Hangout

Gawat! Gen Z Mulai Curhat Alami Diabetes, Ini Gejalanya


Belakangan masyarakat dihebohkan dengan pengakuan gen Z di sosial media mengalami diabetes. Padahal, usianya masih terbilang muda sekitar 24 – 27 tahun.

Hal tersebut terlihat dari akun sosial media @pandemitalks. Pada akun tersebut yang terpantau Sabtu, (04/05/2024), terlihat jelas seseorang dengan akun Instagram @kafimasi menjelaskan kisah tragis karena empat temannya sudah mengalami diabetes kronis pada usia rentan 24-27 tahun.

Dia menjelaskan, temannya memang sangat suka minuman manis sejak duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Gambaran cerita di atas tentu sangat memprihatinkan. Mengingat banyak sekali makanan, minuman manis yang tanpa sadar dikonsumsi anak muda kemudian tidak melihat efek samping yang terjadi di dalam tubuh. 

Diabetes pada Remaja 

Diabetes pada remaja merupakan masalah kesehatan yang serius dan semakin meningkat dengan gaya hidup modern yang kurang sehat. 

Mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh diabetes, upaya pencegahan melalui edukasi tentang pola makan sehat dan pentingnya aktivitas fisik harus ditingkatkan. 

Untuk remaja yang telah didiagnosis dengan diabetes, pemantauan rutin dan pengobatan yang tepat adalah kunci untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup, seperti mengutip dari laman Kemenkes RI. 

Diabetes, yang kerap dianggap sebagai penyakit orang dewasa, kini semakin meningkat prevalensinya di kalangan remaja. Perubahan pola hidup dan peningkatan kasus obesitas di kalangan anak muda menjadikan diabetes sebagai ancaman serius bagi generasi muda.

Pengertian Diabetes

Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah (glukosa) yang tinggi akibat gangguan pada produksi insulin oleh pankreas atau penggunaan insulin oleh tubuh.

Penyebab

  • Genetika: Riwayat keluarga dengan diabetes meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit ini.
     
  • Resistensi Insulin: Terkait dengan obesitas, di mana sel tubuh menjadi resisten terhadap efek insulin.
     
  • Pankreas Tidak Menghasilkan Cukup Insulin.
     
  • Gaya Hidup: Pola makan yang buruk, kurangnya aktivitas fisik, dan obesitas.
     
  • Penyakit lain: Beberapa kondisi seperti sindrom ovarium polikistik dapat meningkatkan risiko diabetes.

Gejala

  • Sering merasa haus
     
  • Buang air kecil lebih sering dari biasanya
     
  • Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas
     
  • Rasa lelah yang konstan
     
  • Penglihatan kabur
     
  • Luka yang lama sembuh. 

Batasi Konsumsi Gula, Garam dan Lemak

Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan merupakan perilaku masyarakat yang mendekatkan pada risiko penyakit tidak menular (PTM) seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyarankan batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari, yakni 50 gram atau 4 sendok makan gula, 2.000 miligram natrium/ atau 5 gram atau 1 sendok teh garam (natrium/sodium), dan lemak hanya 67 gram atau 5 sendok makan minyak goreng.

Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan di antaranya obesitas. 

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 terjadi peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4 persen pada 2013 meningkat menjadi 21,8 persen pada 2018.

Indonesia juga memiliki prevalensi obesitas anak yang tinggi. Prevalensi obesitas pada usia 5-19 tahun meningkat dari 2,8 persen pada 2006 menjadi 6,1 persen pada 2016. 

Untuk kategori remaja usia 13-17, sebanyak 14,8 persen mengalami berat badan berlebih dan 4,6 persen mengalami obesitas.

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko PTM sehingga peningkatan obesitas beriringan dengan peningkatan penyakit tidak menular di Indonesia. 

Data The Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menyebutkan, PTM merupakan penyebab dari 80 persen kasus kematian di Indonesia.

Pemerintah berupaya mengatasi peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular salah satunya dengan melakukan pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). 

Pembatasan itu dapat dicapai melalui implementasi kebijakan cukai pada produk tersebut.

Urgensi penerapan cukai ini karena konsumsi tinggi minuman berpemanis dapat menyebabkan diabetes. Padahal, diabetes merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan penelitian Vasanti S Malik et al. (2019), setiap peningkatan 1 takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan sebesar 0,12 kg per tahun pada orang dewasa. 

Kemudian, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18 persen, stroke 13 persen, dan serangan jantung (infark miokard) 22 persen.

“Peraturan saat ini tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait besaran cukai yang akan diterapkan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI Eva Susanti di Jakarta, Sabtu (04/03/2024). 

Pengenaan cukai pada MBDK dilatarbelakangi oleh dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsinya, baik dalam hal kesehatan masyarakat, khususnya peningkatan prevalensi PTM, maupun beban finansial yang ditanggung oleh sistem kesehatan.

Cukai MBDK salah satu intervensi yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTM. Apalagi, sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan ini.

Berdasarkan penelitian Ferretti dan Mariani (2019), Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Maldives dan Thailand dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 20,23 liter per orang di Asia Tenggara. 

Sumber lain, sebuah penelitian dari Rosyada dan Ardiansyah (2017), menyebutkan konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, yakni sebanyak 51 juta liter pada 1996 dan bertambah menjadi 780 juta liter pada 2014.

 

Back to top button