Market

Anggaran Terbatas, Inilah Tantangan Ekonomi Pemerintahan Baru


Ketiga paslon dalam pilpres 2024 harus lebih cermat memikirkan strategi untuk mencapai target rasio pajak apabila mendapat amanah dari rakyat kelak.

Padahal perekonomin ke depan dihadapkan pada anggaran yang terbatas. Namun dengan proyek infrastruktur yang cenderung mercusuar dan nonprioritas. Jadi ada problem mengabaikan atau meneruskan proyek tersebut

Peneliti Center of Food, Energi, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dhenny Yuartha menilai keadaan fiskal Indonesia sedang cekak atau terbatas. Sejumlah permasalahan seperti belanja sosial dan gejolak ambisi proyek mercusuar dan nonprioritas, serta desakan keberlanjutan dan infrastruktur pun tak luput menjadi tantangan para capres dan cawapres.

“Belanja utang bukan hanya akan dilakukan capres cawapres, tapi bagaimana (mereka) memanfaatkan ruang yang cekak tersebut untuk elaborasi inisiatif uang belanja meredam proyek mercusuar yang sebenarnya tidak prioritas,” kata Denny dalam Diskusi Publik Indef, Mengurai Gagasan Cawapres Tentang Ekonomi pekan lalu secara daring di Jakarta.

Paslon nomor urut 1, Anies-Muhaimin menargetkan rasio pajak sebesar 13%-16% di tahun 2029 serta perencanaan insentif pajak. Sedangkan paslon nomor urut 2, Prabowo Gibran akan menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 21.

Selain itu, paslon ini juga menargetkan penerimaan rasio pajak mencapai 23% serta membentuk badan penerimaan negara.

Adapun paslon nomor urut 3, Ganjar Mahfud menargetkan program fiskal tangguh dengan optimalisasi sumber pendapatan, reformasi kelembagaan, dan efektivitas belanja negara.

Namun anehnya angka yang ditargetkan ketiga paslon pilpres 2024 dalam pengeruk pajak untuk mendukung penerimaan negara sangat tinggi dan belum pernah terjadi sepanjang sejarah indonesia.

Walaupun tidak akan terulang realisasi melebihi target pun terjadi di 2008 karena commodity boom (13,3%). Oil Boom di tahun 1980 an (21,9%), dan commodity boom di 2022 (10,4%),” ungkap Denny.

Dengan target dari ketiga paslon tersebut, lanjut Denny,  maka harus melewati tantangan dari sumber penerimaan jangka pendek, yang berasal dari Sumber Daya Alam (SDA). “Janji manis paslon nomor urut 1 dan 2 mengenai perencanaan insentif pajak serta penurunan tarif pajak justru dinilai menambah tantangan yang ada,” jelasnya.

Menurut Denny, reformasi pajak harusnya dapat menyasar pada pembukaan celah dan ruang baru bagi penerimaan pajak di masa depan.

“Contoh reformasi yang sebetulnya sukses itu tahun 80-an ketika reformasi pajak awal itu terjadi. Awal-awal pengenaan PPn, PPh, PBB diimplementasikan, ini yang kemudian mendorong peningkatan tax ratio pada zaman itu,” jelasnya.

Denny melanjutkan data perbandingan tax gap antar negara di Asia Pasifik, celah pajak Indonesia sebesar 4,7% dari produk domestik bruto tahun 2023. Denny menambahkan, dengan celah pajak sebesar 4,7%, memungkinkan untuk tercapainya rasio pajak sebesar 14%. Namun, masih diperlukan sejumlah catatan tentang potensi penerimaan pajak.

 

Back to top button