News

Bila Pendidikan Berawal dari Perilaku Curang

Yang jelas, beleid zonasi PPDB bahkan telah menimbulkan gerakan lancung massal tadi, saat semua orang tua murid menjadi laiknya simpatisan Niccollo Machiavelli yang mempersetankan halal-haramnya cara, asalkan tujuan tercapai. “The end justifies the means…”kata para Machiavellian, meski kalimat itu secara verbatim tak pernah ada dalam “Il Principe” yang ditulis Machiavelli.

Bagi Ledia Hanifa, sejatinya pendidikan Indonesia telah gagal ambyar. Ia punya alasan yang kuat dan masuk akal untuk pendapat yang dikemukannya saat Rapat Dengar Pendapat antara Komisi X DPR RI dengan Sekjen, Irjen, Dirjen Dikdasmen, dan Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek, 12 Juli lalu. Pasalnya, dengan maraknya fenomena pelanggaran seiring penerimaan siswa baru—kini disebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)—sistem zonasi, seolah orang Indonesia telah mencampakkan budi pekerti, pilar sekaligus tujuan pendidikan, ke keranjang sampah.

“Semua ingin anak mendapatkan pendidikan yang baik. Tapi (jalannya) tidak menggunakan proses yang mendidik. Dengan cara berbohong, dengan memalsukan. Itu kan sama juga dengan mengajari anak-anak kita,”Nggak apa-apa kamu lakukan cara apa pun untuk dapat pendidikan terbaik,”kata Ledia, anggota Komisi X yang juga sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. “Padahal, kita tahu, dalam bahasa agama, itu membuat ilmu yang didapat tak akan berkah.”

Ledia tak hanya menunjuk para orang tua calon siswa sebagai biang kerok masalah. Merujuk berita yang bertebaran di media massa, Ledia juga menudingkan telunjuk ke -–baiklah kita sebut—-oknum guru, oknum pengelola pendidikan, bahkan oknum aparat penegak hukum, yang terlibat dalam kebusukan proses PPDB . “Kok ada ya? Berarti boleh dikatakan pendidikan kita gagal,”kata Ledia. Yang membuat legislator pengubah paradigma belas kasihan (charity base) bagi penyandang disabilitas menjadi pemenuhan hak (right base) itu tak henti geleng-geleng kepala, hal itu terus terjadi bertahun-tahun, di setiap kali datangnya waktu PPDB. Seolah tak ada pengalaman apa pun yang bisa membuat penanggung jawab manajemen pendidikan Indonesia mengevaluasi, menelaah dan mengubah hal-hal buruk yang terjadi di lapangan.

Ya salam… bagaimana pun PPDB zonasi bukan baru tahun ini diadakan. Setidaknya cara tersebut mulai berlaku pada tahun munculnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat, di era  Menteri Muhadjir Effendy. Artinya, pada tahun ini setidaknya sudah berlangsung tujuh kali. Apalagi, bahkan di tahun pertama berlakunya pun, sistem ini sudah langsung mendatangkan masalah.

Majalah “Info Singkat Kesejahteraan Sosial” pada tahun itu telah kontan menge-luarkan artikel bertajuk “Sistem Zonasi dan Dampak Psikososial Bagi Peserta Didik”. Isinya menyebutkan, implementasi sistem zonasi justru menimbulkan kecemasan bagi para orang tua, akibat dari mekanismenya yang (bagi mereka) kurang jelas hingga rentan menimbulkan permasalahan sosial.

Pada tahun yang sama (2017) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan adanya 41 persen masyarakat yang menganggap sistem zonasi sebagai masalah. JPPI menyebutkan, mayoritas masyarakat merasakan banyak ketidakta-huan soal kebijakan. Hal itu pada ujungnya membuat mereka bermasalah dengan sistem, misalnya soal nama anak yang belum tercantum di Kartu Keluarga (KK), urusan saat anak mengikuti kerja orang tua, ikut merantau, atau karena anak-anak itu kemudian hidup bersama sanak saudaranya.

Ilustrasi Pemalsuan Kk Untuk Ppdb Dok Lingkarco - inilah.com
Ilustrasi Pemalsuan KK untuk PPDB (Foto: Dok Lingkarco).

Jangankan masyarakat awam, di tahun pertama penerapan sistem PPDB zonasi itu, Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Novrianto, saja mengaku resah dan pesimistis akan sistem tersebut. Ia yakin sistem itu tidak akan efektif bila tahun berikutnya (2018) tetap diterapkan. “Saya melihat ada celah untuk memalsukan data kependudukan. Contohnya, (pihak) siswa akan mencoba untuk menumpang data di Kartu Keluarga kerabat atau pun orang lain agar bisa daftar masuk ke sekolah favorit tanpa ikut aturan zonasi,”kata Novrianto, pertengahan Juli 2017.

