News

Kasus Remaja Putri Digilir 11 Pria di Parigi Moutong, Persetubuhan atau Pemerkosaan?

Hingga kini polisi masih terus mengusut kasus pemerkosaan yang dialami remaja putri berusia 16 tahun berinisial RI di Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah oleh 11 pria.

Dari 11 pelaku itu, tiga di antaranya merupakan seorang kepala desa, guru, serta anggota kepolisian yang semuanya masih aktif bertugas di wilayah tersebut.

11 Pelaku yang sudah ditetapkan sebagai tersangka yakni berinisial MKS anggota Brimob Polda Sulteng, HR (43) kepala desa di Parigi Moutong, ARH (40) guru SD di Desa Sausu. Selanjutnya AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AA (27), AS (26), dan A.

10 Orang tersangka telah diamankan dan langsung ditahan, sedangkan seorang lagi melarikan diri dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) yang hingga kini masih diburu polisi yakni tersangka berinisial A.

Namun yang menjadi pertanyaan publik adalah ketika Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho menyatakan para tersangka terjerat kasus persetubuhan anak, bukan kasus pemerkosaan.

Jenderal bintang dua itu menjelaskan tidak ada unsur kekerasan serta ancaman yang dilakukan para pelaku, sehingga tidak memenuhi unsur yang ada di KUHP tentang pemerkosaan.

“Apabila kita mengacu pada istilah pemerkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP, ini secara jelas dinyatakan bahwa unsur yang bersifat konstitutif di dalam kasus pemerkosaan adalah adanya tindakan kekerasan atau pun ancaman kekerasan, memaksa seorang wanita untuk bersetubuh dengannya di luar perkawinan,” kata Agus.

Atas dasar itulah dirinya mengganti diksi pemerkosaan menjadi kasus persetubuhan anak. Ditambah lagi dengan kasus persetubuhan terhadap anak itu dilakukan tidak secara bersama-sama, melainkan sendiri-sendiri oleh pelaku dan korban di waktu yang berbeda.

Berbeda lagi dengan penjelasan Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel yang mengutarakan bahwa kasus yang dialami perempuan berusia 16 tahun di Parigi Moutong adalah pemerkosaan.

Konsultan Yayasan Lentera Anak itu menegaskan diksi persetubuhan anak dalam istilah asing yakni statutory rape.

Rape yang berarti pemerkosaan, hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan.

“Hal itu tidak berlaku pada anak-anak,” ujarnya.

Menurutnya, meski anak dianggap bersepakat untuk melakukan persetubuhan, namun tetap dianggap tidak berkehendak atau tidak bersepakat.

“Apapun suasana batin anak ketika disetubuhi, serta-merta anak disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan,” jelasnya.

Dirinya berpendapat bahwa polisi menggunakan kalimat persetubuhan anak karena berdisiplin dengan istilah yang ada di Undang-Undang Perlindungan Anak.

Sehingga dari kasus yang dialami perempuan berusia 16 tahun di Parigi Moutong oleh 11 pria di Parigi Moutong, sejatinya para tersangka diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Kejahatan seksual yang dilakukan adalah persetubuhan dengan anak atau statutory rape.

Statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban,” tandasnya.

Back to top button