Kanal

Kasus Rempang: Cermin Orba di Meja Rias Jokowi

  Bagi jurnalis senior dan pengeliling Indonesia via sepeda motor dua kali, Farid Gaban, Rempang hanyalah satu kasus. Pengalamannya selama berkeliling Indonesia menunjukkan pola kekerasan aparat (negara) dalam proyek strategis nasional (PSN) seolah telah menjadi pola. “PSN menggusur warga itu cenderung pola umum ketimbang pengecualian,”kata Farid. Data KontraS menguatkan pernyataannya.

Bagi warga Pulau Rempang—dan warga negara Indonesia lainnya yang peduli, barangkali 7 September 2023 merupakan hari jahanam saat (ke)manusia(an) ditindas dan dicampakkan. Dalam peristiwa itu wajar ada kesan traumatis terhadap mereka yang berseragam.

Pasalnya, seakan-akan tak pernah mengecap bagaimana rasanya memiliki anak dan istri yang harus dilindungi, di hari itu para pria berseragam aneka rupa, mulai  Kepolisian Republik     Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Ditpam  Badan  Pengusahaan (BP) Batam, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), seakan berlomba-lomba unjuk keberingasan. Setidaknya, merujuk kepada laporan Solidaritas Nasional untuk Rempang, forum yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, WALHI Riau, Komisi untuk    Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Trend Asia, yang telah menerjunkan tim investigasi pada 11-13 September lalu, dan merilis sebagian hasilnya ke publik. 

Dalam rilis laporan bertajuk “Keadilan Timpang di Pulau Rempang—Temuan Awal Investigasi Atas Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM 7 September 2023 di Pulau Rempang”, Solidaritas Nasional menyimpulkan diduga kuat terjadi pelang-garan HAM pada peristiwa itu. “Berdasarkan berbagai fakta yang telah dipapar-kan di  atas, kami menyimpulkan bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa kekerasan di Rempang tanggal 7 September 2023 dan oleh  karenanya haruslah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana diatur  dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,” tulis laporan sepanjang 48 halaman tersebut, di bagian “Kesimpulan dan Desakan”.

Aksi berlebihan aparat 

Menurut laporan Solidaritas Nasional, pelanggaran HAM itu dapat dilihat dari sejumlah hal, seperti pengerahan kekuatan yang berlebihan yang mengakibatkan kekerasan, minimnya partisipasi   dan aksesibilitas terhadap informasi terkait investasi yang masuk, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polresta Barelang pasca-usainya aksi, terlanggarnya hak perempuan dan anak dalam kaitannya dengan konflik sosial, hilangnya rasa aman, serta merebaknya ketakutan yang terbangun secara massif di tengah-tengah warga Rempang, dan dikang-kanginya aspek bisnis dan HAM.

Solidaritas Nasional juga menilai, rentetan pelanggaran HAM yang  terjadi  di Rempang itu merupakan pelanggaran terhadap berbagai instrumen HAM nasional maupun internasional, seperti nilai HAM dalam Konstitusi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang  HAM, serta International Covenant on Civil and Political Rights, yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005. 

“Dari dua peristiwa, terjadi penahanan dua kelompok. Pertama delapan orang ditangkap pada peristiwa tanggal 7. Kemudian peristiwa 11 September, 34 ditangkap. Saya kira itu sudah menunjukan indikasi yang kuat terjadi pelanggaran hak asasi,”kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian. Alhasil, sebagaimana temuan yang berujung kesimpulan dan desakan Solidaritas Nasional, Komnas HAM pun meyakini adanya indikasi kuat pelanggaran HAM dalam konflik Rempang. Namun, kata Saurlin, Komnas HAM masih mendalami dugaan pelanggaran tersebut.

“Intinya kita perlu dalami, tapi indikasi kuat saya kira ada,” kata Saurlin kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2023).

Bila mencermati laporan hasil investigasi Solidaritas Nasional, wajar bila forum yang terdiri dari aneka lembaga pembela HAM terkemuka itu, pun demikian Komnas HAM, menyimpulkan adanya pelanggaran HAM. Lihat saja aneka fakta yang didapatkan di lapangan ini. 

