Kanal

Kabar Bahagia untuk Para Pendosa

Berbahagialah para pendosa. Berbahagialah siapapun kita yang pernah melakukan maksiat. Berbahagialah kita yang ragu apakah diri cukup layak untuk dipanggil ke ‘bai’t-nya Allah dan masjidnya Rasulullah. Berbahagialah karena Allah mengampuni semua dosa—apapun saja. Dan Rasulullah menjadi yang paling depan membela ummatnya yang paling berdosa.

Setelah di Arafah, saya banyak merenung. Betapa Pengasih dan Penyayangnya Allah mengampuni semua dosa siapapun yang ber-‘wuquf’ di padang di sekitar Jabal Rahmah itu? Ya, semua dosa diampuni, tanpa terkecuali, bagi siapapun yang berhaji, bertolak dari Arafah, dan memperbanyak zikirnya di Masy’aril Haram (QS 2:198).

Kalau kita pikirkan pakai logika manusia, betapa ‘murah’ ampunan Allah itu, diberikan kepada siapapun saja tanpa terkecuali—siapapun dia, apapun statusnya, apapun yang pernah dilakukannya, tinggi atau rendah ilmunya, banyak atau sedikit amalnya. Semua yang berdiam di Arafah dan menyebut nama Allah akan diampuni segala dosanya. Bukan hanya itu, doa-doanya pun akan dikabulkan.

Manusialah yang sering pilih-kasih, tidak adil, tendensius, penuh kecurigaan. Termasuk di dalamnya barangkali para Kiai dan Ustadz yang gemar mengkorting kasih sayang Allah dan Rasulullah kepada ummatnya. Saya sendiri sering terjebak pada sikap ‘menilai manusia lain’ selama berhaji: “Si itu kok begitu, ya?”, “Hajinya kok begitu, ya? Apa sah ibadahnya?”, “Apa hajinya diterima?” Dan seterusnya. Padahal di mata Allah ukuran-ukuran manusia tidak berlaku. Ampunan Allah begitu agung dan luas mencakup siapapun saja, apapun dosanya. Titik.

Di Masjid Nabawi, saya tercengang dan menangis hebat membaca sebuah hadits sahih yang diriwayatkan At-Tirmidzi tercetak tegas di salah satu gerbang menuju makam Rasulullah SAW. Hadits itu pendek, namun tegas dan kuat. Tertulis jelas dengan tinta emas di atas latar belakang hijau: “Syafaatī liahlil kabā-ir min ummatī.” Syafaatku (pertolongan dan pengampunan di hari kiamat yang diperjuangkan Rasulullah) adalah untuk para pelaku dosa-dosa besar dari umatku.

358057237 812547186901948 5297039387600547754 N - inilah.com

Adakah ajaran seindah ini? Adakah kasih sayang seluas ini di alam semesta? Adakah Tuhan-tuhan lain selain Allah yang kasih sayangnya dan pengampunanNya seluas ini? Adakah Nabi atau Rasul yang seindah ini budi pekertinya, sehebat ini perjuangan ummatnya? Semua doamanusia diampuni. Kecuali satu hal saja.

Ya, hanya satu yang tak boleh tertinggal di dalam diri kita, ‘syirik’ atau menyekutukan Allah. Mencari tuhan lain selain Allah. Menghamba kepada yang selain Dia. Jika tak ada syirik dalam diri kita, jika tegak ketauhidan kita, maka semua dosa sebesar apapun akan diampuni. Diputihkan. Dibebaskan. Seperti bayi yang baru terlahir dari perut ibunya. Arafah adalah buktinya, sejelas-jelasnya bukti. Seandainya semua orang ‘arafa, mengenal diri dan TuhanNya.

Inilah esensi haji. Puncak dari segala ibadah yang ada dalam syariat yang diajarkan Nabi Muhammad. Haji ternyata bukan tentang ibadah fisik, bukan tentang mengorbankan harta, bukan tentang untuk mereka yang ‘mampu’ secara ilmu atau kesehatan. Haji adalah ibadah untuk meneguhkan ketauhidan. Inilah puncak dari segala ibadah, tentang mengesakan Allah SWT. Tak ada satupun sekutu bagi-Nya!

Di tengah ‘penyadaran’ luar biasa tentang esensi haji ini, dalam sebuah perbincangan ruhani dengan salah satu guru saya malam tadi, beliau menyadarkan saya dengan satu pertanyaan: “Apa yang kamu ucapkan untuk memenuhi panggilan Allah berhaji?” Tanya guru saya itu.

Saya terdiam sejenak. Saya tahu jawabannya. Tapi lidah saya kaku dan kelu.

