerintah di negara ini selalu mengandalkan kekuatan polisi bahkan melibatkan TNI. Warisan yang terus ‘dilestarikan’ sejak zaman kolonial, orde lama, orde baru hingga saat ini.

Menarik mengutip sepenggal pidato Presiden Sukarno saat menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1960. Berikut kutipannya “Tanah tidak boleh menjadi alat pengisapan! Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringatnya orang-orang [yang] diserahi menggarap tanah itu.” 

Pidato berjudul “Laksana Malaekat yang Menyerbu dari Langit, Jalan Revolusi Kita” itu dibacakan satu bulan sebelum peristiwa pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang pertama. Melalui reformasi agraria, praktik pengisapan tenaga petani akibat kolonialisme dan feodalisme diharapkan segera dihapus. 

Landreform di satu fihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di lain fihak landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani,” kata Bung Karno.

Ternyata isi pidato Sang Proklamator ini hanya sekadar catatan sejarah tanpa makna. Sejak zaman kolonial, berlanjut ke orde lama, orde baru hingga kini di era yang dipimpin rezim yang menjadikan ideologi Bung Karno sebagai pijakan utama, masih terus terjadi. Seperti yang terjadi di kasus Rempang, Kepulauan Riau baru-baru ini ketika warganya diusir dengan kekerasan oleh aparat atas nama investasi yang nota bene perpanjangan tangan investor asing.

Era Feodal dan Kolonial

Kekejaman dalam kasus tanah seperti mengulang sejarah. Dimulai sejak di era feodal, yakni tanah adalah hak milik raja. Para raja berhak mendistribusikannya kepada siapa saja dan dapat menariknya kembali kapan saja atau bila dianggap perlu. Konflik sosial muncul biasanya ketika raja mempunyai program besar seperti perencanaan istana, jalan, pengairan, atau gedung.

Berlanjut di era kolonial, kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) dan sistem pajak yang diterapkan Van den Bosch sejak 1830 memaksa petani menanami sepertiga tanahnya dengan tanaman-tanaman yang ditentukan penjajah. Mereka juga dipaksa melakukan bentuk-bentuk kerja wajib sebagai ganti pajak yang seharusnya dibayarkan kepada negara.

post-cover
Ilustrasi sejumlah masyarakat adat mempertahankan tanah mereka. (Foto:Istimewa)

Pergantian pemerintahan Belanda dari tangan kaum konservatif ke tangan kaum liberal berpengaruh pada kebijakan pertanahan yang diterapkan di Hindia Belanda. Peran negara di sektor pertanian digantikan oleh swasta pemilik modal.

Penelitian Dr Ririn Darini dari Universitas Negeri Yogyakarta, bertema ‘Sengketa Agraria: Kebijakan dan Perlawanan Dari Masa ke Masa’, mengungkapkan, melalui Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang dikeluarkan tahun 1870 para pemodal asing memiliki kesempatan luas untuk mengusahakan perkebunan di Indonesia. Pemerintah kolonial menetapkan asas Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang dianggap sebagai domein atau milik negara.

“Aturan ini diterapkan agar pemerintah kolonial dapat memiliki tanah rakyat yang pada waktu itu hampir seluruhnya masih menerapkan sistem hukum adat. Dalam hal ini pemerintah kolonial dengan kekuatan modal yang sedang berkembang berusaha menyingkirkan petani dari sumber penghidupannya,” ungkap Dr Ririn dalam penelitiannya.

Sebagai akibatnya pada abad ke-19 dan 20 banyak terjadi perlawanan petani yang tersebar luas. Hal itu merupakan bentuk reaksi terhadap pemerasan yang berlebihan oleh perekonomian kolonial, dalam hal ini penghisapan oleh aparat pemerintah kolonial, pemilik modal, atau kerja sama antara keduanya.

James Scott, dalam bukunya Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, yang diterbikkan LP3ES, pada 1994, mengungkapkan, penghisapan merupakan faktor yang menentukan terjadinya pemberontakan petani. Dalam beberapa kasus fanatisme agama memainkan peran penting dalam pemberontakan petani. Beberapa kasus pemberontakan petani antara lain peristiwa Cikandi Udik (1845), kasus Bekasi (1868), kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904) dan pemberontakan Dermajaya (1907).

