News

Berkaca dari Kerusuhan Prancis, Bisa Terjadi di Indonesia?

Kerusuhan yang terjadi di Prancis harus menjadi pelajaran dari banyak negara termasuk Indonesia. Aksi ini bukan akibat peristiwa sehari dua hari tetapi buntut dari rentetan kebijakan yang terjadi selama beberapa dekade. Peristiwa ini bisa juga bisa terjadi di Indonesia.

Setelah sepekan kerusuhan yang dipicu penembakan fatal terhadap seorang remaja berusia 17 tahun bernama Nahel M oleh seorang petugas polisi, pihak berwenang Prancis telah merilis statistik yang menunjukkan tingkat dan perkiraan biaya kerusakan yang ditimbulkan.

Mungkin anda suka

Sejak kerusuhan pertama kali pecah di Nanterre, pinggiran Paris pada Selasa (27/6/2023) lalu, sebanyak 3.915 orang telah ditangkap. Mengutip RFI, diperkirakan 1.105 bangunan publik dan swasta telah dibakar atau dijarah, dan mobil serta bus dibakar sejak awal kerusuhan pada malam 27 Juni hingga pukul 05:00 Selasa 4 Juli.

Sekitar 269 kantor polisi yang dianggap sebagai simbol negara telah diserang. Di wilayah Ile-de-France perusuh menargetkan sekitar 100 fasilitas umum, termasuk 36 kantor polisi kota, 18 balai kota, tempat penitipan anak, dua pusat komunitas, tiga pusat budaya, dan dua perpustakaan media. Sekitar 60 sekolah mengalami kerusakan parah, 10 di antaranya hancur seluruhnya atau sebagian.

Sebanyak 150 dari 7.000 kantor pos Prancis rusak dan 80 ATM La Banque Postale hancur. Lebih dari 1.000 toko telah dirusak, diserang atau dibakar. Dari sekitar 200 toko makanan yang terkena dampak, 30 telah dibakar. Federasi Perbankan Prancis (FBF) mengatakan 370 cabang mereka terkena dampak, 40 persen di wilayah Paris.

Sebanyak 39 bus dan satu trem T6 telah dibakar sejak 28 Juni, Sekitar 5.892 kendaraan dibakar di seluruh Prancis hingga pukul 5.30 pagi pada hari Selasa, kata Kementerian Dalam Negeri. Di Paris, 10 halte trem dihancurkan. Sepekan pasca kerusuhan di Prancis, polisi kini melarang warga untuk menggelar segala bentuk aksi unjuk rasa di jalan.

Mengapa mudah terjadi kerusuhan?

Kerusuhan dan kekerasan di Prancis kali ini membangkitkan ingatan terhadap peristiwa serupa yang menyebar di pinggiran kota pada tahun 2005, berlangsung lebih dari tiga minggu dan memaksa negara itu ke dalam keadaan darurat. Banyak persoalan di balik kerusuhan saat itu yang belum terselesaikan hingga saat ini dan berpotensi diperparah dengan semakin memburuknya hubungan antara polisi dan masyarakat.

François Dubet, Profesor Emeritus di Université de Bordeaux mengungkapkan, kerusuhan berulang di pinggiran kota di Prancis dan skenarionya memberikan kita beberapa pelajaran yang relatif sederhana. Pertama, kebijakan di perkotaan Prancis meleset dari sasaran. Selama 40 tahun terakhir, banyak upaya memperbaiki perumahan dan fasilitas publik. Apartemen-apartemen kini lebih berkualitas. Pusat kegiatan sosial, sekolah, perguruan tinggi, dan jalur bus juga banyak bermunculan. Salah besar jika kita mengatakan lingkungan-lingkungan ini diabaikan.

“Di sisi lain, percampuran sosial dan budaya di pinggiran kota yang kurang berkembang kerap membuat keadaan memburuk. Mayoritas penduduknya miskin atau tidak aman secara finansial, ataupun imigran dan keturunannya,” katanya.

Mereka yang punya peluang dan sumber daya dapat meninggalkan daerah pinggiran itu. Namun, mereka kemudian digantikan oleh penduduk yang bahkan lebih miskin dari daerah yang lebih jauh. Jadi, meskipun infrastruktur lingkungan membaik, lingkungan sosialnya justru memburuk.

