Hangout

Begini Proses Hukuman Mati di Indonesia dan Dasar Hukumnya

Senin, 13 Februari 2023 kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Dalam sekejap, publik bersorak kegirangan mendengar vonis tersebut. Di lain sisi, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak tahu bagaimana proses hukuman mati di Indonesia.

Lantas, bagaimana sih proses hukuman mati di Indonesia dan apa saja dasar hukumnya? 

Hukuman Mati Berlaku untuk Siapa?

Sebagai otak/dalang pembunuhan berencana, Ferdy Sambo bukanlah tersangka pertama yang menjalani hukuman mati. Berdasarkan catatan Ditjen PAS Kemenkumham, terdapat 404 terpidana mati yang menunggu eksekusi.

Mengutip dari Jurnal Syiar Hukum (2017), terdapat sembilan jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan Pasal KUHP, antara lain:

  1. Pasal 104 KUHP: makar dengan maksud membunuh Presiden dan Wakil Presiden.
  2. Pasal 111 ayat (2) KUHP: berhubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang.
  3. Pasal 124 ayat (3) KUHP: penghianatan dengan memberitahu kepada musuh di waktu perang.
  4. Pasal 124 bis KUHP: menghasut dan memudahkan huru-hara.
  5. Pasal 140 ayat (3) KUHP: pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat.
  6. Pasal 340 KUHP: pembunuhan berencana
  7. Pasal 365 ayat (4) KUHP: pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
  8. Pasal 444 KUHP: pembajakan di laut yang menyebabkan kematian.
  9. Pasal 149 K ayat (2), Pasal 149 O ayat (2) KUHP: Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan.

Di luar Pasal KUHP, terdapat pasal-pasal lain yang dapat memvonis hukuman mati, antara lain:

  1. UU No.12/DRT/1951: Tindak Pidana tentang Senjata Api, Amunisi, atau sesuatu Bahan Peledak.
  2. UU No.7 /DRT/1955: Tindak Pidana Ekonomi.
  3. UU No.3 Tahun 1964: Tindak Pidana tentang Tenaga Atom.
  4. UU No.2 Tahun 1997 dan UU No.5 tahun 1997: Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika.
  5. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001: Tindak Pidana Korupsi.
  6. UU No.26 Tahun 2000: Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia.
  7. Perpu No.1 Tahun 2002: Tindak Pidana Terorisme.

Bagaimana Proses Hukuman Mati di Indonesia Berlangsung?

Proses hukuman mati di Indonesia mengikuti Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Pasal 15, yakni:

