Kanal

Elektabilitas Partai Demokrat Versus Janji Janji Kampanye

Fenomenal dan tahan banting …. Dua kata itulah rasanya sepadan untuk menggambarkan riuh rendahnhya perjalanan 21 tahun Partai Demokrat di kancah politik nasional. Disebut fenomenal karena saat kelahirannya dua dekade silam, Partai Demokrat dengan tokoh sentral Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sudah mencuri perhatian.

Perolehan suara Demokrat saat pertama bertarung di ajang kontestasi politik nasional tahun 2004 langsung menyodok di angka 7,45 persen. Perolehan itu melonjak menjadi 20,8 persen di tahun 2009 saat SBY berkuasa. Setelah itu, di akhir masa pemerintahan SBY di tahun 2014, suara Demokrat anjlok menjadi 10,19 persen, dan di Pemilu terakhir 2019 lalu, pencapaian Demokrat hanya di angka 7,77 persen.

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin sedikit menyitir kembali penelitian saya tentang “Iklan Politik di Televisi” (Studi terhadap Tayangan Iklan Politik Partai Demokrat Menjelang Pemilu Legislatif  Tahun 2009). Saat itu kampaye di televisi begitu ampuh dan menjadi pilihan partai politik yang punya dukungan dana yang cukup.

Iklan kampanye di televisi memungkinkan seorang kandidat atau calon presiden dan wakil presiden muncul dengan sosok yang “nyata”, baik secara audio maupun visual serta elemen-elemennya. Semua aspek tersebut diramu dalam satu rangkaian dramatisasi adegan, konteks, pesan verbal maupun simbol-simbol non-verbal dalam durasi antara 30 sampai 60 detik. Menurut McNair, “Iklan memiliki kekuatan mempersuasi, karena itulah iklan sangat tepat untuk politisi”.

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, iklan kampanye di televisi memiliki andil besar menentukan kemenangan partai dan calon presiden.  Menurut M Qodari dari Indo Barometer, kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 misalnya, tak hanya karena popularitas SBY. Iklan politik partainya juga menjadi penentu.

Pada Pemilu 2009, Partai Demokrat diperkirakan membelanjakan iklan kampanye di televisi sebanyak Rp 123 milliar dalam 11 ribu spot iklan.

Lynda Lee Kaid dalam Ethics and Political Advertising (2000) mengidentifikasi beberapa masalah etis yang menyertai iklan politik. Antara lain sejauh mana iklan politik dapat dianggap sebagai tindakan membeli akses kepada para pemilih (buying acces to voters), apakah iklan politik memberikan tekanan pada citra (image) atau program (issues).

Dalam konteks iklan politik Partai Demokrat didapati kecenderungan tekanan pada citra. Figur SBY yang kala itu sangat populer selalu menyertai setiap iklan politik Partai Demokrat. Yang menarik, salah satu iklan politik tentang pemberantasan korupsi di era SBY. “Katakan Tidak Pada Korupsi”. Narasi ini betul betul didengungkan oleh para elit muda Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan Anggelina Sondakh. Belakangan, ketiganya justru terjerat kasus korupsi.

Kasus kasus korupsi yang menjerat politisi muda Demokrat ini dipastikan punya korelasi langsung pada turunnya perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu 2014 dan berlanjut di Pemilu 2019. Saya ingin mengatakan jangan main main dengan konten iklan politik.

Peluang Pemilu 2024

Lantas bagaimana peluang Pertai Demokrat dalam kontestasi di Pemilu 2024 ? Hasil survei Litbang Kompas yang dirilis Juli 2022 lalu menunjukkan, elektabilitas Partai Demokrat terus merangsek naik ke papan atas di angka 11,6 persen. Bahkan, di bawah komando Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) Demokrat menggeser Partai Golkar (10,3%) di posisi ketiga untuk kedua kalinya dalam survei tahun ini.

Menurut uraian Litbang Kompas, kenaikan tren elektabilitas Partai Demokrat ini disebabkan oleh faktor ideologi. Sebab, Partai Demokrat secara ideologi tidak dilabeli dengan politik aliran atau agama, sehingga terbuka bagi pemilih dari pihak mana pun. Selain itu dari sisi ketokohan, Partai Demokrat memiliki figur SBY dan AHY.

Elektabilitas Demokrat juga dipengaruhi narasi yang dikembangkan selama ini, yaitu cenderung selalu bersifat kritis terhadap pemerintah. Partai Demokrat juga disebut berhasil memikat pemilih dari kelas masyarakat strata bawah. Adapun dari sisi loyalitas pemilih, kenaikan suara lebih banyak diraup dari pemilih swing voters. “Kudeta” gagal yang dilakukan kelompok Moeldoko juga dipandang memiliki andil dalam mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat.

Branding Partai Demokrat dengan tokoh utama AHY dan juga SBY belakangan sudah di jalur yang pas. Safari politik AHY dengan gaya milenialnya ke seluruh wilayan Nusantara terbukti ampuh menarik pemilih muda. Belum lagi penetrasi di media sosial yang dilakukan.

Zaman sudah berubah. Media untuk berkampanye sudah demikian banyak dan beragam, seiring munculnya berbagai platform di media sosial. Kendati begitu elit partai politik tidak bisa serta merta meninggalkan media arus utama dalam berkampanye.

Dasarnya adalah hasil riset Dewan Pers yang berkolaborasi dengan Universitas Moestopo Beragama tentang  “Kepercayaan Publik terhadap Media Pers Arus Utama di Masa Pandemi Covid-19 pada Tahun 2021”. Riset tersebut menemukan fakta, di tengah gencarnya gempuran media sosial, ternyata media siber tetap jadi andalan publik dalam mengakses informasi, selama pandemi Covid 19.

Dalam temuannya, mayoritas masyarakat dalam mencari kebenaran informasi masih mengandalkan media siber sebesar 32 %, disusul tv-streaming 18,13 %, youtube 10,51 %, surat kabar harian 8,26 %, dan Twitter 7,33 %. Responden memilih media arus utama karena dalam informasinya sering menggunakan data dan utuh.

Maraknya peredaran hoaks juga turut memicu orang untuk kembali ke media arus utama. Dalam tiga tahun terakhir, arus balik kepercayaan publik terhadap media arus utama semakin tinggi. Tingkat kepercayaan pada media arus utama di Indonesia juga terus meningkat dan berada di posisi tertinggi di dunia.

Survei Edelman Trust Barometer 2021 yang diluncurkan pada 13 Januari 2021 menunjukkan tingkat kepercayaan pada media arus utama di Indonesia meningkat tiga poin dari 69 pada tahun sebelumnya menjadi 72 poin. Angka itu merupakan yang tertinggi di dunia setelah Tiongkok (70), India (60), Singapura (62), dan Malaysia (62).

Akhinya saya ingin mengutip istilah “content is king” dalam esai Bill Gates tahun 1996 silam. Apapun medianya, tetapi yang menentukan tetap konten atau isinya.  Jangan sampai konten konten dalam kampanye politik Partai Demokrat lebih mengutamakan citra daripada program. Apalagi menjadi tidak produktif seperti iklan politik “Katakan Tidak Pada Korupsi” saat pemilu 2009 lalu. Selamat Hari Jadi.

Back to top button