Yang membuatnya cemas, kemungkinan perubahan data KK untuk pendaftaran siswa baru itu bisa mengubah data kependudukan daerah. “Tahun depan, siswa-siswi baru yang akan mendaftar bisa saja tinggal menumpang di Kartu Keluarga kerabat di luar zona sekolah, berdasarkan data kependudukan. Jelas akan banyak KK yang berubah nanti,” kata Novrianto. Dan terbukti, ia benar.

Di Jawa Tengah, terbongkar fakta bahwa puluhan ribu pendaftar SMA di provinsi itu ditengarai menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) palsu alias sejatinya orang mampu, demi diterima di sekolah favorit. Sementara sejumlah sekolah di Solo malah kekurangan murid karena berlokasi jauh dari permukiman penduduk.

“Kami rapat dengan teman-teman di daerah, dan menerima laporan bahwa PPDB tahun ini makin gaduh,”ujar Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo. Ia mengungkap sekian banyak catatan tentang kelemahan Permendikbud (saat itu) 14/2018 pada Bab III tentang Tata Cara PPDB. Salah satunya pada bagian keempat tentang Sistem Zonasi, yang menjelaskan bahwa sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau bila terjadi bencana alam atau sosial.

Ada lagi masalah lain, yakni pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “Domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat Kartu Keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB.” “Pasal tersebut tidak mengukur dengan jelas alasan migrasi dukcapilnya dari suatu daerah ke daerah lain,”kata Heru. Dengan begitu, Heru menilai banyak migrasi dukcapil digunakan hanya untuk memperoleh peluang masuk sekolah negeri atau sekolah favorit.

Lainnya terkait pengertian ‘radius terdekat’ yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 yang berbunyi, “Sekolah yang diselengarakan oleh Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.” Dan banyak catatan lain yang terlalu panjang untuk diungkap detil.

Salah jika berpikir hanya kaum alit yang terkena dampak buruk beleid tersebut. Tahun 2018 itu, Ridwan Kamil yang masih wali Kota Bandung, mengaku bahwa anak keduanya, Camillia Laetitia Azzahra, terlempar ke sebuah SMP swasta gara-gara zonasi. Kang Emil mengaku anaknya tersingkir karena banyak peserta didik lain yang memiliki poin lebih akibat jarak rumah yang lebih dekat dengan sekolah. Menurut Kang Emil, besarnya kuota peserta didik baru, 90 persen di sistem zonasi, menyebabkan semua itu.  “Karena tahun lalu relatif lebih baik, persentase nggak setinggi itu, saya amati dinamikanya dan menduga angka 90 (persen) itu yang menjadi kendala,” kata Kang Emil saat itu.

Dari bunuh diri, demo, hingga sandera aparat

Jangan berpikir korban beleid zonasi itu hanya sikap snobis (sok) para orang tua yang gagal memasukkan anaknya ke “sekolah favorit”. Beleid zonasi ini tercatat telah merenggut nyawa.

Pada Juni 2018, seorang remaja putri di Blitar, Jawa Timur, EP (16), tewas bunuh diri setelah khawatir tidak bisa diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) 1 Blitar akibat berlakunya sistem zonasi.

Keresahan EP itu mencerminkan kekhawatiran banyak orang tua calon siswa. Sekian banyak demonstrasi pun tergelar di banyak kota. Dari Bandung, Tangerang, Manado, dan kota-kota lainnya, marak terjadi demonstrasi mempertanyakan sistem tersebut.

Antarafoto Ilustrasi Demonstrasi Penolakan Zonasi Ppdb - inilah.com
Ilustrasi demonstrasi penolakan zonasi PPDB. (Foto: Antara)

Bahkan sempat terjadi aksi yang menyerempet-nyerempet tindak kriminal, saat sebuah ratusan warga Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, yang menggelar aksi di SMP 23 Pinang, menyandera Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang, Abduh Surahman. Para penyandera amatir itu adalah para orang tua calon murid yang kecewa anaknya tak diterima di sekolah tersebut. Mereka kesal lantaran Abduh tak bisa membantu meloloskan anak-anak mereka.

Belum lagi dampaknya mengejutkan, yakni membuat orang seolah mempersetankan moral dan kebenaran agar anak-anak mereka lolos ke sekolah idaman. Hanya di Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil tahun ini (akan) menjatuhkan sanksi tegas bagi 4.791 calon siswa tingkat SMA, SMK, dan SLB gara-gara perilaku lancung seiring PPDB. Para calon siswa tersebut,kata Emil, mendaftar PPDB 2023 dengan cara-cara ilegal, misalnya memanipulasi KK dengan mengganti domisili.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan (Disdik) Jabar, aduan terkait PPDB yang diajukan kepada pemerintah hingga pertengahan Juli lalu mencapai 2.643 laporan. Dari jumlah tersebut, 2.346 laporan diselesaikan.

Dari semua kejadian itu, ada satu hal tak boleh dilupakan: sistem zonasi PPDB itu yang sebelumnya diatur dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 tersebut telah disempurnakan lewat Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018. Namun “hanya penyempurnaan” tampaknya jauh dari memadai.