  1. Terpidana diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih sebelum dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati
  2. Pada saat dibawa ke tempat atau lokasi pelaksanaan pidana mati, terpidana dapat didampingi oleh seorang rohaniawan
  3. Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan, 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati
  4. Regu penembak telah siap di lokasi pelaksanaan pidana mati, 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan
  5. Regu penembak mengatur posisi dan meletakkan 12 pucuk senjata api laras panjang di depan posisi tiang pelaksanaan pidana mati pada jarak 5 meter sampai 10 meter dan kembali ke daerah persiapan
  6. Komandan Pelaksana melaporkan kesiapan regunya kepada jaksa eksekutor dengan ucapan, “Lapor, pelaksanaan pidana mati siap.”
  7. Jaksa eksekutor mengadakan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati
  8. Setelah pemeriksaan selesai, jaksa eksekutor kembali ke tempat semula dan memerintahkan kepada Komandan Pelaksana dengan ucapan, “Laksanakan.” Kemudian Komandan Pelaksana mengulangi dengan ucapan, “Laksanakan.”
  9. Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu Penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang dengan 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa yang masing-masing senjata api berisi 1 butir peluru, disaksikan oleh jaksa eksekutor
  10. Jaksa eksekutor memerintahkan Komandan Regu 2 dengan anggota regunya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol lalu mengikat kedua tangan dan kaki terpidana ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut, kecuali ditentukan lain oleh jaksa
  11. Terpidana diberi kesempatan terakhir untuk menenangkan diri paling lama 3 menit dengan didampingi seorang rohaniawan
  12. Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam, kecuali jika terpidana menolak
  13. Dokter memberi tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan, kemudian dokter dan Regu 2 menjauhkan diri dari terpidana;
  14. Komandan Regu 2 melaporkan kepada jaksa eksekutor bahwa terpidana telah siap untuk dilaksanakan pidana mati
  15. Jaksa eksekutor memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Pelaksana untuk segera dilaksanakan penembakan terhadap terpidana
  16. Komandan Pelaksana memberikan tanda/isyarat kepada Komandan Regu Penembak untuk membawa regu penembak mengambil posisi dan mengambil senjata dengan posisi depan senjata dan menghadap ke arah terpidana
  17. Komandan Pelaksana mengambil tempat di samping kanan depan regu penembak dengan menghadap ke arah serong kiri regu penembak; dan mengambil sikap istirahat di tempat
  18. Pada saat Komandan Pelaksana mengambil sikap sempurna, regu penembak mengambil sikap salvo ke atas
  19. Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana
  20. Komandan Pelaksana mengacungkan pedang ke depan setinggi dagu sebagai isyarat kepada regu penembak untuk membuka kunci senjata
  21. Komandan Pelaksana menghentakkan pedang ke bawah pada posisi hormat pedang sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak
  22. Setelah penembakan selesai, Komandan Pelaksana menyarungkan pedang sebagai isyarat kepada regu penembak mengambil sikap depan senjata
  23. Komandan Pelaksana, Jaksa Eksekutor, dan dokter memeriksa kondisi terpidana dan apabila menurut dokter bahwa terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, Jaksa Eksekutor memerintahkan Komandan Pelaksana melakukan penembakan pengakhir
  24. Komandan Pelaksana memerintahkan komandan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga
  25. Penembakan pengakhir ini dapat diulangi, apabila menurut keterangan dokter masih ada tanda-tanda kehidupan
  26. Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana
  27. Selesai pelaksanaan penembakan, komandan regu penembak memerintahkan anggotanya untuk melepas magasin dan mengosongkan senjatanya, dan 
  28. Komandan Pelaksana melaporkan hasil penembakan kepada Jaksa Eksekutor dengan ucapan “Pelaksanaan pidana mati selesai.”

Apakah Eksekusi Terpidana Mati Bisa Ditunda?

Hukuman mati didasari banyak pertimbangan, mulai dari tingkat kejahatan yang dilakukan terpidana, dampak, dan melindungi lingkungan sosial masyarakat dari oknum jahat yang berbahaya.

Hal ini pun sudah tercantum di dalam KUHP Pasal 84 yang menegaskan bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.”

Di lain sisi, terpidana mati juga bisa menunda waktu eksekusi, namun harus sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati:

1. Pasal 7 UU 2/PNPS/1964

Pasal ini berbunyi “apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan.”

Ini berarti, terpidana mati yang sedang hamil dapat menunda 30 sampai 40 hari agenda eksekusi.

2. UU 2/PNPS/1964

Berdasarkan Jaksa Agung, Basrief Arief, terpidana mati memiliki kesempatan mengajukan permintaan terakhir.

Permintaan ini bisa berbentuk banyak hal, seperti ingin bertemu keluarga dari luar negeri, namun karena yang bersangkutan dalam keadaan sakit, maka terpidana meminta waktu sampai keluarganya sehat dan berangkat menemui dirinya.

Menjatuhkan vonis hukuman mati bukanlah keputusan yang mudah dibuat. Jaksa harus memiliki banyak bukti yang memberatkan terpidana supaya Hakim dapat membuat keputusan yang tepat. Selain itu, proses hukuman mati di Indonesia juga tidak bisa dilakukan secara asal, harus mengikuti peraturan UU yang berlaku, yakni Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010.

Back to top button