News

Jaga Kampung Tua, Solidaritas Melayu Pertahankan Sembulang, Rempang

Sejak warga Sembalung, Kecamatan Galang Pulau Rempang, Kota Batam melakukan aksi menentang 16 kampung menjadi area proyek Rempang Eco Ciy, seorang tokoh masyarakat menjadi sering bolak-balik Sembulang menuju Kantor Mapolresta Batam.
 

Hari-harinya disibukkan dengan mengurus tiga warganya yang masih ditahan aparat usai aksi solidaritas Kampung Tua Sembalung, Rempang pada 11 September 2023 lalu. Namun sayang, upayanya belum membuahkan hasil. Padahal keluarga dari warga yang ditahan mulai hidup dalam kecemasan.

Berbagai negosiasi terus dilakukan agar warganya dapat diajak pulang dan bisa berkumpul lagi dengan keluarganya lagi. Mereka tumpuan keluarga, setiap harinya ke laut sebagai nelayan, mencari ikan. Seperti halnya sebagian besar memang sebagai nelayan menggunakan sampan atau kapal memanfaatkan potensi alam di tepi laut Rempang.

Tetapi demi warganya, sang tokoh ini terus mengupayakan supaya tiga warganya bisa bebas dan melaut lagi. Perhatiannya menjadi berkurang ke kondisi warganya yang masih kebingungan bila harus ikut dalam tahap pertama yang menurut BP Batam sebagai mega proyek tersebut.

“Kami sudah mencoba mendekati berbagai tokoh di pemerintahan Kota Batam supaya membantu agar warga kami dilepaskan. Tetapi sampai sekarang belum berhasil,” katanya dengan suara berat di pinggir pantai di atas kampung terapung kepada inilah.com, Jumat (22/9/2023) lalu.

Lantas dia pun bercerita, warga kampungnya memang ikut aksi pada tanggal 8 September dan 11 September 2023 lalu. Warganya merupakan keturunan Melayu yang berdekatan dengan Kampung Tua Sembulang, yang akan direlokasi pada tahap pertama. Walaupun belum ada kepastian masuk dalam 16 kampung yang terdampak proyek dari PT MEG.

Sejak dua kali terjadi aksi warga dan bergabungnya solidaritas Keturunan Melayu, situasi kampungnya menjadi tidak jelas. Banyak informasi berseliweran di grup-grup media sosial.

Itulah makanya ketika inilah.com meminta izin untuk bertemu keluarga dari warga yang ditahan, dia keberatan. Soalnya saat ini, sering aparat atau petugas masuk ke kampungnya melakukan pendataan warga. Akhirnya yang harus menemui setiap orang luar masuk kampungnya, ya dirinya.

Trauma Jadi Tertutup

Itulah makanya ketika inilah.com meminta izin untuk bertemu keluarga dari warga yang ditahan, dia keberatan. Soalnya saat ini, sering aparat atau petugas masuk ke kampungnya melakukan pendataan warga.

Akhirnya yang harus menemui setiap orang luar masuk kampungnya, ya dirinya. Namun sejak bolak-balik ke Batam, maka tokoh masyarakat yang lainnya untuk berbagi tugas mengantisipasi orang luar yang masuk. Termasuk kemungkinan ada perkembangan baru, wilayahnya termasuk kampung yang dipilih menjadi tahap pertama pembangunan proyek, pabrik kaca dan panel surya tersebut.

Warganya ditangkap aparat kepolisian saat melakukan aksi pada 11 September di depan Kantor BP Batam. Saat terjadi rusuh dengan lemparan batu dari peserta aksi dan tembakan gas air mata. Saat asap sudah menyebar di antara kerumunan aksi solidaritas Melayu, dua warganya tertangkap aparat.

Sedangkan satu lagi, ternyata diambil petugas kepolisian ke rumahnya. Sebab, warga tersebut tertangkap kamera ikut aksi. Sejak dibawa keesokan harinya sampai sekarang belum bisa dibebaskan. “Satu lagi warga kami, diambil petugas kepolisian karena wajahnya jelas tertangkap foto, ada di foto saat aksi demo. Diambillah dia karena petugas datang kemarin,” tambahnya.

Memang warga kampungnya satu sikap dengan warga Sembulang lainnya menolak relokasi. Mereka menginginkan kampung-kampung tua tetap ada walaupun proyek dari investor China yang menggandeng PT MEG tetap berjalan.

Pada 11 September 2023 lalu, warga Kecamatan Galang yang terdapat 16 titik kampung tua, bersama ribuan peserta aksi solidaritas masyarakat Melayu dari berbagai daerah, melakukan aksi kedua di depan kantor BP Batam.

