Hangout

Harmonisasi Gagasan dan Peraturan dalam RUU Kesehatan Dipertanyakan

Polemik yang mengelilingi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan diduga disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pembentukan dan sifat hukum omnibus. Faktor mental dan kurangnya kepedulian terhadap kualitas juga dianggap sebagai faktor kontribusi yang berpotensi menciptakan masalah yang lebih luas.

Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI), Riant Nugroho, menyatakan bahwa pengembangan kebijakan, khususnya undang-undang kesehatan yang multi-dimensi dan ultra-dimensi, bukanlah tugas yang mudah. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan tingkat ketelitian yang lebih tinggi.

“Ini adalah penyakit mental yang disampaikan oleh Prof. Koentjaraningrat pada tahun ’70 yang menjadi masalah dalam pembangunan kita. Khusus untuk undang-undang kesehatan, metode ini seharusnya tidak lagi digunakan,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/6/2023).

Lebih lanjut, Riant menjelaskan bahwa pendekatan dalam pengembangan undang-undang multi-dimensi dan ultra-dimensi ini tidak dapat dicapai hanya melalui metode formal seperti pemungutan suara dan dialog yang melibatkan banyak orang saja. Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi, seperti memetakan siapa sebenarnya yang harus terlibat.

“Pertama, melibatkan mereka yang memiliki kemampuan, bukan mereka yang berkuasa. Siapa yang memiliki kemampuan? Mereka yang seharusnya terlibat dalam proses tersebut,” jelasnya.

Dalam konteks melibatkan industri tembakau, misalnya, kata Riant, perlu melibatkan pihak-pihak yang benar-benar relevan. Mulai dari tenaga kesehatan, ahli bahasa Indonesia, ahli hukum, ahli kebijakan, ahli tanaman, antropolog yang membidangi pertanian tembakau, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Riant belum terpenuhi dalam proses penyusunan RUU Kesehatan yang dirancang sebagai undang-undang omnibus ini.

Kenyataannya, terjadi kontroversi karena penggolongan tembakau yang disamakan dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 dalam RUU Kesehatan ini. “Ini berarti ada ruang-ruang baru yang harus kita perhatikan, agar kita tidak menjadi orang-orang yang menghina karunia Tuhan,” ujarnya.

Riant juga mengomentari keputusan pemerintah yang bersikeras untuk menggabungkan 10 undang-undang ke dalam satu kebijakan yang disebut sebagai Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Menurutnya, ada kebijakan tertentu yang sebaiknya tidak dipaksakan untuk dibuat sebagai undang-undang omnibus.

Harmonisasi peraturan harus dimulai dengan harmonisasi gagasan, konsep, dan variabel-variabel yang ada. “Kerangka berpikir dalam pembentukan undang-undang omnibus juga haruslah metodologis dan sistematis, bukan hanya akademis. Saya berani menyimpulkan bahwa tidak ada harmonisasi sejak awal gagasan, itulah sebabnya pasal-pasalnya tidak harmonis. Mungkin yang dilakukan hanyalah mengharmonisasi keinginan,” tandasnya.

Back to top button