Kanal

Hadiah Terbesar dalam Hidupmu

Di tengah panas yang terik, lantai Masjidil Haram terasa dingin. Langkah-langkah kecil berdesakan menuju arah yang sama, ribuan jumlahnya. Di masjid itu berkumpul jutaan orang dari berbagai penjuru dunia, dengan beragam warna kulit, suku bangsa, bahasa. Semua melingkari satu bangunan yang setiap hari hanya bisa dibayangkan, kiblat umat Muslim di seluruh dunia.

Di antara pilar-pilar kokoh Masjidil Haram, kubus berwarna hitam itu mulai terlihat, mengintip di sela-sela pundak orang-orang berpakaian putih. Lantunan ‘talbiyah’ terus menggema, melengking, kadang selip, serak, “Labbaikallahumma labbaik! Labbaika laa syarika laka labbaik!” Jiwa-jiwa yang rindu pun menemukan muaranya. Maka air mata menganak-sungai di pipi, deras tak terelakkan lagi.

Mungkin anda suka

Ribuan kilometer, ribuan hari, jarak yang selama ini memisahkan, melipat dirinya menjadi satu momen yang tak bisa begitu saja digambarkan dengan kata-kata. Di sanalah Ka’bah, di depan matamu yang penuh dosa, berdiri tegak dengan kemegahan yang bersahaja. Setiap hari, setiap menit, setiap detik, orang-orang beriman, burung-burung, angin, makhluk-makhluk Allah, bertawaf mengelilinginya. Tak pernah berhenti. Tak pernah putus. Tak sudah-sudah.

‘Inna awwala baitin wudli’a linnasi lalladzi bibakkatin mubarakan wa huda lil-‘alamin’. Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia ialah Baitullah yang berada di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam (QS Ali Imran [3]: 96). Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu, sebagai tempat berdiri bagi manusia. ‘Ja’alallahil ka’batal baital harama qiyamal-linnaas’ (QS Al-Maidah [5]: 97).

Ini bukan pertama kali saya melihat Ka’bah, tetapi setiap melihatnya, ada perasaan luar biasa yang sulit tergambarkan. Demikianlah, ternyata hadiah terbesar yang Allah berikan dalam hidup kita semua adalah iman. Rasa percaya yang tak memerlukan penjelasan-penjelasan akal. Hadir begitu saja sebagai karunia yang membuat kita menyebut nama-Nya, memenuhi panggilan-Nya, mengikuti segala perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Di lantai dingin Masjidil Haram, jutaan tangis pernah jatuh, lenguhan rindu pernah bergema, dan entah berapa miliar untaian doa pernah dibisikkan dalam sujud hamba-hamba-Nya. Di sanalah kami bertawaf, berputar mengelilingi Ka’bah. Berdesakan dengan orang-orang yang beriman. Tak ada lagi perbedaan jenis kelamin, warna kulit, suku bangsa, bahasa, identitas, semua menjadi satu dalam keindahan yang tak terpermanai.

353867240 800867264736607 7173225075455981259 N - inilah.com

Dalam kecepatan yang berbeda-beda, dalam intensi yang berbeda-beda, dalam gerak batin yang berbeda-beda, dalam kekacauan yang ritmis, tiba-tiba segalanya menjadi lentur dalam keteraturan yang ditetapkan-Nya. Homeostasis. Inilah Masjidil Haram, tempat di mana shalat di dalamnya diganjar 100.000 kali lipat kebaikan dibandingkan shalat di tempat-tempat lainnya, tak ada bandingannya.

Di sana kita belajar sabar, belajar syukur, belajar ikhlas, belajar taslim, belajar menjadi diri sendiri dengan melihat orang lain. Umrah dan haji adalah perjalanan hati melalui kendaraan badan. Jika hatimu tenang karena mengingat Allah, maka jalanmu lapang. Jika hatimu gundah karena keruh dunia, tubuhmu lelah.

Di tengah arus manusia yang melingkar mengelilingi Ka’bah, saya merelakan diri. Taslim mengalir bersama ribuan manusia. Kadang saya memejamkan mata, sambil mengaktifkan batin untuk terus mengingat Allah, tubuh dan kaki bergerak mengikuti ritme sekeliling. Saya tahu, jika muncul ego dalam diri, jika segalanya berusaha saya cerna dengan nalar, saya hanya akan merasa lelah dan gundah. Hanya dengan berserah diri secara total lah tawaf ini akan bermakna.