Dalam aksi unjuk rasa itu, awalnya berjalan damai tetapi mendadak ricuh lantaran ada massa yang menghancurkan pagar dan melemparkan batu ke arah Kantor BP Batam.

Dari kejadian tersebut, beberapa petugas mengalami luka-luka karena terkena lemparan batu dan besi. Untuk mengamankan aksi tersebut Polda Kepulauan Riau dan Polresta Barelang (Batam, Rempang, Galang) kuwalahan sehingga situasi tidak terkendali.

Di akhir aksi pihak kepolisian mengamankan 43 orang yang diduga pelaku kekerasan terhadap petugas dan perusakan fasilitas. Setelah mengamankan sebagian dari peserta aksi, Penyidik Mapolresta Balerang menetapkan 34 orang sebagai tersangka dalam kericuhan unjuk rasa penolakan relokasi di Pulau Rempang.

“Informasi dari Kapolresta Barelang sebagai penanggung jawab wilayah, jadi pada saat bentrokan fisik Senin (11/9/2023) lalu telah diamankan 43 orang. Dari 43 orang itu yang memenuhi unsur pidana hanya 34 orang dan telah di tetapkan sebagai tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Kepri Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad seperti dikutip dari Antara, Rabu (13/9/2023).

“Dari jumlah 43 orang yang diamankan kemarin, hanya lima orang yang diketahui sebagai warga Rempang. Mereka yang bukan warga Rempang ini saat pemeriksaan mengaku terbawa emosi, saat mendapat informasi dari social media,” jelasnya lagi.

Sementara warga Kecamatan Galang, yang bersebelahan dengan Kelurahan Sembulang, Riantono, menceritakan usai terjadi bentrok dalam aksi pada 11 September lalu, informasi di kampungnya sangat simpang siur. Beredar informasi, aparat kepolisian akan mengambil warga yang ikut aksi solidaritas masuk ke kampung-kampung tua.

Apalagi petugas sudah mengambil satu warga di rumahnya untuk diamankan ke kantor Mapolresta Balerang. “Informasi di hp, aparat berjaga-jaga di jalan masuk Kecamatan Galang untuk menghadap warga yang ikut aksi di Batam. Beberapa warga tidak jadi balik jadi tak tahu ada warga yang sudah diamankan saat di rumah,” katanya.

Bahkan setelah dirinya balik ke kampung esok harinya, dari cerita ibu-ibu banyak kaum bapak-bapak yang lari ke hutan hingga dua hari. Ada yang mengajak keluarganya bahkan ada yang hingga menyeberang pulau ke rumah saudaranya.

“Memang informasinya banyak sekali dan membingungkan, yang lari ke hutan mereka bawa bekal, ada yang ke pulau seberang dan ada ibu-ibu yang tak mau diajak sembunyi, pasrahlah dia,” katanya bercerita.

Tetapi sekarang mereka sudah balik ke kampung dan beraktifitas lagi. Meskipun suasana tetap tidak tenang karena banyak petugas mendirikan posko penjagaan di berbagai sudut kampung. Mereka berjaga-jaga di pertigaan masuk pemukiman warga Kecamatan Galang. Di sekitar kantor kecamatan hingga sekarang.

Memaksa Pasang Patok

Situasi memanas mulai muncul ketiga pada Kamis (7/9/2023) pagi, saat aparat keamanan dan petugas BP Batam masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk, lemparan batu pun terjadi dari arah warga yang kemudian disambut dengan tembakan gas air mata dari aparat.

post-cover

Aparat gabungan terus merengsek masuk dan menangkap beberapa warga. Mereka juga masuk ke kawasan sekolah di SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Gas air mata ditembakan ke arah sekolah tersebut. Lokasi ini tidak jauh dari Jembatan Empat sebagai pintu masuk ke Pulau Rempang.

Guru dan siswa sekolah tersebut lari berhamburan meninggalkan gedung sekolah. Beberapa dari mereka lari ke atas bukit-bukit yang ada di Rempang.

“Ada 11 orang murid yang dilarikan ke rumah sakit, sekarang sedang perawatan,” kata warga lainnya, Rohimah yang saat itu menunggu anaknya di sekolah tersebut.

Kondisi ini juga selaras dengan temuan Komnas HAM, menyebutkan para siswa takut kembali ke sekolah usai menjadi korban bentrokan di Pulau Rempang, (7/9/2023). Temuan tersebut adalah keterangan dari pihak SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang.