Misalnya, dalam penggunaan gas air mata oleh Polisi yang segera dikritik publik, Polri, melalui beberapa pernyataan resmi, salah satunya lewat Kepala Biro Pelayanan Masyarakat Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan, menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa pada peristiwa Rempang, menurut Solidaritas Nasional, jelas keliru. “Selama dua hari, yakni  pada  11-12 September   2023, kami  berupaya mendata jumlah korban terdampak, dan menemukan setidaknya terdapat 20 orang yang terdampak baik secara fisik maupun psikologis,” tulis laporan Solidaritas. Solidaritas merilis ada 11 orang korban dari SMPN 22, yakni 10 murid dan seorang guru yang pingsan akibat menghirup gas air mata dan dilarikan ke RS Embung Fatimah. 

post-cover
Momen pilu saat seorang ayah mengendong bayinya yang terkena gas air mata, akibat dari bentrok pengosongan lahan di Pulau Rempang. (Foto:Tribun).

Guru tersebut pingsan karena sebagai penderita asthma, ia sangat sensitive terhadap gas kimia, termasuk gas air mata. Selain itu, ada seorang lansia Bernama Ridwan yang luka-luka dan wajah berlumuran darah akibat terkena peluru karet. Perlu 12 jahitan untuk menolongnya. Belum lagi korban di bawah usia, yakni seorang bayi delapan bulan, yang sempat tak bergerak dengan bola mata putih semua akibat gas air mata. 

 Jika Polri dalam beberapa kesempatan mengklarifikasi bahwa penggunaan gas air mata yang mereka lakukan telah       sesuai prosedur, di lapangan yang ditemukan lain. “Temuan lapangan, apa yang diungkapkan tersebut jelas keliru dan menyesatkan public,”tulis laporan Solidaritas. Menurut temuan mereka, penggunaan   gas air mata itu tidak dilakukan secara terukur. Salah satunya dibuktikan dengan ditembakkannya gas air mata ke lokasi yang tidak jauh dari gerbangSMPN 22 Galang dan SDN 24  Galang, yang menyebabkan siswa-siswa berlarian dan terdampak gas air mata.

Belum lagi aksi-aksi aparat yang layaknya terror terhadap warga. Misalnya, laporan menulis setidaknya terdapat 60 kendaraan yang dikerahkan aparat menuju lokasi pada  7 September itu. Kendaraan tersebut terdiri dari beberapa kendaraan taktis seperti mobil water cannon, mobil pengurai massa (Raisa), hingga APC Wolf. Sementara jumlah aparat yang diterjunkan, yang terkonfirmasi dari pernyataan Humas Polresta Barelang, sekitar 1010 personel dari berbagai institusi keamanan. 

“Jika  niat awal pengerahan hanya untuk mendampingi pematokan, tidak masuk akal bila kekuatan yang dikerahkan hingga puluhan mobil dan ribuan pasukan,”tulis laporan. ”Kami menyimpulkan bahwa pengerahan  di tanggal 7 September 2023 ke Pulau Rempang tidak sesuai dengan proporsionalitas dan necessitas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.”

Menurut Solidaritas, patroli, penjagaan dan dibangunnya posko oleh aparat di Rempang segera berdampak pada munculnya ketakutan di tengah masyarakat. Di lapangan, Solidaritas menemukan setidaknya lima posko penjagaan dengan masing-masing dihuni 20-30 aparat gabungan. “Ketakutan masyarakat semakin bertambah dengan lalu-lalangnya aparat di Pulau Rempang tanpa alasan yang jelas.    

Belum lagi, warga di 16  kampung Melayu Tua pun diusir secara perlahan atas nama relokasi,”tulis laporan. Ditambah dengan difungsikannya Kantor  Kecamatan Galang  sebagai tempat pendaftaran relokasi, plus posko keamanan di mana sejumlah aparat Satuan Brimob dengan senjata laras panjang dan motornya hilir-mudik, dianggap Solidaritas sebagai aksi yang berlebihan. 

