News

Jalan di Jakarta Siap Berbayar, Bagaimana Singapura Menerapkan ERP?

Tak lama lagi, Anda yang melintas di sejumlah ruas jalan di DKI Jakarta akan dikenakan biaya. Pemprov DKI tampaknya serius menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar elektronik. Berkaca dari Singapura yang sudah lebih dulu menerapkan ERP, bagaimana penerapan sistem ini?

Rencana penerapan ERP ini sebenarnya sudah lama namun tak kunjung berjalan. Namun kali ini Pemprov DKI tampaknya serius. Draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik terus dimatangkan termasuk rencana penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar.

Rencananya akan ada 25 ruas jalan di Jakarta yang bakal menerapkan sistem berbayar elektronik tersebut. Sejauh ini ini belum ditentukan berapa besaran tarif jalan ERP. Namun demikian, Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dinas Perhubungan DKI Jakarta Zulkifli beberapa waktu lalu mengungkapkan tarif tersebut berkisar Rp5.000 hingga Rp19.000.

Dalam draft tersebut juga disebutkan sanksi denda yang harus dibayar oleh pelanggar. Sanksi pelanggar ERP tercantum pada Pasal 16 Ayat 1, di mana pengendara bermotor baik roda empat dan roda dua akan dikenai denda 10 kali lipat dari tarif normal.

“Setiap Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang melanggar ketentuan pembayaran Tarif Layanan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik di Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik akan dikenakan sanksi denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai Tarif Layanan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik tertinggi yang berlaku pada saat pelanggaran terjadi,” bunyi Pasal 16 Ayat 1 Raperda.

Denda nantinya akan dibayarkan ke rekening kas daerah maupun Penyelenggara Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mekanisme sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggar secara runut akan diatur melalui Peraturan Gubernur (Pergub) setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta.

ERP sudah digunakan di banyak negara. Inggris sudah menerapkannya di London sejak 2003 dengan nama London Congestion Charging Scheme (LCCS). Jerman juga menerapkan ERP dengan nama LKW Maut dilengkapi Teknologi Global Navigation Satellite System (GNSS), seperti yang diterapkan di London untuk jalan berbayar.

Swedia juga sudah menerapkannya sejak 2007 di kota Stockholm, berlaku pukul 06.30 hingga 18.30 di setiap hari kerja sehingga berhasil menurunkan kepadatan lalu lintas hinggag 25 persen. Belgia memberlakukan sistem jalan berbayar sejak April 2006. Negara ini menggunakan GNSS bernama Viapass. Singapura juga sudah memberlakukan sistem ERP ini.

ERP sebenarnya mirip jalan tol. Apabila sebuah kendaraan melintas di jalan ini, akan dikenakan tarif berdasarkan golongan kendaraan yang dikendarai. Perbedaan dengan jalanan ERP adalah sistem yang digunakan sudah memanfaatkan teknologi canggih, berupa komputer, pendeteksi kendaraan dan mesin pembayaran yang ada di dalam mobil.

Jakarta bisa bercermin pada negara tetangganya yakni Singapura. Negara kecil ini sejak 1998 sudah memanfaatkan teknologi ERP untuk mengatasi kemacetan yang efektif dan fleksibel.

Bagaimana pelaksanaan ERP di Singapura?

Mengutip situs Kementerian Transportasi Singapura, road pricing pertama kali diimplementasikan dalam bentuk Area Licensing System pada 1975, yang memungut biaya tetap pada semua kendaraan saat memasuki Central Business District (CBD). Pada 1998, sistem ini digantikan oleh ERP, memanfaatkan teknologi untuk memungkinkan mengatasi kemacetan agar lebih efektif.

Teknologi Radio Frequency Identification (RFID) yang digunakan juga memungkinkan pengumpulan biaya secara otomatis dari setiap kendaraan yang lewat di bawah gerbang ERP selama jam operasionalnya. “Mereka yang melakukan perjalanan di jalan ERP menikmati perjalanan yang lebih lancar dan mencapai tujuan mereka dalam waktu yang lebih singkat,” ungkap Kementerian Transportasi Singapura.

ERP di Singapura bertujuan untuk mendorong pengemudi mencari jalan alternatif menuju tujuan mereka. Atau mereka bepergian di luar jam operasional ERP, atau menggunakan kendaraan umum yang sudah tersedia nyaman di negara itu.

