Market

Fenomena Makan Tabungan, Ekonom Usulkan Belanja Modal Jadi Solusi


Kenaikan harga bahan pokok saat ini menyebabkan masyarakat dari kelas menengah kesulitan menabung. Sebab daya beli melemah dan fenomena ‘makan tabungan’ semakin terasa.

Ekonom dari Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Eko Listiyanto menjelaskan laju inflasi bulan November 2023 sekitar 2,86 persen yang biasa disebut dengan istilah Consumer Price Index (CPI). Namun, inflasi pada komponen yang mencakup bahan makanan lebih tinggi, sekitar 7 persen.

“Jika dihitung secara keseluruhan, inflasi ini dua kali lipat dari inflasi utama, yang menggambarkan kenaikan harga kebutuhan pokok yang menggerus tabungan,” jelas Eko dalam Diskusi Publik Indef, Mengurai Gagasan Cawapres Tentang Ekonomi pekan lalu secara daring di Jakarta.

Meskipun pemerintah memberikan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tidak semua lapisan masyarakat menerima manfaatnya. Fenomena makan tabungan atau mantab ini dirasakan banyak orang, terutama kelas “mendang mending,” yang memiliki tabungan di bawah Rp 100 juta dan mulai mengalami kesulitan menabung.

“Sebagian masyarakat mungkin tidak menerima bantuan sosial (bansos), tetapi mereka mulai merasakan tekanan biaya hidup yang semakin mahal,” ungkap Eko Listiyanto yang juga Wakil Direktur Indef ini.

Kondisi ekonomi hari ini, jelasnya, dibandingkan dengan empat tahun lalu telah mengalami kenaikan dalam konteks berbagai kebutuhan, baik yang bersifat primer seperti pangan, sekunder maupun tersier.

Distribusi Rekening Simpanan LPS bulan Juni 2023 mengungkapkan jumlah rekening dengan tiering atau saldo di bawah Rp100 juta berjumlah 514,25 juta rekening. Angka ini mencapai 98,7 persen dari total jumlah rekening sebanyak 520,86 juta. Demikian mengutip data LPS yang dirilis 28 Juli 2023 lalu. 

Menurut Eko, langkah paling tepat adalah menghidupkan kembali perekonomian. Pertumbuhan ekonomi yang hanya sekitar 5,3% dalam APBN dan proyeksi yang tidak mencapai 5% dalam beberapa tahun ke depan memerlukan upaya ekstra.

“Solusi bukan lagi bantuan langsung tunai (BLT) atau bansos karena hanya memberikan bantuan jangka pendek,” tegasnya.

Namun, lanjutnya, yang diperlukan adalah stimulan ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan belanja modal. Belanja yang memiliki dampak lebih luas pada perekonomian perlu diperbesar. “Bansos tidak menyelesaikan masalah secara struktural, ketika bansos habis, kemiskinan datang lagi,” tegas Eko Listiyanto.

Dengan menggerakkan sektor ekonomi melalui belanja modal yang efektif, diharapkan masyarakat yang memiliki tabungan di bawah 100 juta rupiah dapat  terbantu dan mengurangi tekanan biaya hidup yang semakin tinggi.

 

Back to top button