Kanal

Dari Sim Salabim Suara PSI Hingga Golkar Mengepalai DPR RI, Semua untuk Dinasti Jokowi?


Andai PSI berhasil masuk DPR RI dengan sekian banyak tanda-tanya mengiringinya, dan ketua DPR RI dijabat figur bukan pemenang Pileg, akankah DPR RI periode 2024-2029 mengulang kondisi parlemen selama 2018-2024 yang sering disebut paling buruk dan dekaden sepanjang era Reformasi?

Dengan judul “Surat Komeng untuk Grace Natalie dkk”, surat imajiner yang ditulis Majalah Tempo di halaman Opini alias Tajuk Rencana-nya itu wajar kalau membuat kuping anggota keluarga besar Partai Solidaritas Indonesia (PSI) gatal memerah. ‘Surat’ yang dimulai dengan permohonan maaf itu memang penuh sindiran nakal, membelejeti sekian banyak fakta yang sering dianggap aib partai tersebut.

Sampai pada satu alinea, di paragraf yang nyaris menutup tulisan, Tempo berkata,”Dipimpin Kaesang, yang meneruskan kepemimpinan Sis Grace, PSI mendapat banyak keistimewaan. Spanduk bergambar foto Presiden dan Mas Kaesang adalah jaminan dilirik orang lewat. Dengan tingkat kepuasan yang tinggi kepada Jokowi, partai Sis semestinya banyak dipilih. Meski begitu, dalam hitung cepat sejumlah lembaga survei, tingkat keterpilihan PSI baru 2,9 persen. Padahal, untuk masuk Senayan, partai minimal harus mendapat 4 persen suara nasional.”

Tulisan itu turun ke publik seiring waktu edar edisi tersebut, 19-25 Februari 2024. Sepekan kemudian, dalam catatan banyak media massa perolehan suara PSI ujug-ujug meningkat menjadi sekitar 3,13 persen atau 2.402.268 suara pada Sabtu (2/3/2024) pukul 15.00 WIB, dari hanya 2,86 persen atau 2.171.907 suara pada Kamis (29/2/2024) pukul 10.00 WIB!

Hampir semua media nasional menurunkan tulisan tentang peristiwa ‘ganjil’ tersebut. Sebuah media asing yang berbasis di Washington, DC, AS, Benar News, ikut menurunkan artikel berjudul “Mid-count surge in votes for Indonesian president’s son’s party raises fraud suspicions” atas peristiwa itu. Benar News menyebutkan, sejumlah pakar jajak pendapat menyuarakan kecurigaan bahwa perolehan suara PSI mungkin telah dinaikkan agar partai itu bisa masuk parlemen.

Fenomena itu segera membakar jenggot pesaing PSI, sesama parpol peserta Pemilu. Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy, terus terang mengatakan heran dengan lonjakan suara PSI itu. Romy kontan menduga ada kejanggalan, lantaran di sisi lain perolehan suara PPP justru turun. “Mohon atensi kepada @kpu_ri dan @bawasluri, operasi apa ini? Meminjam bahasa pak @jusufkalla, operasi’sayang anak’ lagi?”ujar Romy via akun X-nya, @romahurmuziy, di hari kejadian, Sabtu (2/3).

Sekian banyak pengamat politik pun buru-buru unjuk suara. Ujang Komarudin, pengamat politik Universitas Al Azhar, Jakarta, menyebut surat suara partai politik mustahil naik tajam secara langsung. Karena itu dia menyindir kenaikan suara PSI tersebut tak ada bedanya dengan sulap. “….tidak mungkin langsung simsalabim suara itu. Tidak mungkin langsung melonjak,” kata Ujang, dimuat di banyak media nasional, sehari setelah kejadian. Ujang menyatakan, telah beredar dugaan di internal PPP dan PDIP soal adanya ‘operasi’ untuk meloloskan PSI ke parlemen, dengan cara menaikkan perolehan suara hingga tembus empat persen. Jika memang operasi tersebut benar adanya, kata Ujang, kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi yang diyakini bersama pun terancam. “Kedaulatan rakyat, suara rakyat, bisa diakali, bisa dimanipulasi, bisa dimainkan. Ini bahaya,” ujar Ujang.

post-cover
Jokowi dan Kaesang (Foto: Instagram/@psi_id)

Atas hal tersebut, pakar Pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menjelaskan kekeliruan Sistem Rekapitulasi Suara (Sirekap) dalam mengonversi angka dari hasil pindai dokumen C Hasil, sehingga menguntungkan partai tertentu. Harus jelas, apakah kekeliruan tersebut semata kesalahan sistem, atau ada indikasi kesengajaan untuk menggiring suara ke partai tertentu. Sebab, kata Titi,  berdasarkan temuannya dan warganet di media sosial, pergeseran suara tidak sah itu hanya terjadi di PSI dan Gelora. “Bagi saya ini tidak bisa dianggap sederhana. Kalau terus terjadi, spekulasi bisa diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat,” kata Titi.