Yang jelas, beleid zonasi PPDB bahkan telah menimbulkan gerakan lancung massal tadi, saat semua orang tua murid menjadi laiknya simpatisan Niccollo Machiavelli yang mempersetankan halal-haramnya cara, asalkan tujuan tercapai. “The end justifies the means…”kata para Machiavellian, meski kalimat itu secara verbatim tak pernah ada dalam “Il Principe” yang ditulis Machiavelli.

Apakah zonasi Diperlukan?

Tentu saja. Namun tampaknya bukan untuk saat ini. Bagaimana pun sistem ini diterapkan dengan niat baik, sebagai strategi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan akses dan mutu pendidikan secara nasional. Sistem ini awalnya juga dipercaya akan memudahkan masyarakat untuk mengakses pendidikan, hingga Pendidikan pun bisa berlangsung adil, objektif, akuntabel, transparan dan tanpa diskriminasi. Sayangnya,  kenyataan di lapangan berkata lain.

Ilustrasi Zonasi Ppdb Di Pemkot Depok Jawa Barat - inilah.com
Zonasi PPDB Di Pemkot Depok Jawa Barat. (Foto: Antara).

Barangkali, kita memang harus menahan diri dan bersabar. Bolehlah kita berkehendak maju, tapi jangan melompat. Sayang, bila sebagai sahabat erat Republik Rakyat Cina (RRC) kita luput becermin dari kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” yang dilakukan dengan melakukan Revolusi Kebudayaan ala Mao. Alih-alih menjadi negara maju, saat itu Cina bahkan mengorbankan jutaan nyawa, termasuk nyawa-nyawa para cendikiawan yang berharga.

Alih-alih mengatur-atur warga untuk menyekolahkan anak di mana, tidakkah lebih urgen mengurus ketertinggalan Pendidikan kita? Misalnya, tidakkah kita akan terus nyaman manakala tahun ini berada di urutan ke-67 dari 209 negara berdasarkan rilis Worldtop20.org. Urutan Indonesia itu berada di antara Albania di posisi ke-66 dan Serbia di peringkat ke-68. Belum lagi hasil skor Programme of Internasional Student Assesment (PISA) kita pun hanya berada urutan 73 dalam bidang matematika, ke-74 dalam kemampuan literasi, dan ke-71 dalam bidang sains, dari total 78 negara yang diuji.

Pada tahun 2018, skor PISA Indonesia pun sangat memprihatinkan. Hasil survei PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke-74 alias peringkat keenam dari bawah. Kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371, berada di posisi 74, kemampuan Matematika mendapat 379, berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71. Skor tersebut di bawah skor rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, tampaknya lebih siap memakai jurus “Giwar” alias berkelit dalam pencak silat Cimande, dibanding mencari solusi efektif. Pada soal zonasi PPDB, misalnya. Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, tanpa tedeng aling-aling bilang sistem zonasi itu merepotkan dirinya. Menurut Nadiem, setiap tahun dirinya terkena dampak akibat kebijakan tersebut.

“Itu zonasi, kebijakan zonasi itu bukan kebijakan saya. Itu kebijakan (Menteri) sebelumnya, Pak Muhadjir. Tapi itu kita sebagai satu tim, merasa ini adalah suatu kebijakan yang sangat penting, yang sudah pasti bakal merepotkan saya. Saya kena getahnya setiap tahun karena zonasi,”ujar Nadiem saat memberikan materi pada acara Belajar Raya 2023 di Posbloc, Jakarta, akhir Juli lalu.

Karena penting—tanpa menjelaskan pentingnya kebijakan itu lebih detil, Nadiem berkomitmen untuk melanjutkan kebijakan PPDB zonasi.

DPR RI sendiri tak pernah berhenti mencari penyelesaian masalah tersebut. Meski tak langsung menghentikannya sebagaimana tuntutan banyak kalangan masyarakat, Wakil Ketua Komisi X, Dede Yusuf, meminta agar pemerintah mengurangi persentase zonasi PPDB dan memperbanyak persentase jalur prestasi. “Saat ini jalur zonasinya 50 persen, [jalur] prestasinya hanya 30 persen. Ke depan tentu mungkin jalur zonasinya bisa kita kurangi jadi 25 persen sehingga jalur prestasinya jadi lebih banyak,”kata Dede. Ia mengatakan, PPDB jalur zonasi harus dikurangi agar tidak terjadi banyak kasus pemalsuan Kartu Keluarga. “Sekarang yang terjadi,  banyak yang bikin kartu keluarga palsu dan itu berbahaya bagi pendataan negara.”

Baiklah, Dede memang tak lagi muda untuk sesuatu yang revolusioner, misalnya penghentian total sistem zonasi dengan segala efek negatifnya itu. Namun setidaknya, ia tak alergi dengan perubahan. [dsy/ Diana Rizky/Vonita Betalia/Clara Anna/ Rizky Aslendra]

Back to top button