News

Guru Besar FKUI: TBC Renggut 385 Nyawa per Hari di Indonesia


Di tengah tantangan kesehatan global yang terus berkembang, Tuberkulosis (TBC) masih berdiri sebagai ancaman serius di Indonesia. Prof Dr dr Erlina Burhan, Guru Besar Tetap bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), menyoroti realitas pahit yang dihadapi negara dalam perang melawan TBC. Dengan 385 nyawa melayang setiap hari, angka ini menjadi simbol dari urgensi yang tidak bisa lagi diabaikan.

“Total pasien TBC (di Indonesia) yang meninggal selama setahun sebanyak 140.700, artinya, terdapat 385 pasien meninggal setiap harinya atau 16 orang meninggal setiap jam karena TBC,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Minggu (19/2/2024).

Berdasarkan Global TBC Report 2023 yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia mencatatkan angka mortalitas TBC tanpa HIV sebanyak 134.000 kasus dan TBC dengan HIV sebanyak 6.700 kasus pada tahun 2022. Angka ini menandai Indonesia sebagai salah satu episentrum TBC, dengan jumlah kasus yang mencapai 1.060.000 pada tahun yang sama.

Permasalahan TBC di Indonesia diperparah oleh berbagai faktor. Menurut Erlina, belum optimalnya penemuan kasus baru menyebabkan penularan terus berlanjut di masyarakat. Rendahnya kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan memperburuk situasi, meningkatkan risiko TBC resisten obat. 

Di sisi sosio-ekonomi, stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC masih menjadi hambatan serius, mengganggu hak mereka untuk belajar, bekerja, dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengakhiri epidemi TBC pada 2030, dengan harapan menekan kasus TBC menjadi kurang dari 1 kasus per 1 juta penduduk pada 2050. Upaya ini selaras dengan Program End TBC Strategy dari WHO, yang berfokus pada tiga pilar utama: pelayanan dan pencegahan TBC yang terintegrasi dan berpusat pada pasien, kebijakan dan komitmen politik yang kuat, serta penelitian dan inovasi untuk mengatasi tantangan TBC.

Kolaborasi sebagai Kunci

Erlina menekankan bahwa pencapaian target eliminasi TBC memerlukan lebih dari sekadar usaha rutin. Mengambil pelajaran dari penanganan COVID-19, penanggulangan TBC membutuhkan kolaborasi lintas sektor, melibatkan pemangku kebijakan, pelaku usaha, organisasi profesi, masyarakat agama dan budaya, serta institusi pendidikan. Inisiatif ini harus mendorong kesadaran dan motivasi dari semua pihak untuk bergerak bersama menuju eliminasi TBC pada 2030.

“Target ini tidak akan tercapai jika masyarakat masih bersikap business as usual (biasa-biasa saja),” tegasnya.

Panggilan untuk aksi ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat luas. Mengingat dampak TBC tidak hanya terbatas pada kesehatan tapi juga aspek sosio-ekonomi, kolaborasi dan komitmen bersama menjadi penting. Indonesia telah menunjukkan kapasitasnya dalam menghadapi pandemi COVID-19; kini, saatnya menggunakan pengalaman tersebut untuk memerangi TBC.

Dengan angka kematian TBC yang mencapai 16 orang per jam, urgensi untuk bertindak lebih lanjut tidak bisa ditunda. Indonesia berada di persimpangan jalan, di mana setiap tindakan dan kebijakan akan menentukan masa depan generasi mendatang dalam menghadapi TBC. Kesadaran, aksi, dan kolaborasi adalah kunci untuk membuka pintu menuju Indonesia bebas TBC.

Back to top button