Titi menilai, selain disebabkan kesalahan mengonversi angka oleh Sirekap, potensi penggelembungan suara parpol juga bisa terjadi di tahap rekapitulasi di tingkat kecamatan. Di tahap ini, menurut dia, potensi kecurangan cukup besar lantaran proses rekapitulasi berlangsung di ruang tertutup.

Dari kalangan lembaga survei, Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, bahkan menyebut kenaikan suara PSI itu dengan istilah “ledakan”. Sebab menurut Burhanuddin, fenomena ini berbeda dengan naik dan turunnya suara partai lain di Pemilu 2024, yang terlihat landai-landai alias smooth saja. “PKB naik turun suaranya smooth sejak awal. Demikian juga partai-partai lain. Sementara perolehan suara PSI ‘meledak’ hanya dalam beberapa hari terakhir. Suara partai-partai tidak akan sedinamis ini,” tulis Burhanuddin di akun media sosial X. Ia menambahkan,”Saatnya kita gunakan fungsi utama quick count, yakni mengontrol KPU.”

Sebagaimana Burhanuddin, Bawono Kumoro  dari Indikator Politik juga menyatakan terkejut dalam hitungan tujuh hari PSI mendapatkan 0,6 persen dari sekitar 2 persen suara nasional yang masuk ke Sirekap. Benar, dalam catatannya angka 3,13 persen PSI itu masih dalam batas margin of error lembaga surveinya, 0,54 persen. “Dibilang anomali atau mengejutkan, iya. Tapi untuk mengatakan apakah ada kecurangan, kita perlu punya buktinya,”kata Bawono.

Hanya Lembaga Survei Indonesia (LSI), via direktur eksekutifnya, Djayadi Hanan, yang menilai tidak ada yang aneh dari perolehan suara PSI. Ia melihat selisih perolehan suara ketiga partai (PKB, Gelora dan PSI) antara yang tertera di Sirekap per Ahad (3/3) dengan hasil quick count lembaganya, tak lebih dari batas margin of error 0,75 persen. “Kami di LSI toleransi simpangannya sekitar 0,75 persen. Jadi kalau sekarang PSI mendapat 3,13 persen, belum bisa disimpulkan ada lonjakan,”kata Djayadi.  “Kita tunggu saja. Kalau ternyata mereka terus melonjak sampai 4 persen, itu baru tidak masuk akal karena terlalu jauh dari hasil quick count.”

Kecurigaan itu dibantah anggota KPU Idham Kholik. ”Pelaksanan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara itu melibatkan banyak pihak,” kata Idham di Kantor KPU RI, Ahad (3/3). Itu termasuk masyarakat yang menjadi badan ad hoc KPU,yakni Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), serta para saksi, baik dari partai politik maupun dari pasangan capres-cawapres. Itu, kata Idham, membuat semua proses terbuka dan penuh kebebasan, sehingga (semua pihak) tidak berada dalam tekanan atau intervensi

Sedangkan dari sisi PSI, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, mengatakan, penambahan atau pun pengurangan suara selama proses rekapitulasi merupakan hal yang wajar.Karena itu ia balik mempertanyakan pihak-pihak yang disebutnya mencoba menggiring opini dengan mempertanyakan penambahan suara partainya sebagai ketidakwajaran.

Menurut Grace, masih lebih dari 70 juta suara belum terhitung dan sebagian besar merupakan basis pendukung Presiden Jokowi. “Apalagi saat ini masih lebih dari 70 juta suara belum dihitung dan sebagian besar berada di basis-basis pendukung Jokowi, di mana PSI mempunyai potensi dukungan yang kuat,”ujar Grace saat ditanya wartawan.

Sempat sekian lama terkesan mendiamkan persoalan, Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, tampaknya jengkel manakala persoalan serumpun namun berbeda jenis dilontarkan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto. Hasto memang sempat melontarkan dugaan adanya penguncian suara pasangan nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud Md untuk ngendon di angka 17 persen.

Hasyim mengatakan, KPU tidak pernah melakukan hal itu, mengingat pemungutan dan penghitungan suara dilakukan secara langsung. “KPU membantah,”kata Hasyim pada Jumat pekan berikutnya (8/3). “KPU tidak pernah mematok, tidak pernah mengunci, tidak tidak pernah menargetkan partai tertentu, pasangan calon tertentu. Sejak awal harus suaranya sekian. Tidak ada!” ujar Hasyim. “Perolehan suara, baik berupa suara maupun kalau dikonversi jadi persentase, itu semuanya berasal dari penghitungan suara secara berjenjang dari TPS.”

Jawaban itu jauh dari respons yang Hasto harapkan, tampaknya. Ia segera neresons balik. Menurut Hasto, KPU seakan pura-pura takt ahu akan kekuataan yang ada di belakang mereka. “Ya, ini kan (ada) kekuatan di belakang KPU. KPU-nya nggak tahu. (Atau) KPU sendiri pura-pura nggak tahu ketika IP address-nya dipindahkan,”kata Hasto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (9/8). Bagi Hasto, penyangkalan akan terus dilakukan KPU hingga pada akhirnya kebenaran terungkap. Ia menunjuk saat terjadi  masalah dalam alat bantu penghitungan, Sirekap, beberapa waktu lalu.