“Proses sosial yang terjadi di sini memang bagian dari ghettoisasi,” ujar Prof Dubet, mengutip The Conversation. Ghettoisasi merupakan perlakuan kelompok tertentu dalam masyarakat seolah-olah mereka berbeda dari bagian masyarakat lainnya dan seolah- olah aktivitas dan minat mereka tidak penting bagi orang lain.

“Banlieues rouges” (pinggiran kota yang mayoritas dipimpin kelompok komunis) sangat dikontrol oleh partai politik, serikat pekerja, dan gerakan pendidikan populer. Sementara itu, warga di lingkungan tersebut tidak punya cukup ruang untuk bersuara. Kesenjangan ini bukan hanya perkara sosial, tapi juga politik.

Joseph Downing, Dosen Senior Hubungan Internasional dan Politik, Universitas Aston mengungkapkan, pinggiran kota tertentu di kota-kota besar Prancis, selama beberapa dekade, menderita dari apa yang disebut sebagai “hipermarginalisasi” terburuk di Eropa. Bukti telah lama menunjukkan bahwa orang yang tinggal di pinggiran kota yang miskin dapat menghadapi diskriminasi berdasarkan fakta tinggal di pinggiran kota tersebut ketika mereka melamar pekerjaan. Bahkan hanya memiliki nama tertentu di CV dapat membuat seseorang kehilangan pekerjaan berkat diskriminasi ras yang meluas.

“Akibatnya, ketidakpuasan di kalangan anak muda di tempat-tempat ini telah muncul selama beberapa dekade. Kerusuhan pertama dari jenis yang saat ini terjadi di Paris terjadi di Lyon sejak tahun 1990-an,” kata Joseph Downing, juga mengutip The Conversation.

Kondisi ini diperparah dengan saat krisis telah mereda tampaknya hampir tidak ada diskusi oleh pimpinan Prancis tentang bagaimana mengatasi masalah yang memicu begitu banyak kemarahan di pinggiran kota.

Presiden Emmanuel Macron menampilkan dirinya berkomitmen untuk melakukan industrialisasi ulang Prancis dan merevitalisasi ekonomi. Namun visinya tidak mencakup rencana apapun untuk menggunakan pertumbuhan ekonomi guna memberikan peluang bagi daerah pinggiran. Atau jika dilihat sebaliknya, memanfaatkan potensi daerah pinggiran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam dua masa jabatan presiden, dia gagal menghasilkan kebijakan yang koheren untuk memecahkan beberapa masalah utama di pinggiran kota.

Konfrontasi kaum muda dengan polisi

Kebrutalan polisi adalah topik yang sangat memprihatinkan di Prancis saat ini, di luar insiden Nanterre. Awal tahun ini, organisasi hak asasi manusia internasional Dewan Eropa mengambil langkah luar biasa dengan secara langsung mencerca polisi Prancis karena “penggunaan kekuatan yang berlebihan” selama protes terhadap reformasi pensiun Macron.

Pemerintah berturut-turut telah menggunakan kepolisian untuk mengendalikan penduduk, mencegah gejolak politik, mengikis legitimasi penegakan hukum di sepanjang jalan. Namun, polisi sangat memusuhi reformasi, sebuah sikap yang dibantu dan didukung oleh serikat pekerja mereka yang kuat dan Macron sendiri, yang membutuhkan polisi untuk menghancurkan oposisi terhadap reformasinya.

Masih menurut Prof Dubet, dalam konteks ini, konfrontasi yang dimaksud terjadi antara kaum muda dengan polisi. Kedua kelompok ini terlihat seperti “genk”, lengkap dengan kebencian dan wilayahnya masing-masing. Negara kemudian tereduksi menjadi simbol kekerasan hukum. Kaum muda menjadi potensi kebandelan. Polisi menilai dengan “mekanisme” rasisme dengan asumsi bahwa setiap anak muda adalah tersangka.

Berpotensi terjadi di Indonesia?

Kerusuhan di Prancis dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Pemerintah termasuk aparat keamanan dan kepolisian bisa mencermati apa yang terjadi di Prancis meskipun berada jauh dari Tanah Air.

