Market

Ketika Jokowi Larang Ekspor CPO, Migor Malah Langka

Rabu, 14 Des 2022 – 16:40 WIB

Warga antri minyak goreng murah di Pasar Kramat Jati, Jakarta, Kamis (3/2/2022). (Foto: Antara).

Presiden Jokowi sempat melarang ekspor minyak sawit mentah, atau crude palm oil (CPO). Dampaknya petani rugi besar, sawit tak laku. Dan minyak goreng (migor) mengalami kelangkaan.

Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia, Dr Sadino mengatakan, larangan ekspor CPO melahirkan kerugian untuk petani sawit. Selain itu, berdampak kepada kepercayaan investor, termasuk mitra bisnis yang terkait dengan ekspor dan impor CPO. “Kerugian dialami petani, atau pekebun sawit. Dengan aturan yang berubah-ubah, dampaknya harga tandan buah segar (TBA) sawit anjlok,” papar Sadino, Jakarta, Rabu (14/12/2022).

Dirinya mencatat, tekor besar sempat dialami petanis sawit. Ketika pelarangan ekspor CPO diberlakukan Presiden Jokowi pada 28 April 2022, padahal harga CPO sedang bagus-bagusnya. Pemerintah India sempat menyoroti keputusan tersebut. Lantaran, Indonesia adalah penyuplai 50 persen CPO ke India. “Kerugian terbesar diderita petani sawit di saat harga sedang bagus-bagusnya. Bukannya menikmati harga tinggi malah mendapatkan penurunan harga TBS sebesar 10-30 persen,” jelas dia.

Sadino menambahkan, kebijakan yang tidak konsisten di masa lalu, membuat pelaku usaha menjadi terdakwa dugaan korupsi migor. “Mereka menjadi korban dari tidak konsistennya kebijakan yang ada,” ujarnya.

Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana yang kini menjadi terdakwa korupsi PE CPO, mengakui adanya sejumlah pertemuan dengan pengusaha.

Dia mengatakan, pertemuannya membahas solusi kelangkaan migor, bukan terkait pemberian fasilitas ekspor CPO. “Pertemuan 3 Maret itu tidak hanya 3 perusahaan ini, tetapi lebih dari 15 perusahaan ada di ruangan saya. Dalam pertemuan itu mereka membahas upaya mengatasi kelangkaan minyak goreng dan bukan terkait dengan PE,” ujarnya.

Menurut Indrasari, kala itu, rapat dihadiri Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor. Sementara, General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre, Togar Sitanggang tidak hadir, karena terpapar COVID-19.

Indrasari menjelaskan, kebijakan HET sebesar Rp14.000 memicu produsen minyak goreng tidak produksi. Jumlahhnya sekitar 200 pengusaha migor menyetop produksi.”Ada 425 merek minyak goreng yang beredar, diproduksi oleh 256 produsen, ini (perusahaan) besar dan kecil. Itu ada sekitar 200 yang kecil-kecil ini tidak produksi dan ada satu yang besar juga tidak produksi itulah yang menyebabkan kenapa kolamnya tidak terisi seperti biasanya,” kata Wisnu.

Wisnu mengatakan, minyak goreng mengalami kelangkaan jika kekurangan produksi adalah salah dan tidak memahami masalah kelangkaan minyak goreng. Pemasalahan kelangkaan migor, tak ubahnya kolam yang airnya disuplai dari 10 pompa air. Ketika hanya tujuh pompa yang beroperasi, maka kolam tersebut akan lambat terisi penuh.

“Jadi kalau yang tiga tidak jalan pompanya, otomatis untuk memenuhi itu lambat. Jadi kita paksa yang tujuh untuk lebih keras lagi mengisi, itulah yang dibilang komitmen sukarela tadi, supaya mereka mendouble pompanya, agar kolam tetap penuh. Tetapi untuk mendouble itu tidak mudah. Karena mereka juga mempunyai keterbatasan di kapasitas produksinya,” jelasnya.

Menurut Indrasari, ketika HET migor dipatok Rp14 ribu, sementara biaya produksi mencapai Rp19 ribu, tentunya membuat industri migor memilih menghentikan produksi. “Akibat 200 perusahaan kecil menghentikan produksinya, imbasnya adalah kelangkaan minyak goreng di pasaran. Sebab, kebutuhan minyak goreng di masyarakat dengan HET tidak terpenuhi.

Back to top button