Market

Lupakan Kontribusi Ekonomi, Tembakau Disamakan Narkotika

Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menentang keras RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika. Pemerintah seolah menafikan kontribusi tembakau terhadap perekonomian nasional.

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMTI, Hananto Wibisono, RUU Omnibus Law Kesehatan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan. Khususnya terkait pengaturan zat adiktif pada bagian 25. “Sejak awal elemen ekosistem pertembakauan sebagai bagian dari masyarakat tidak diakomodirnya suaranya untuk memberikan masukan terkait RUU Kesehatan tersebut. RUU Kesehatan ini dibuat dengan sangat eksesif dan diskriminatif terhadap elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan,” ujar Hananto, Jakarta, dikutip Kamis (13/4/2023).

Dalam pasal 154 terkait pengaturan zat adiktif, kata Hananto, memposisikan tembakau sejajar dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, sejatinya, tembakau adalah salah satu komoditas strategis nasional. Selain itu, tembakau merupakan produk legal yang memberikan kontribusi serta sumbangsih signifikan terhadap penerimaan negara.

“Tembakau, produknya, aktivitas pekerjanya, semuanya adalah legal. Tembakau telah berkontribusi nyata terhadap pembangunan negeri ini tapi dalam RUU Kesehatan justru diperlakukan seperti narkoba. Ini adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Harapan kami, DPR dapat membantu mengawal RUU Kesehatan dengan sebenar-benarnya dan seadil-adlinya,” tegas Hananto.

Kata dia, tembakau sejak lama telah menjadi andalan masyarakat sebagai penopang hidup. Saat ini, sedikitnya ada 6 juta warga negara Indonesia yang menggantungkan hidup dari ekosistem pertembakauan, Mulai dari perkebunan, manufaktur hingga industri kreatif. “Lagi-lagi dalam proses perumusan regulasi, pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah dilibatkan. Tentu saja situasi ini menyakiti jutaan jiwa yang menggantungkan penghidupannya dalam ekosistem pertembakauan,” kata Hananto.

Hananto bisa benar. Pada 2020, industri hasil tembakau di Indonesia berkontribusi terhadap APBN, sebesar 10,11 persen. Penerimaan dari cukai mencapai Rp205,68 triliun dengan proporsi terbesar Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar Rp170,24 triliun. Angka itu naik 3,24 persen ketimbang tahun sebelumnya.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), mencatat, produksi rokok mengalami tren penurunan sejak 2016 hingga 2018. Angka produksi terendah terjadi pada 2018 sebesar 332 miliar batang. Pada periode Januari hingga September 2021, industri rokok berdasarkan jenisnya naik 4,3 persen, atau mencapai 235,9 miliar batang.

Kontribusi industri hasil tembakau terhadap ekspor cukup positif. Di mana, ekspor cenderung meningkat. Namun di masa pandemi ini, kinerja ekspor industri hasil tembakau pada tahun 2020 mengalami sedikit penurunan dari periode sebelumnya sebesar 3,96 persen.

Ali Rido, Dosen Ilmu Hukum Universitas Trisakti, menilai, pasal 154 RUU Kesehatan tentang Pengaturan Zat Aditif, seharusnya fokus mengatur tembakau dalam ranahnya sendiri. ”Pengaturan harusnya dibedakan karena kandungan nikotin dalam tembakau tidak sama dengan zat adiktif narkoba. Saya melihat RUU Kesehatan ini mendorong, memuluskan jalan untuk “penghapusan penggunaan” tembakau secara perlahan, ”paparnya.

Padahal, lanjut Ali Rido, bahwa Pendapat Pemerintah dalam Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 menegaskan: “pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya,bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau. UU hanya melakukan “pengamanan dan perlindungan kesehatan” bukan “pelarangan”.

Ia juga menegaskan bahwa berlandaskan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009, bahwa Pendapat Pemerintah adalah “Dilihat dari sisi adiktifnya, nikotin itu (rokok) terletak sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halosinogen, ataupun macam-macam zat se-adiktif hipnotik sehingga pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturanmengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Kopi, teh dan cokelat yang mengandung kafein juga merupakan zat adiktif”

Back to top button