Tiba-tiba saya berada di dinding Ka’bah. Dua tangan saya menangkup di sana. Wajah saya terbenam di wangi dindingnya. Doa-doa kemudian saya jeritkan di sana, nama-nama saya sebut, yang jauh saya panggil untuk datang ke rumah Allah ini. Di tengah tangan-tangan dan kaki-kaki yang bersilangan, saya melihat tangan kurus seorang ayah menuliskan sesuatu dengan telunjuknya di dinding Ka’bah. Mungkin itu nama anaknya, nama adiknya, nama orangtuanya, atau siapapun saja. Yang jelas, saya melihat cinta di sana.

Sebuah gelombang kemudian membawa saya ke satu kerumunan. Ternyata ini adalah orang-orang yang ingin mencium Hajar Aswad. Saya terjepit di antara tubuh-tubuh tinggi dan besar, tangan-tangan kekar yang berusaha meraih ‘batu surga’ itu, teriakkan-teriakkan yang penuh tenaga. Saya tak ingin melawan semua itu, hanya terus bisa memasrahkan diri. Kedua tangan saya saling berpegangan seperti sedang shalat, mata saya pejamkan, nafas saya atur, hati terus berdzikir menyebut nama-Nya.

Dan entah bagaimana Hajar Aswad terlihat sangat dekat di depan mata saya. Orang-orang berebut giliran, kuat-kuatan, kemudian saya terpental menjauh. Tapi arus besar masih mendorong dari belakang, maka saya pejamkan mata lagi. Tak lama, Hajar Aswad sudah dekat, seolah saya akan meraih dan menciumnya. Dalam hati muncul perasaan bahwa saya bisa menciumnya, tetapi kemudian menjauh lagi.

354228126 800867258069941 2628344070002936300 N - inilah.com

Barangkali ini adalah ujian ketasrahan. Benarkah hati ikhlas tanpa keinginan dan kesombongan? Maka saya mohon ampun kepada Allah. Saya katakan kepada diri sendiri, “Ya Allah, beri aku kesempatan untuk bisa mencium batu ini, bukan karena batu ini memberikan manfaat, tetapi karena Rasulullah pernah menciumnya.” Di sanalah saya mendapatkan salah satu momen terindah dalam hidup saya. Kepala tiba-tiba sudah berada di dalam lingkaran tempat Hajar Aswad. Dan saya bisa menciumnya. Saya berteriak sumpah dan syahadat di sana.

Sepanjang hidup, sudah tiga kali saya berumrah, tetapi pengalaman haji kali ini memang istimewa. Tak pernah saya rasakan yang seperti ini sebelumnya. Bahkan saat kemarin melaksanakan umrah setibanya di Mekkah dari Madinah, dari tawaf hingga sa’i, rasanya berbeda sekali. Hati lebih tenang. Perasaan lebih lapang. Allah memberikan kemudahan-kemudahan yang kadang di luar nalar agar saya bisa mencernanya.

Tiba-tiba sekelompok askar merapikan barisan. Rupanya azan Maghrib hampir tiba. Saya mengisi shaf di lingkaran ketiga, beberapa meter saja di depan Ka’bah, dekat ‘hijir Ismail’. Di samping kiri saya ada seorang Turki yang berdoa dengan bahasa yang tidak saya mengerti, di samping kanan saya ada seorang laki-laki India yang ramah—ia menyodorkan tiga butir kacang almond untuk saya.

Kemudian azan Maghrib berkumandang di Masjidil Haram, menggema indah menggetarkan hati. Di sanalah saya sadar: hadiah terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia adalah iman. Apa yang orang-orang di sekeliling ini cari hingga beribu kilometer datang ke sini, mengorbankan harta dan tenaga, selain iman? Apa yang membuat kita bangun dari tidur, menghentikan pekerjaan, menempuh jarak yang jauh, untuk melaksanakan shalat, kecuali iman? Iman inilah yang akan membedakan kita dengan yang lain kelak di hari akhir, di akhirat, di catatan para malaikat, di mejelis Rasulullah, di hadapan Allah SWT.

Hanya yang beriman yang mengerti semua ini. Yang memahami rasanya. Yang merasakan getarnya. Langit senja Mekkah begitu indah, angin berembus semilir, burung-burung melayang di atas Ka’bah. Suara Ibrahim yang menyeru umat manusia masih terdengar hingga hari ini. “Dan serulah kepada manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS Al-Hajj [27]:2).

Ya Allah, aku sudah di sini.

Mekkah, 24 Dzulkaidah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button