News

Mandatory Spending Dihapus dari UU Kesehatan, BPJS Watch: Makin Banyak Rakyat Nunggak Bayar BPJS

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut akibat dari penghapusan mandatory spending atau kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam mengalokasikan dana anggaran untuk kesehatan sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan 10 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di luar gaji berpotensi menaikan iuran BPJS Kesehatan, khususnya kelas tiga, dari yang awalnya sebesar Rp35.000 per orang yang dibayarkan tiap bulannya menjadi Rp42.000.

“Hal ini berpotensi peserta kelas tiga mandiri menjadi semakin banyak yang menunggak iuran,” kata Timboel dalam keterangannya kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (14/7/2023).

Menurutnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU yang telah diketuk palu oleh DPR RI pada Selasa (11/7/2023) masih menuai beragam protes dari banyak pihak. Argumentasi penolakan tersebut berasal dari sisi formal maupun materiel.

Timboel menjelaskan permasalahan tersebut telah dituangkan dalam draft terakhir yang disahkan dalam rapat paripurna kemarin di bab XIII tentang pendanaan kesehatan Pasal 401 sampai 412. Selanjutnya, UU Kesehatan mengahapus mandatory spending yang sebelumnya diatur dalam pasal 171 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengamanatkan pemerintah mengalokasikan sebesar lima persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan di luar gaji.

Selain itu, Timboel juga menyebutkan beberapa dampak lain akibat dari penghapusan mandatory spending yang banyak menimbulkan kecaman di luar sana. Menurutnya, ada potensi penggunaan dana iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena seharusnya dibiayai oleh APBN atau APBD namun telah dihapus.

Lebih lanjut, akan terjadi pengurangan Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena adanya pemangkasan anggaran dari APBN dan APBD tersebut. Hal ini akan berdampak pada semakin banyaknya masyarakat miskin yang dinonaktifkan dari kepesertaan JKN.

Di lain sisi, Timboel menyebut ada potensi mendukung defisit pembiayaan JKN karena dana iuran digunakan untuk menjalankan kegiatan dan program yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD.

“(Dan) enam pilar transformasi kesehatan tidak didukung oleh kecukupan anggaran sehingga pelaksanaan enam pilar transformasi Kesehatan akan terkendala,” jelas Timboel.

Menurutnya, secara yuridis, dihapuskannya mandatory spending di UU Kesehatan bertentangan dengan TAP MPR Nomor X/MPR/ 2001, di Point 5a huruf 4 yang berbunyi: menugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN.

Back to top button