Setidaknya terdengar 3 kali dentuman dari hutan di depan SMPN 22 Galang dan menyebabkan gas air mata masuk ke lingkungan sekolah.

“Berdasarkan informasi dari Kepala SMPN 22, pasca peristiwa 7 September, banyak siswa yang masih merasa takut untuk kembali ke sekolah, sehingga kehadiran mereka pada Senin sesudah peristiwa terjadi tidak mencapai 100 persen,” kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina saat membacakan temuanya di Kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat (22/9/2023).

Solidaritas Keturunan Melayu

Sosok viral dengan merebaknya kasus panas bentrikan warga Melayu dengan aparat kepolisian di Batam adalah Bang Long. Pria berambut gondrong, tokoh Melayu dari Setokok Rempang, ini juga berapi-api saat orasi di depan Kantor BP Batam pada 11 September 2023. Usai aksi, Bang Long diamankan polisi hingga saat ini.

Pria yang juga akrab disapa Awie ini, merupakan alumni Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), angkatan 2000. Sejak kasus relokasi warga kampung tua di Sembulang Rempang, dia aktif melakukan pendampingan.

Menurut seorang pemuda yang aktif di kelompok-kelompok adat Melayu, hingga saat ini, Lembaga Bantuan Hukum dari UMY Yogyakarta belum bisa bertemu dengan Bang Long di Kantor Mapolresta Balerang.

“Pihak UMY kan mengirim tiga orang dari LBH UMY untuk mendampingi Bang Long, tetapi tidak diizinkan, sampai sekarang,” katanya kepada inilah.com, yang tidak bersedia disebut namanya, Kamis (21/9/2023) di wilayah Rempang, Batam.

Menurut dia, perlakuan aparat sangat keras saat aksi pada 11 September di depan Kantor BP Batam. Dengan pecahnya aksi setelah perang batu dan tembakan gas air mata, banyak dari peserta aksi yang berlari ke gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) yang tidak jauh dari lokasi aksi.

Mereka dibawa dengan menggunakan truk untuk diamankan di kantor Mapolresta Balerang. Peserta aksi selain dari warga Sembulang Rempang, juga dari keturunan Melayu di berbagai daerah hingga Kalimantan.

Ada juga yang dikejar aparat menggunakan motor trail dan berlari ke arah bandara Hang Nadim. Sampai di lampu merah baru peserta aksi dapat ditangkap. Mereka campuran ada yang dari unsur mahasiswa maupun solidaritas masyarakat keturunan Melayu.

“Padahal dari BP Batam hingga lampu merah jaraknya sekitar tujuh kilo. Mereka banyak yang ditangkap di situ. Saya mengejar di belakang untuk mendampingi mereka tidak kuat lari. Mereka yang ditangkap di situ termasuk yang 43 orang diamankan aparat,” jelasnya.

Saat ini, ruang gerak masyarakat yang peduli dengan warga Sembulang, Rempang sangat terbatas. Untuk melakukan konsolidasi pun sangat susah karena selalu diawasi para petugas.

Menurutnya, kebijakan pemerintah yang menyebabkan 16 titik kampung tua di Sembulang sangat disayangkan. Sebab bila dihitung nilai investasinya hanya Rp380 triliun lebih tetapi dengan jangka waktu 80 tahun maka sangat kecil.

“Instrumen apa yang digunakan pemerintah untuk mengganti nilai historis. Wajar kalau Sultan Brunei juga mengeluarkan pernyataan. Karena keturunan Melayu juga,” tegasnya.

Tentang hal ini, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian juga mengemukakan temuannya tentang ada indikasi terjadinya pelanggaran HAM saat dua kali bentrokan antara warga sipil dan aparat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada 7 dan 11 September 2023 lalu. Meski demikian lembaganya masih mendalami dugaan pelanggaran HAM tersebut.

Komnas HAM menemukan adanya pengerahan lebih dari 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan rencana pengukuran atau pematokan tata batas di Pulau Rempang oleh BP Batam pada 7 September.

Bahkan Kepolisian Resor Kota (Kapolresta) Barelang meminta tambahan 400 pasukan dari Kepolisian Daerah Riau untuk mengantisipasi aksi masyarakat yang semakin besar dan tidak terkontrol.

Komnas HAM RI telah melaksanakan pemantauan proaktif pada 15-17 September 2023 ke wilayah tersebut dengan meninjau lokasi dan meminta keterangan dari sejumlah pihak terkait. “Itu kita nilai sangat berlebihan,” ungkap Saurlin.
 

Back to top button