Tidak heran bila dalam laporan itu kita dengan mudah menemukan pernyataan-pernyataan dalam bentuk bab, seperti “Teror Psikologis  oleh Negara (State Psychological Terror); Rempang Seperti Daerah Operasi  Militer Illegal; Brutali-tas Aparat dan Penggunaan Kekuatan Berlebihan, hingga Tak Kunjung ‘Taubat’ Gunakan Gas Air Mata; Potensi Memburuk dan Berlanjutnya Konflik, dan sebagainya. 

post-cover
Iswandi atau yang juga dikenal sebagai Abang Long atau Awi, salah seorang orator dalam unjuk rasa di Kantor BP Batam yang berakhir ricuh pada 11 September 2023, kini resmi berstatus sebagai tersangka. (Foto:Istimewa)

Belum lagi penangkapan delapan orang peserta aksi unjuk rasa oleh aparat yang tentu memperkuat ketakutan tersebut. Solidaritas menilai  penangkapan terhadap massa aksi yang tengah melontarkan pendapat tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. 

Solidaritas bahkan mempertanyakan profesionalisme aparat.”Pasal 66 Undang-Undang No.32 Tahun 2009 dengan jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,”kata Solidaritas dalam laporan mereka.

Panglima TNI Keseleo Lidah

Bila di publik berseliweran praduga bahwa kekerasan aparat di Rempang bukan tak mungkin sejatinya terencana, tampaknya hal itu datang seiring keseleo lidahnya Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono. Dalam sebuah video yang beredar di publik seiring memanasnya kasus Rempang, entah mengapa Panglima TNI menginstruksikan anak buahnya untuk ‘memiting’ warga dalam menangani urusan Rempang. 

“…Masyarakatnya seribu, kita keluarkan seribu. Satu miting satu itu, kan selesai. Tidak usah pakai alat, dipiting saja satu-satu,”kata Laksamana Yudo, dalam video yang beredar sekitar Jumat (15/9) dan segera berseliweran di media sosial itu. Tentu saja, jika awalnya hanya heran tak habis pikir, cepat sekali publik pun berubah mempertanyakan Panglima TNI dan pernyataannya itu. Belakangan, setelah persoalan justru dibikin runyam oleh pernyataan pers Kapuspen TNI, Laksda TNI Julius Widjojono yang diedarkan dua hari setelah beredarnya video, pada Selasa (19/9) Panglima TNI menyatakan permintaan maaf. 

Klarifikasi Laksda Julius dianggap memperkeruh, karena selain menilai ada kesalahpemahaman masyarakat atas pernyataan Panglima TNI, Julius pun mengatakan bahwa yang dimaksud ‘memiting’ oleh Panglima itu sejatinya ‘merangkul’ warga. Alhasil, boro-boro menjernihkan suasana, pernyataan itu, terutama soal interpretasi “piting” menjadi “rangkul”, itu pun justru dianggap banyak kalangan sebagai merendahkan intelektualitas warga Indonesia.

“Saya mohon maaf. Sekali lagi, saya mohon maaf atas pernyataan kemarin, yang mungkin masyarakat menilai salah (soal) dipiting. Itu saya nggak tahu, karena bahasa saya itu orang ndeso (kampung), yang biasa mungkin dulu waktu kecil kan sering piting-pitingan dengan teman saya. Saya pikir, dipiting lebih aman, karena memang kami tidak punya alat,” kata Laksamana Yudo.

Tidak semua dengan cepat memaafkan Jenderal Yudo. Salah satu di antaranya pakar semiotika dan pengajar Pasca-sarjana ITB, Bandung, Acep Iwan Saidi. Meski tidak tersurat, Acep seolah menyesalkan apologi ndeso yang diutarakan Yudo. “Ketika Yudo mengatakan bahwa dirinya “ndeso” sehingga memilih kata “piting” pada kasus Rempang, saya pikir itu malah menimbulkan soal lain. Ini jadi semacam “perendahan” terhadap sifat kedesaan,”kata Acep. 

Menurut Acep, bila memang mau minta maaf, tidak usahlah ditambahi dengan berbagai alasan susulan. “Bersalah, ya diakui saja khilaf. Manusia kan memang tidak ada yang sempurna,”kata Acep kepada Diana dari Inilah.com. “Ketika permintaan maaf diimbuhi berbagai alasan, secara semiotis itu menjadi tampak tidak ikhlas.”