Beberapa kasus lain juga muncul berkaitan dengan penggusuran tanah garapan maupun perkampungan rakyat oleh perkebunan Belanda (onderneming) yang mengantongi hak erfpacht di beberapa daerah di Jawa Barat. Sejumlah sengketa pecah menjadi konflik terbuka, misalnya Peristiwa Langen di daerah Banjar, Ciamis (1905), Peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914), dan Peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).

Era Orde Lama ada Campur Tangan Parpol

Berakhirnya pemerintahan kolonial telah mewariskan permasalahan pertanahan bagi bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan, rakyat merasa bebas mendapatkan kembali tanah peninggalan nenek moyangnya yang selama ini dikuasai Belanda. Tanah-tanah perkebunan milik yang ditinggalkan Belanda dan menjadi terlantar kemudian diduduki oleh rakyat dan dijadikan lahan pertanian. Istilah yang dikenal pada saat itu adalah pendudukan liar oleh petani.

Dalam penelitian Dr Ririn juga juga terungkap, persoalan muncul ketika ditandatanganinya persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) memberikan pengakuan hak orang asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya. Pendudukan lahan oleh petani dengan demikian memiliki hukum semu sementara pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah.

Petani harus kecewa dengan adanya koalisi kekuatan ekonomi pengusaha perkebunan dengan kekuatan politik penguasa lokal. Pada saat itu pula, perlawanan petani semakin diperkuat dengan adanya kebebasan berorganisasi, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri), dan Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani). Organisasi-organisasi tersebut juga berafiliasi dengan partai politik sehingga perlawanan mereka semakin kuat seperti terbukti dengan terjadinya Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 yang menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo dan dibentuknya Kementrian Urusan Agraria. 

Kebijakan tanah yang bersifat populis lain pada era Orde Lama adalah dikeluarkannya Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UU No. 5 Tahun 1960). Undang-undang ini mendasarkan pada hukum adat yang telah disempurnakan sehingga segala bentuk hak-hak tanah di zaman Belanda dihapuskan dan diubah menjadi hak-hak yang diatur oleh UUPA. UUPA menetapkan pembatasan penguasaan tanah agar tidak merugikan kepentingan umum, melindungi hak-hak tanah perseorangan yang diletakkan dalam dimensi fungsional, yang berarti hak atas tanah mengacu pada kepentingan umum.

post-cover
Eigendom verponding, dokumen atas hak atas tanah warisan zaman kolonial, alias sertifikat tanah zaman Belanda. (Foto:Istimewa)

Para tuan tanah berusaha menghindari ketentuan-ketentuan UUPA dengan berbagai cara. Hal lain yang menarik dari masalah tanah pada saat itu adalah digunakannya pelaksanaan land reform sebagai strategi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menanamkan pengaruhnya di kalangan masyarakat pedesaan. PKI menggunakan isu land reform untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu tuan tanah “setan desa” dan petani.

Pada akhirnya terjadi konflik sosial antara para petani tak bertanah dengan tuan tanah ketika PKI dengan alasan bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan land reform, memaksakan pelaksanaan land reform melalui tindakan-tindakan aksi sepihak.

Era Orde Baru, Ekonomi Menjadi Panglima

Pemerintah Orde Baru cenderung melakukan kebijakan pembangunan dengan ekonomi sebagai panglima. Hal ini menyebabkan adanya perubahan persepsi terhadap fungsi tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat unik. Tanah dilihat sebagai sarana investasi dan alat akumulasi modal. 

Kebijakan pertanahan berubah dari kebijakan yang memihak kepentingan rakyat menjadi kepentingan kapitalis. UUPA tetap dipertahankan namun sejumlah undang-undang lain yang justru bertentangan dihadirkan. Misalnya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang memberikan kesempatan kepada berbagai kalangan untuk memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). 

