Market

Ekonom: Kelangkaan Beras, Jokowi Salahkan Iklim Bukan Food Estate


Ekonom dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menilai, kesulitan beras hari-hari, bisa teratasi jika pemilihan lokasi untuk program lumbung pangan atau food estate, benar. Namun, Presiden Jokowi malah menyalahkan perubahan iklim.

“Menurut saya, selain masalah perubahan iklim, ada dua pangkal masalah yang membuat kacau-balaunya sistem ketahanan pangan kita. Yakni, proyek food estate khususnya menyangkut pencetakan sawah baru, dan perlindungan petani padi terhadap liberalisasi pangan,” kata Gede saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Senin (26/2/2024).  

Berdasarkan sejarah Indonesia, kata dia, fenomena kelangkaan beras acapkali berujung kepada instabilitas politik, bahkan menjadi pintu masuk bagi turun-naiknya rezim pemerintahan secara menyakitkan, atau tanpa pemilu.

“Tapi, kelangkaan beras ini bukan sesederhana jawaban Presiden Jokowi yang menyalahkan semuanya pada perubahan iklim,” kata Gede.

Selanjutnya, Gede menilai, program food estate secara konsep, mungkin benar. Pemerintah ingin membuka sawah baru untuk meningkatkan produksi. Sayangnya, pilihan pemerintah sangatlah tidak tepat.

Pemilihan lokasi food estate di Kalimantan Tengah yang dipenuhi lahan gambut atau organosol/histosols, menurut Gede, terlampau berisiko. Karena, tingkat kesulitannya sangat tinggi. “Kecocokan lahan gambut untuk pertanian tergantung kepada ketebalan, kematangan, pengayaan hara dan substrat lainnya di bawah gambut, serta sumber air.

“Faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah pengelolaan air, bagaimana menjaga permukaan air tanah tidak terlalu dalam atau tidak terlalu dangkal atau tergenang,” kata dia.

Jika drainase terlalu dalam (overdrained), menurut Gede, menyebabkan kekeringan, kebakaran atau amblesan (subsidence). Tanah gambut itu memiliki sifat kering tak-balik (irreversible). Artinya, jika tanah gambut mengalami kekeringan, maka sulit diperbaiki dan
dikembalikan seperti semula.

Lalu daerah mana yang cocok untuk food estate padi? Menurut Gede, berdasarkan penelitian Badan Litbang Pertanian, Pulau Sulawesi secara biofisik memiliki lahan aluvial basah berlereng lebih dari 3 persen. Atau seluas 2,3 juta hektare (ha) lahan di Sulawesi, cocok untuk pengembangan padi sawah.

Selain itu, secara biofisik Pulau Sulawesi memiliki lahan kering berlereng 3-15 persen, seluas 1,98 juta ha. Cocok untuk jagung dan kedelai. Di sana bisa menghasilkan 4 juta ton jagung pipil dan 1,33 juta ton kedelai,” kata Gede.

Kalau itu dilakukan, kata dia, ketergantungan Indonesia akan kedelai impor bisa dikurangi. Saat ini, total produksi kedelai nasional hanya 355 ribu ton, sementara konsumsi nasional mencapai 2,7 juta ton. “Artinya, Sulawesi berpotensi memenuhi 50 persen kebutuhan kedelai nasional,” paparnya.
 

Back to top button