Tentang kata “piting” sendiri, Acep melihatnya sebagai kata yang sudah sangat umum dengan makna leksikal yang jelas. “Maknanya di kamus, yakni menjepit dengan dua kaki atau tangan, biasanya untuk mematahkan yang dijepit. Dengan demikian, tanpa penjelasan kontekstual sebagai istilah, kita tidak bisa mengganti maknanya,”kata cendikiawan yang seringkali diminta sebagai penguji sidang doktoral di Universitas Indonesia dan Trisakti itu. Karena itu, menurut Acep, meski Yudo mungkin menggunakan istilah tersebut sebagaimana kebiasaan di TNI, hal itu tidak bisa digunakan dalam konteks lain. “Maka alasan Yudo yang disusulkan kemudian tersebut, saya pikir hanya jadi semacam alibi,”kata dia.

Bahasa yang digunakan Jenderal Yudo kemarin, menurut Acep, bukan bahasa rakyat. Setidaknya, bukan bahasa yang mencoba berempati pada rakyat, dalam hal ini khususnya warga Rempang dan Melayu secara umum. “Bahasa Jenderal Yudo, secara semiotis cenderung merupakan tanda yang merujuk kepada pejabat yang tidak mencoba memahami hati rakyat,”kata Acep.

Proyek Bakal Terus Jalan

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah bakal tetap mempercepat pembangunan Rempang Eco City di tengah konflik warga dengan aparat.

Bahlil berjanji negara akan menggunakan cara-cara yang lebih humanis dalam menghadapi masyarakat Pulau Rempang yang kudu direlokasi imbas proyek strategis nasional (PSN) ini. “Kami akan mengerahkan cara-cara yang lembut,” katanya di Batam, Kepulauan Riau, Senin (18/9/2023).

Ia menyebut total investasi yang sudah masuk, khususnya dari Xinyi Group, menyentuh lebih dari Rp300 triliun. Bahlil mengatakan pada tahap awal pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar setelah China ini akan masuk Rp175 triliun.

Menurutnya, gelontoran duit asing itu bakal berdampak positif terhadap capaian pendapatan negara. Bahlil juga mengklaim ada dampak yang akan dirasakan masyarakat setempat berupa melimpahnya lapangan pekerjaan. “Kalau ini lepas, itu berarti potensi capaian PAD (pendapatan asli daerah) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini akan hilang,” tutur dia

Di lain sisi, ia menyinggung kompetisi Indonesia dengan Singapura dalam menarik investor. Menurut Bahlil, keduanya tengah berebut takhta sebagai negara tujuan foreign direct investment (FDI) terbesar di ASEAN.

Oleh karena itu, Bahlil menekankan perebutan proyek investasi asing ini butuh kecepatan dan ketepatan, termasuk di Rempang Eco City. Namun, ia menyebut jangan sampai investasi ini menimbulkan kerugian di salah satu pihak.

“Kami ini berkompetisi, negara tujuan FDI terbesar di ASEAN saat ini diraih Singapura di posisi pertama. Sementara itu, Indonesia dengan luas wilayah lebih besar, justru berada di posisi kedua. Ini kami mau merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” jelas Bahlil.

Orde Baru Jilid 2?

Bagi jurnalis senior dan pengeliling Indonesia via sepeda motor dua kali, Farid Gaban, Rempang hanyalah satu kasus. Pengalamannya selama berkeliling Indonesia menunjukkan pola kekerasan aparat (negara) seolah telah menjadi pola. 

“PSN (proyek strategis nasonal) menggusur warga itu cenderung pola umum ketimbang pengecualian,”kata Farid. Bagi dia hal itu artinya menunjukkan harus adanya evaluasi mendalam dan menyeluruh tentang PSN. “Itu bukan soal miskomunikasi.”

