Market

Di Balik Kenaikan Harga BBM Nonsubsidi, Indonesia Kalah Jauh Ketimbang Malaysia

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai, keputusan pemerintah mengerek naik harga BBM non-subsidi, sangatlah tidak masuk akal. Beda sekali dengan Malaysia yang menahan harga BBM beroktan tinggi, sekelas BBM nonsubsidi milik Pertamina.

Namun, Anthony, meyakini, kenaikan harga BBM non-subsidi atau Pertamax Series, bisa menambah penerimaan negara. Alasannya, lebih dari 90 persen penjualan BBM non-subsidi di Indonesia, dikuasai Pertamina. Ketika harga naik, maka keuntungan BUMN migas itu, ikut naik. Ujung-ujungnya memberikan tambahan dividen kepada negara.

Mungkin anda suka

Kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (8/9/2023), Anthony membeberkan sejumlah unek-uneknya. Kenapa pemerintahan Jokowi, menaikkan harga BBM non-subsidi? Meski harga minyak dunia naik, tapi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, cenderung stabil.

Selain itu, harga patokan minyak mentah menurut APBN 2023 yang dipatok 95 dolar AS per barel, masih jauh di atas realisasi harga rata-rata minyak mentah dunia dalam delapan bulan terakhir ini. “Saya menilai, tidak ada dasar harga BBM non-subsidi harus naik,” tegasnya.

Selanjutnya, Anthony membandingkan Indonesia dengan Malaysia yang menjaga harga BBM-nya tidak naik sejak 2022. Semisal, harga BBM sejenis Pertamax Plus (RON95) di Malaysia, tidak naik. Sedangkan harga BBM RON97 di Malaysia, justru turun tajam dibandingkan tahun lalu.

“Saat ini, harga BBM RON97 di Malaysia hanya sekitar Rp11.000 per liter. Jauh lebih murah ketimbang harga Pertamax Turbo yang naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.900 per liter. Atau naiknya 13,6 persen,” tuturnya.

Kenaikan harga BBM non-subsidi ini juga terindikasi melanggar peraturan formula harga yang ditetapkan kementerian ESDM tentang regulasi harga BBM. “Apakah kenaikan harga BBM non-subsidi ini hanya untuk mengisi kas negara. Ceritanya, begini,” kata Anthony.

Per Juli 2023, PEPS mencatat, penerimaan negara anjlok 11,5 persen dibandingkan periode sama di tahun lalu. 
Di mana, pendapatan negara pada Juli 2023 mencapai Rp206,84 triliun. Sementara pendapatan negara pada Juli 2022 mencapai Rp233,78 triliun. 

“Terjadi penurunan atas pendapatan pajak sebesar 10 persen dibandingkan Juni 2023. Sedangkan dari bea masuk dan bea keluar, anjloknya lebih parah lagi. Hampir dua kali lipat, yakni 19,5 persen,” kata Anthony.

Secara keseluruhan, lanjutnya, pendapatan negara periode April-Juli 2023, turun Rp82,38 triliun. Atau setara 7,8 persen dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya (April-Juli 2022). 

“Ternyata, UU Cipta Kerja, selain diduga melanggar konstitusi, tidak bisa menyelamatkan penurunan pendapatan negara, yang membuat APBN menjadi bermasalah. Krisis fiskal menanti,” kata dia.

Lalu apa solusi pemerintah? Kata Anthony, lagi-lagi, mengorbankan kepentingan masyarakat. Harga BBM kelas non subsidi dikerek. Pemerintah pasti berkilah, yang naik kan BBM nonsubsidi. Tentu saja, dampaknya kepada naiknya pendapatan negara. 
 

Back to top button