“Maka ketika KPU mencoba membantah, pertama ketika Sirekap dimatikan alasan dari KPU apa? Hackers. Itu tidak terbukti, itu sengaja, (secara) manual di-shut down,” ujar Hasto. “Kami ada bukti-buktinya. Program itu diubah, maka Ganjar-Mahfud di-lock (di) 17 persen.”

Siapa memimpin DPR RI?

Jika mengacu perolehan suara parpol per Sabtu (2/3) siang, pukul 15.30 WIB, selain tiga partai yang meraih suara sementara terbanyak, yakni PDIP (16,41 persen), Partai Golkar (15,07 persen), dan Gerindra (13,31 persen), beberapa partai lain diprediksi akan masuk Senayan. Parpol-parpol tersebut adalah PKB (11,56 persen). Partai Nasdem (9,43 persen), PKS (7,51 persen), Partai Demokrat (7,42 persen), PAN  (6,96 persen), PPP (3,97 persen) dan PSI (3,13 persen).

Sejatinya, dengan besarnya kemungkinan PDIP kembali memenangkan kontestasi Pileg untuk ketiga kalinya, alias hattrick, peluang untuk kembali memimpin DPR pn terbuka luas. Persoalannya, tidak sebagaimana dua Pemilu sebelumnya, kali ini PDIP mungkin akan kalah dalam Pilpres.

Artinya, bukan tidak mungkin posisi ketua DPR RI yang secara konvensional dijabat parpol pemenang Pileg pun akan digoyang-dibikin hiruk pikuk. Benar, berdasarkan UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) Pasal 42, 427 ayat 1 dijelaskan bahwa ketua DPR RI adalah anggota DPR RI dari parpol yang memperoleh kursi terbanyak di parlemen, dan seterusnya. Tetapi mengingat suara runner-up, Partai Golkar, yang mungkin tidak akan terlalu jauh, posisi PDIP tidaklah kukuh. Belum lagi jika kita hitung sisa-sisa polarisasi Pilpres yang tampaknya tak akan luluh begitu saja dalam setahun-dua tahun ini.

Alhasil, besar kemungkinan Partai Golkar akan meniup terompet commander call, mengumpulkan parpol-parpol wadya bala 02 di Pilpres untuk menjalin aliansi. Dengan besarnya tambahan suara dari Gerindra, Demokrat, PAN dan katakanlah PSI bila masuk DPR, suara ‘koalisi’ ini sudah sekitar 40-an sekian persen. Ditambah iming-iming posisi tertentu di kabinet, parpol mana di Indonesia yang politiknya berdasarkan pragmatisme—beberapa pengamat malah menyebut oportunisme—ini yang teguh tak melirik?

Belum lagi sejarah parlemen kita pun menegaskan adabya cerita tentang perubahan UU MD3 pada 2014 lalu.

post-cover
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat rapat paripurna DPR, Selasa (5/3/2024). (Foto: Inilah.com/Vonita).

Sebenarnya, hal itu sudah ditepis Wakil Ketua Umum Partai Golkar yang saat ini memimpin MPR RI, Bambang Soesatyo. Bamsoet, demikian Bambang akrab disapa, menolak kabar akan adanya revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Menurutnya, ketentuan yang sudah ditetapkan haruslah dijalankan.

“Ketua DPR, sesuai dengan ketentuan UU MD3, diduduki oleh pemilik kursi terbanyak di Parlemen,” kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (8/3). Ia mengaku tak melihat ada urgensi untuk diubahnya UU MD3. “Jangan memunculkan hal-hal yang membuat kita gaduh. Saya orang pertama yang tidak setuju kalau ada dorongan perubahan di UU MD3,”kata dia, tegas.

Boleh-boleh saja Bamsoet bicara begitu. Persoalannya, bukan tak mungkin kondisi Parlemen era 2024-2029 akan mengulang periode sebelumnya yang tanpa oposisi. Atau kalau pun ada, suara mereka tak ubahnya bunyi teriak para kurcaci yang tak pernah direken pemilik kuasa dan para kambratnya. Hasilnya kita lihat sama-sama, Parlemen 2019-2024 laiknya tukang stempel kepentingan eksekutif semata. Beragam undang-undang yang dikritik bahkan ditolak publik pun resmi berlaku: Revisi UU KPK, UU Minerba, UU IKN, UU Cipta Kerja, dan sebagainya.  

Belum lagi dunia politik Indonesia pun tengah bising dengan isu menggeloranya hasrat Jokowi mengambil-alih Partai Golkar untuk jaminan masa-masa pasca-presidensinya. Tapi itu soal lain, di luar fokus tulisan yang sudah panjang ini. [dsy/vonita betalia/ reyhaanah asyaroniyyah/diana risky/clara ana]

Back to top button