Saat pertama kali ERP diterapkan di Singapura, memang tidak langsung berjalan lancar. Ada banyak kritikan serta ucapan pesimis dari sebagian warganya. Namun lambat laun sistem ini diterima oleh warganya. Sistem ERP di Singapura sudah menerapkan sertifikat berbasis pembelian atas hak sistem. Jadi, sangat aman bagi pemilik dan pengguna kendaraan yang membeli dan menggunakan sistem ERP.

Berapa tarifnya?

Tarif ERP di Singapura berbeda dengan sistem jalan tol di Indonesia yang hanya didasarkan atas jarak tempuh dan jenis golongan kendaraan saja. Tarif yang dibebankan berbeda-beda, karena ada beberapa unsur yang ikut menentukan seperti jarak tempuh, waktu, kondisi jalan ketika melintasi jalan tersebut dan jenis kendaraannya.

Per November 2022 biaya ERP Singapura berada di kisaran 0,5-6 dolar Singapura atau sekitar Rp6.000-70.000. Tarif ERP disesuaikan untuk menjaga lalu lintas bergerak pada kisaran kecepatan optimal 20-30 km/jam di jalan arteri dan 45-65 km/jam di jalan tol.

Kisaran kecepatan lalu lintas yang optimal adalah 45-65 km/jam di jalan tol dan 20-30 km/jam di jalan arteri. Jika kecepatan lalu lintas naik di atas 65 km/jam di jalan bebas hambatan dan 30 km/jam di jalan raya, biaya ERP di gerbang tersebut akan berkurang. Sebaliknya, tarif ERP akan dinaikkan jika lalu lintas bergerak lebih lambat dari 45 km/jam di jalan bebas hambatan dan 20 km/jam di jalan raya.

Biaya ERP juga tergantung pada jenis kendaraan. Jenis kendaraan yang lebih besar tentu akan lebih mahal. Tarif ERP ditinjau setiap kuartal dan disesuaikan selama liburan sekolah bulan Juni dan Desember, berdasarkan kondisi lalu lintas saat itu.

Lalu apa saja komponen dalam sistem jalan ERP ini? Mengutip Travelsingapura, yang pertama, tentu harus membeli kartu ERP. Di dalamnya akan ada saldo deposit dan akan dipasang mesin ERP dalam kendaraan. Dalam alat yang terpasang ini, nantinya akan dapat diketahui berapa jumlah sisa saldo yang ada pada kartu, dan akan muncul di layar display di dalam kendaraan. Saldo akan secara otomatis berkurang ketika masuk di kawasan restricted area ini.

Ada 4 kategori komponen yang terpasang pada alat di gerbang ERP, di antaranya antena, alat pendeteksi kendaraan yang masuk dan melintas pintu gerbang dan kamera seperti CCTV. Komputer difungsikan sebagai pusat aktivitas untuk memantau seluruh kegiatan operasional yang ada di gerbang ERP.

Keberhasilan dan kegagalan

Apakah ERP di Singapura sukses? Singapura berhasil mengurangi angka kemacetan di pusat kota hingga 24 persen. Kalau dilihat dari rata-rata kecepatan kendaraan berkisar antara 30-35 KPH hingga 40-45 KPH, menurut US Department of Transportation.

Program ini berhasil memaksa warga untuk menggunakan transportasi publik terlihat dari penggunaan bus dan kereta meningkat sebanyak 15 persen. Kepadatan lalu lintas di Singapura juga jauh menurun setelah pemberlakukan ERP ini. Ini berpengaruh kepada pengurangan karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca yang menurun sebanyak 10 hingga 15 persen.

Hanya saja, menurut Development Asia, kebijakan ERP ini nyatanya tak membuat populasi kendaraan mobil menurun. Malahan, populasi mobil di Singapura terus bertambah. Di negara ini memiliki kendaraan masih dianggap sebagai simbol status. Jumlah mobil di negara ini juga terus meningkat walaupun pemerintah telah berupaya ‘mempersulit’ kepemilikan mobil.

Pengurangan jumlah kendaraan di Singapura ini penting mengingat terbatasnya sarana prasarana jalan di negara ini. Jumlah mobil akhirnya tidak seimbang dengan luas jalan. Singapura memiliki luasnya lahan yang terbatas sehingga tidak mampu membangun terlalu banyak jalan untuk memenuhi kebutuhan populasi mobilnya yang terus bertambah.

Bagaimana kira-kira di Indonesia? Kita lihat saja, apakah penerapan ERP ini akan efektif mengurangi kemacetan dan mendorong warganya menggunakan transportasi publik?

Back to top button