News

Gragas! China Kian Agresif Bangun Kepulauan Sengketa di Laut China Selatan

China secara membabi buta terus melanjutkan ekspansi ilegalnya di Laut China Selatan. Selain membangun infrastruktur di beberapa pulau di kawasan tersebut, China juga memperkuat infrastruktur militernya. China makin gragas main caplok aja pulau-pulau sengketa itu.

Menurut foto satelit yang dianalisis The Associated Press, China tampaknya sedang membangun landasan terbang di pulau Laut China Selatan (LCS) yang disengketakan yang juga diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. Aktivitas tersebut terlihat di Pulau Triton dari kelompok Paracel yang juga dikenal sebagai Kepulauan Xisha oleh Tiongkok dan Kepulauan Hoàng Sa oleh Vietnam.

Mungkin anda suka

Pembangunan Pulau Triton merupakan langkah agresif karena merupakan bagian dari kepulauan yang disengketakan di LCS. Tersebar di area seluas 15.000 kilometer persegi Kepulauan Paracel mencakup sekitar 130 pulau karang kecil dan terumbu karang, kira-kira berjarak sama dari pantai Vietnam dan Provinsi Pulau Hainan di China.

China telah memiliki beberapa bangunan dengan susunan radar dan helipad di Pulau Triton selama bertahun-tahun. Konstruksi landasan terbang pertama kali terlihat melalui foto satelit pada awal Agustus. Citra satelit mengungkapkan landasan pacu sepanjang lebih dari 600 meter (2.000 kaki), yang mungkin cukup untuk pesawat turboprop dan drone, tetapi tidak dapat mengakomodasi jet tempur atau pembom.

Gambar-gambar tersebut juga dengan jelas menunjukkan sejumlah besar jalur kendaraan melintasi sebagian besar pulau, bersama dengan peti kemas dan peralatan konstruksi berat.

Menurut Vaishali Basu Sharma, seorang analis urusan strategis dan ekonomi di India, sejak pertempuran Kepulauan Paracel pada Januari 1974, Republik Rakyat Tiongkok (RRC) secara de facto menguasai kepulauan tersebut. Pertempuran, yang terjadi menjelang akhir Perang Vietnam, merupakan konfrontasi antara Angkatan Laut Vietnam Selatan dan Angkatan Laut Tiongkok untuk menguasai daerah sekitarnya. Untuk saat ini, China, Vietnam, dan Taiwan semuanya mengklaim kedaulatan de jure atas Paracel.

“China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, meskipun letaknya ratusan mil di selatan pantainya adalah teritori miliknya. Dengan demikian, Triton bukanlah pulau pertama di antara kelompok Paracel yang menjalani pembangunan infrastruktur China,” kata Basu Sharma mengutip Eurasian Times.

Pada tahun 2016, Pulau Woody mulai dilengkapi dengan bandara, pelabuhan, dan balai kota yang ditingkatkan. China melakukan pembangunan infrastruktur besar untuk mendukung klaim teritorialnya atas kepulauan itu.

Pada tahun 2015, citra satelit mengungkapkan konstruksi China atas landasan pacu sepanjang 3.000 meter, cukup besar untuk pesawat angkut dan pesawat tempur militer berat, di Kepulauan Spratly yang disengketakan. Foto-foto tersebut kemudian dirilis oleh Prakarsa Transparansi Maritim Asia (AMTI), menunjukkan “Dua helipad, hingga 10 antena komunikasi satelit, dan satu kemungkinan menara radar …”.

Pengadilan Internasional di Den Haag pada tahun 2016 menolak klaim China atas hak sejarah di dalam ‘sembilan garis putus-putus’ di Laut China Selatan. Second Thomas Shoal tercatat di Zona Ekonomi Eksklusif Filipina. China menolak untuk mematuhi keputusan pengadilan dan menegaskan kendali di wilayah tersebut.

Selama dekade terakhir, Beijing telah melakukan kegiatan konstruksi di empat fitur tak berpenghuni di Kepulauan Spratly dan melaksanakan proyek reklamasi lahan. Mereka membangun pulau buatan di empat tempat di Kepulauan Spratly yang disengketakan SCS – Lankiam Cay (Panata Island), Whitsun Reef (Julian Felipe Reef), Sandy Cay, dan Eldad Reef.

Setelah pembangunan pulau buatan di perairan yang diperebutkan, pada 2022, berbicara kepada Associated Press dalam sebuah wawancara, komandan Indo-Pasifik AS Laksamana John C Aquilino mengatakan bahwa China telah melakukan militerisasi setidaknya tiga dari beberapa pulau yang dibangunnya di LCS yang disengketakan. Termasuk sistem rudal kapal dan anti-pesawat, peralatan laser, jamming serta jet tempur. Dia berkata, “Selama 20 tahun terakhir, kami telah menyaksikan pembangunan militer terbesar sejak perang dunia kedua oleh RRT.”

“Selain Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam yang semuanya memiliki klaim tumpang tindih, AS, Australia, dan Jepang juga menentang reklamasi pulau-pulau di Laut China Selatan oleh China. Mereka semua menyatakan keprihatinan atas pembangunan infrastruktur China dan klaim maritim yang agresif di wilayah itu,” ujar Vaishali Basu Sharma yang juga konsultan di Sekretariat Dewan Keamanan Nasional India (NSCS) selama hampir satu dekade.

Pada tahun 2021, Filipina juga mengumpulkan kapal-kapal di Whitsun Reef setelah lebih dari 200 kapal milisi China terlihat dalam manuver dengan berkerumun. Meskipun AS, Australia, atau Jepang bukanlah peserta langsung dalam sengketa Laut China Selatan dan tidak mengambil sikap atas klaim teritorial yang tumpang tindih, masing-masing tertarik untuk memastikan stabilitas regional dan menjaga Kebebasan Navigasi (FON) di LCS. Kawasan tersebut merupakan jalur perairan utama strategis dan kaya sumber daya yang menghubungkan Selat Malaka dan Pasifik.

Back to top button