“Labbaikallahumma labbaik. Labbaika lā syarika laka labbaik.” Lanjut guru saya. Sambil tersenyum.

Saya hanya bisa mengangguk, menyetujuinya. “Lā syarika laka labbaik!” Gumam saya. “Tidak ada satupun sekutu bagi-Mu, Ya Allah, aku datang!”

Guru saya mengangguk. Masih dengan senyum yang sama. Senyum yang seolah memberi saya isyarat: “Syukurlah kalau kini kau mengerti.”

Tiba-tiba semua ingatkan saya kembali ke seluruh rangkaian haji. Semua yang pernah saya kerjakan itu terputar ulang bagai sebuah video cepat, ratusan frame per detik: Dari ‘ihram’, ‘thawaf’, ‘sa’i’, ‘wuquf’, bermalam di Muzdalifah, memotong kurban di Mina, melempar setan-setan di Jamarat, ‘thawaf ifadhah’, hingga ‘tahalul’. Semua ternyata memang tentang memperbanyak zikir, menyebut nama Allah, dan mengesakan-Nya belaka. Inilah yang diajarkan Rasulullah.

“Yang diperjuangkan setan adalah memalingkan manusia dari menuhankan Allah, bukan? Membuat manusia tidak percaya kepada kuasa dan kehendak-Nya. Bukan tentang mengajak berbuat dosa. Sebab dosa-dosa hanya perangkap setan untuk membuat manusia menjauhi Allah dan menyekutukannya.” Kata guru saya.

“Padahal Allahmengampuni semua dosa. Dan Rasulullah memberi ‘syafaat’ untuk ummatnya di hari akhir.” Timpal saya. Pelan.

“Ya, tapi banyak manusia tidak mengerti. Berputus asa kepada kasih sayang dan ampunan Allah. Kemudian tersesat. Lalu mencari tuhan selain Allah. Menuhankan dirinya, menuhankan hartanya, menuhankan posisi atau jabatannya, menuhankan akalnya, dan seterusnya. Inilah yang kita lawan selama berhaji. Inilah yang kita doakan setiap hari dalam shalat di surat Al-Fatihah, agar kita tak termasuk orang-orang yang tersesat dan termurkai.” Tambahnya.

Saya mengangguk setuju.

“Kini, hajimu sudah selesai. Sekarang kabarkanlah kepada sebanyak mungkin orang bahwa Allah mengampuni semua dosa bagi mereka yang memohon ampunan. Rasulullah memberi syafaat kepada seluruh ummatnya, bahkan yang paling berdosa, bagi yang beriman. Kabarkanlah kepada sebanyak mungkin orang untuk kembali bertauhid kepada Allah. Itu tugasmu.” Pesannya.

Malam tadi, meski agak flu dan meriang, saya berjalan agak cepat menuju hotel. Sekembali dari masjid, setelah perbincangan ruhani yang tak bisa detil saya ceritakan, saya ingin buru-buru tiba di hotel dan menuliskan semua ini. Saya ingin segera mengabarkan ‘kesadaran’ ini kepada sebanyak mungkin orang—semampu saya. Bahwa tak ada lagi sedikitpun alasan meragukan kemahaluasan ampunan Allah, kehebatan ‘syafaat’ Rasulullah. Bahwa semua dosa akan diampuni, bagi mereka yang mengesakan Allah belaka.

358062680 812547720235228 5318885723555926335 N - inilah.com

Tangan-tangan yang menempel di ka’bah, bergelantungan di pintu Multazam, berebut di muka hajar aswad, menengadah di Arafah, mengayunkan kerikil di Jamarat, adalah tangan-tangan yang sama seperti yang Anda miliki. Ya, dua tangan itu yang sekarang memegang handphone atau lainnya.

Tidak usah di Ka’bah, kini gunakanlah tangan itu untuk menempel di sajadah. Tak usah bergelantungan di Multazam, pakailah tangan itu untuk tempat bergantung orang yang lemah. Berebutlah menolong mereka. Tak usah melempar kerikil di Jamarat, lemparlah semua hawa nafsu dan kesombongan diri. Menengadahlah kapan saja. Pagi ini, siang ini, malam ini. Allah tidak hanya ada di ‘baitullah’ atau di Makkah saat musim haji saja. Karena Dia adalah Rabb Al-Bait yang juga Rabbul ‘Alamin. Dia ada di dekatmu, lebih dekat dari urat lehermu!

Kembalilah. Pulanglah. Ucapkan ‘labbaik’-mu dengan syahadat terbaikmu.

17 Zulhijjah 1444 H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button