Berlakunya undang-undang ini menyebabkan hak-hak masyarakat, misalnya hak-hak adat atas tanah atau hak ulayat menjadi terpinggirkan. Hak-hak mereka tergusur oleh kepentingan para pemilik modal. Pada periode ini konflik tidak lagi melibatkan petani kecil atau petani penggarap dengan tuan tanah melainkan antara pihak pemilik tanah (petani/rakyat) dengan pihak pemilik modal besar dan negara. 

Wilayah sengketanya semakin meluas, tidak hanya terjadi pada masyarakat pedesaan tetapi juga di perkotaan. Penggusuran lahan atau rumah tinggal di berbagai kota besar misalnya, yang digunakan untuk keperluan para pemilik modal, pengembang perumahan-perumahan mewah, maupun sejumlah proyek milik pemerintah. UU No. 20 Tahun 1961 mengenai Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya ditafsirkan sedemikian rupa sehingga dalam praktek, untuk kepentingan umum atau bahkan untuk kepentingan swasta, pejabat setingkat gubernur atau bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. 

Banyak konflik tanah yang berakhir dengan kekerasan. Yang paling ramai diperbincangkan adalah kasus Waduk Kedungombo, Jawa Tengah 1990-1993 yang akan selalu menjadi satu pelajaran betapa penguasa kurang memperhatikan dan melindungi hak-hak rakyat. Proyek Waduk Kedungombo dibangun dengan biaya 283,1 juta dolar AS dari Bank Dunia, Bank Exim Jepang, dan APBN. Waduk seluas 6.576 hektare di perbatasan Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali ini menyimpan cerita pilu yang masih membekas di hati warga yang rumah dan lahan pertaniannya harus tenggelam di dasar waduk. 

Air waduk telah menenggelamkan 37 desa di 7 kecamatan. Sebanyak 5.268 keluarga yang kehilangan rumah dan tanah terpaksa bertransmigrasi atau direlokasi ke daerah yang lebih tinggi. Tidak sedikit warga pemilik tanah tidak menerima uang kompensasi. Para korban pembangunan biasanya memang tIdak dapat membuktikan secara yuridis formal kepemilikannya sehingga tidak mempunyai daya tawar di hadapan “penguasa” dan investor. 

Perampasan Berlanjut Hingga Hari Ini

Perampasan hak atas tanah dengan kekerasan terus berlanjut sampai hari ini. Apalagi pemerintahan saat ini memiliki Omnibus Law UU Cipta Kerja yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menggusur lahan warga tanpa dipersulit pengurusan ganti rugi. Jika warga menolak pemberian ganti rugi yang disediakan, pemerintah tinggal menitipkan ganti rugi itu ke pengadilan negeri.

post-cover
Ilustrasi penolakan penggusuran. (Foto:BandungBergerak)

Pemerintah memiliki wewenang menggusur lahan manapun jika memenuhi syarat ‘untuk kepentingan umum’. Syarat kepentingan umum ini meliputi, untuk kawasan industri hulu dan hilir migas; kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, dan kawasan lainnya yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. Orang yang punya hak milik pun kalah kalau dikatakan untuk digunakan kepentingan umum.

Ini model penggusuran yang sistematik yang dilegalisasi oleh undang-undang sehingga tidak terkesan kotor. Padahal sama saja mengggusur paksa termasuk menghalalkan kekerasan dengan alasan pembangunan dan kepentingan umum.

Yang jelas, dari masa ke masa penggusuran selalu terjadi dengan beragam dalih, akan tetapi ujungnya sama yakni menambah kesengsaraan warga miskin. Penggusuran seakan menjadi teror yang tak pernah membuat rakyat tenang untuk tinggal di manapun.

Seperti menganut ideologi tumbal; hak orang miskin dihilangkan demi kepentingan kalangan menengah atas. Pemerintahan saat ini bukannya mengoreksi ketidakadilan yang dihadapi kaum miskin, tetapi justru melanggengkan ketidakadilan dan ikut melestarikan penggusuran dengan kekerasan yang sudah terjadi dari zaman ke zaman.

Back to top button