Paling tidak ada dua hal penting yang menjadi perhatian yakni kesenjangan ekonomi yang bisa menjadi pemicu serta sikap aparat pemerintah terutama kepolisian dalam menangani setiap kasus tidak hanya menangani aksi unjuk rasa tetapi juga penanganan masalah yang ada di masyarakat.

“Ini pembelajaran untuk kita, terutama aparat keamanan, bagaimana menangani masalah-masalah sosial di lingkungan masyarakat. Kejadian di Prancis, harus menjadi pelajaran untuk menjaga kebhinekaan,” kata Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F. Paulus di Jakarta baru-baru ini.

Faktor kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia memang patut mendapat perhatian. Ghettoisasi, seperti yang terjadi di Prancis, meskipun tidak dalam bentuk yang kentara, dalam bentuk sekecil apapun terasa di negeri ini. Terlihat ada beda perlakuan terhadap kelompok masyarakat secara status ekonomi atau arus politik tertentu dalam beberapa masalah sosial, ekonomi dan hukum.

Menkopolhukam Mahfud MD dalam acara 23 Tahun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jakarta Juni lalu mengakui angka kemiskinan di Indonesia meningkat. Pada bulan September 2022 lalu, angkanya menyentuh 9,57 persen. Mahfud menyebut angka tersebut naik dari Maret 2022 sebesar 9,54 persen.

Mahfud juga mengungkap data indeks gini ratio Indonesia. Dia mengatakan indeks gini ratio dipakai untuk mengukur kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia. “Indeks gini ratio 0,381 kita pada semester II 2022 (September). Indeks gini ratio itu kesenjangan, antara jumlah orang kaya dan miskin. Teorinya semakin kecil indeks kita semakin bagus,” kata Mahfud.

Memang gini rato masih tergolong rendah karena berada di bawah 0,4 dan masih jauh dari 1 sebagai angka tertinggi. Namun nyatanya kaum ekonomi sulit makin terpinggirkan terutama di kota-kota besar. Tempat tinggal warga makin terpinggirkan dan tergeser ke pemukiman padat penduduk digantikan dengan apartemen, perumahan mewah atau bangunan-bangunan industri.

Kondisi ini lama-lama akan memperuncing hubungan sosial di masyarakat. Masih ingat peristiwa kerusuhan di beberapa kota di tahun 1998? Masyarakat seperti melampiaskan amarah atas kesenjangan ekonomi dengan merusak properti milik orang kaya terutama dari kalangan etnis tertentu.

Dalam penangangan kasus-kasus hukum terlihat banyak masyarakat kelas bawah yang sering kecewa karena tidak mendapat keadilan. Bahkan Presiden Joko Widodo sampai-sampai meminta Polri untuk tidak menyalahgunakan hukum. “Jangan ada lagi persepsi hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujar Presiden, dalam sebuah kesempatan.

Aksi keras petugas dalam menangani protes massa, maupun penangangan kasus-kasusnya juga masih sering terdengar. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan 662 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian dalam setahun terakhir. Mereka menyebutnya sebagai “kultur kekerasan“ yang masih kental di jajaran kepolisian.

Namun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan membantah adanya kultur kekerasan dalam tubuh kepolisian saat melakukan penegakan hukum. Pelanggaran-pelanggaran itu disebutnya sebagai ulah segelintir individu-individu, dan tidak bisa digeneralisir atas institusi Polri.

Yang jelas, masih banyak ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dalam penanganan hukum. Misalnya saja seorang pedagang pasar yang menjadi tersangka setelah dipalak preman atau seorang kakek yang ditahan karena membacok pencuri yang mencoba menyetrumnya. Masih banyak lagi kasus-kasus seperti ini yang terjadi di masyarakat sehingga beberapa waktu sempat menggema di media sosial tagar #Percumalaporpolisi.

Kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan yang terus dirasakan masyarakat bisa terpendam cukup dalam. Sehingga berpotensi terjadinya fenomena seperti panci presto meledak jika tidak segera ditangani dengan baik. Tinggal menunggu pemicunya dan semuanya akan meledak seperti yang dialami  Prancis. Tapi mudah-mudahan tidak.

Back to top button