Farid juga menyayangkan Presiden Jokowi yang–seolah bukan orang asal desa–mengabaikan aspek di luar uang (istilah pemerintah: ganti untung). Seolah, pemerintah cenderung rabun dengan hanya melihat uang sebagai masalah utama. “Banyak orang desa tidak mau pindah bahkan jika ada kompensasi miliaran rupiah. Saya bertemu orang-orang seperti ini di Wadas, di pedalaman Flores, di Papua, di Kalimantan. Presiden tidak mempertimbangkan aspek keberlangsungan hidup, kenangan dan budaya yang terikat dengan tanah. Seolah lupa falsafahnya sendiri sebagai orang Jawa,”Sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati”. Artinya kira-kira, untuk harga diri, orang rela memperjuangkannya sampai mati.  

post-cover
Ilustrasi sejumlah masyarakat adat mempertahankan tanah mereka. (Foto: Istimewa)

Yang membuat Farid mengaku tak habis pikir, bagaimana (bisa) pemerintah mengerahkan seluruh resources publik berupa pembelaan Menteri-menteri kabinet termasuk Menko, serta pemakaian kekerasan polisi dan tentara, semata untuk membela pengusaha alias investor swasta? “Dan menyebut itu sebagai kepentingan publik,”kata Farid.

Pernyataan Farid dikuatkan data KontraS yang menunjukkan bahwa sejak awal 2022 hingga          September 2023  saja telah terjadi 19 peristiwa pelanggaran hak dalam isu-isu yang          berkaitan dengan PSN.  Secara rinci, dari 19 kasus, yang ada intimidasi menjadi tindakan mayoritas dengan 10 kasus, diikuti penangkapan sewenang-wenang dengan tujuh kasus. 

Dilihat dari pelakunya, pelanggaran dilakukan oleh Polri 15 kasus, diikuti unsur pemerintah lainnya dengan 10 kasus. Data ini menunjukan bahwa penetapan PSN selama ini dipenuhi masalah dengan adanya konflik bahkan pelanggaran HAM.     

Becermin dari ‘kelakuan’ Orde Baru di masa-masa jayanya, apakah memang pemerintahan saat ini meniru pola Orba? Apakah semua ini juga berarti mengonfirmasi  soal “Orde Baru Jilid 2”, istilah yang dipopulerkan banyak cendikiawan dalam lima tahun terakhir ini?

Entahlah, setidaknya barangkali masih perlu banyak penelaahan. Tetapi bahwa ada kesamaan di antara dua ‘Orde’ ini, tampaknya tak terlampau susah dicari. Misalnya, bila mengambil konstatasi professor emeritus Ohio University dan Indonesianis terkemuka, R. William Liddle, bahwa legitimasi demokrasi Orde Baru dibangun bahkan sejak awal kelahirannya lewat suatu “fiksi yang berguna” (a useful fiction), tampaknya begitu pula dengan pemerintahan saat ini. 

Bila propaganda Orde Baru dan para pendukungnya menyatakan bahwa orde tersebut adalah sistem politik demokratis, bukankah banyak pula hal-hal yang bersifat fiksi dalam era ini? Tak perlu mengemukakan contoh untuk menyatakan betapa banyak pernyataan pemerintah yang tak jarang berkebalikan dengan realitas yang ada. Sekadar bukti terakhir, mungkin berubahnya keputusan pemerintah dari tidak menjaminkan APBN untuk utang kereta cepat Cina menjadi sebaliknya, adalah contoh mutakhir soal itu.   

Dalam hubungan dengan pendapatnya tentang Orde Baru itu pula, pada buku bunga rampainya yang terbit 2021,”Dua Negeri Empat Pemimpin” Liddle mengomentari langsung tiga keputusan Jokowi—hingga sebelum ditulisnya buku itu–yang melemahkan alat-alat akuntabilitas pemerintah. Tiga keputusan tidak popular tersebut adalah pelumpuhan oposisi berdasarkan partai-partai, penyempitan kompetisi elektoral, serta pelanggaran batas kekuasaan otonom.

Bukti yang mengingatkan kita pada sejarah kelam bangsa ini di belakang. Dan itu rasanya belum lama berselang. [ ]

[dsy/diana rizki/vonita betalia/clara anna/ risky aslendra]

Back to top button