News

Al Balkhi, ‘Ayatullah’ Geografi, Pendiri Lembaga Geografi Arab Klasik

Yang paling berperan mengusung nama besar al-Balkhi ke puncak ketenaran sebagai ilmuwan Muslim tak lain tak bukan kecuali karya-karya geografinya yang bersejarah. Kendati pun beliau pakar pula di lapangan astronomi, astrologi, filsafat, kedokteran dan ilmu pengetahuan alam.

Dari sekitar 60 karya andalannya, 56 di antaranya sukses dipublikasikan oleh Yaqut dengan jalan menambahkan 13 judul pada 43 buah lain yang sudah didaftar dalam “Fihrist” (editor Flugel). Dari 56 itu Hajji Khalifa” menyebutkan kurang dari 6 buah.

Kini selain “Kitab Masalih al-Abdan wal Anfus“, Balkhi dikenal pula melalui karya utama lainnya yang kemungkinan besar telah raib tak tentu rimbanya. Itulah “Suwar al-Akalim“, kalau bukan “Takwim al-Buldan” yang secara umum telah diakui reputasi ketinggian nilai ilmiahnya, semenjak monografi (terutama yang mengupas tentang peta-peta dan ditulis sekitar tahun 306/ 920 M). De Goeje tampil menjadi fondasi dari karya-karya geografi dari al-Istakhri dan Ibnu-al-Hawkal. Dengan demikian ia menandai awal dari apa yang disebut Lembaga Geografi Arab Klasik. Buku ini tampaknya membagi peta dunia menjadi 20 bagian, disertai teks-teks penjelasan yang ringkas.

Barthold, seorang pakar, menganggap bahwaal-Balkhi dalam buku kebanggaannya itu boleh jadi hanya menambahi semacam keterangan-keterangan singkat kepada peta-peta yang dibuat oleh Abu Ja’far al-Khazim.

Karya satu itulah yang mengerek kemasyhuran al-Balkhi sebagai “Ayatullah” geografi, kendati pun sebagian kalangan masih meragukan orisinalitas dan keotentikannya, teristimewa dalam pandangan Sura Ma’muniyya yang juga agaknya sebuah seri peta pula, sebagaimana disebutkan oleh Mas’udi di masa Khalifa al-Ma’mun (185-218 H/813-833 M).

Abu Zayd Ahmad bin Sahl al-Balkhi lahir di Shamastiyan sebuah dusun terpuruk dekat Balkh di Khurasan pada sekitar tahun 236/850 M dan berpulang ke Rahmatullah pada bulan Zulqaidah 322/Oktober 934 M. Ayahnya seorang kepala Sekolah asal Sijistan.

Sebagai kawula muda dengan gejolak ambisi berapi-api dan ( cita-cita menggantung di langit ke-7, Balkhi mengayun langkah perdananya untuk mendalami doktrin mazhab Imamiyyah yang merasuki jiwanya sejak seumur jagung. Ia kemudian bertransmigrasi ke Irak dengan ‘menunggang sandal jepit’ bersama serombongan kafila peziarah. Di negeri 1001 malam itu cendekiawan berwawasan internasional ini mondok selama 8 tahun, untuk ‘nyantri’ kepada ilmuwan kelas kakap al-Kindi, di samping melancong ke negeri-negeri tetangga dekat. Ia kemudian berangkat menuju kota kelahiran Imam Bukhari; Bukhara, tatkala menerima undangan resmi dari penguasa daerah tersebut.

Bertahun-tahun lamanya al-Balkhi bermukim di negeri Nebuchadnezar itu guna mengkhusyuki studi berbagai bidang ilmu pengetahuan, teristimewa astronomi, astrologi, filsafat, kedokteran dan ilmu-ilmu pengetahuan kealaman sebangsa fisika, matematika, kimia dan sebagainya. Tetapi sekian tahun pula ia diombang ambing kegiatan “ekstra kurikuler”nyayakni menyangkut mazhab anutannya, antara Imamiyah dengan prinsip-prinsip pendirian astrologi yang kala itu lagi ‘in’ bagi kaum penggumul sains. Namun pada ujungnya ia terdampar pada pemikiran-pemikiran yang pada hakikatnya terbilang klasik dan ortodoks dan menenggelamkan diri pada studi ilmu keagamaan di samping filsafat yang boleh dibilang sudah menjadi darah dagingnya.

Di belakang hari, astronom, astrolog, tabib spesialis sekaligus ulama ini banyak dihujani puja-puji sebagai intelektual “plus” yang ahli sekaligus di jalur “agama” dan jurusan “umum”. Shahrastani sendiri menyanjungnya sebagai filosof Muslim. Malahan sekali tempo Balkhi menceritakan dan mengisahkan dirinya sebagai telah kehilangan pelindung atau penyokong utama Jenderal Husain bin Ali al-Marw al-Rudi, melalui publikasi salah satu bukunya, dan Abu Ali al-Jayhani, pendukung berat lainnya, serta menteri dari Samanid Nasr bin Ahmad lewat publikasi bukunya yang lain. Meskipun sang Jenderal adalah seorang Karmatian sedang menteri tersebut tergolong dualis (mungkin Abu Ali ini adalah putra Abu Abdullah al-Jayhani, seorang geografer). Tapi karya-karya al-Balkhi yang bertema keagamaan semisal “Nazm al-Quran” (sebuah karya tentang tafsir) tak kurang pula beroleh sanjungan dari berbagai kalangan, khususnya oleh para pakar hukum yang memiliki otoritas tinggi.

Adapun minat al-Balkhi di lapangan geografi diduga terpicu oleh dorongan dan arahan syekh besarnya, al-Kindi, di saat ia mendedikasikan secara eksklusif kepada mahaguru filsafat dan geografi itu sebuah karya terjemahan dari risalah Ptolemeus mengenai geografi.

Begitu pula tatkala muridnya, Ahmad bin al-Thayyib al-Sarakhshi menullis “Kitab al-Masalik wal Mamalik“, yang tampaknya merupakan karya pertama dari sekian karya geografi dalam dunia intelektual Muslim berjudul serupa atau mirip dengan itu. Kendatipun pengamatan al-Mukaddasi menunjukkan bahwa sesungguhnya al-Balkhi tidaklah bertualang ke mana sekerap dan sejauh yang telah digembar- gemborkan, namun dia tetap saja respek dan meyakininya sebagai maharesi di bidang spesialisasi keilmuannya, terutama di wilayah sendiri, apalagi semasa puncak produktifnya.

Lagi pula ia bukanlah jenis intelektual “menara gading” yang cuek dan buta terhadap persoalan-persoalan sosial dan masyarakat. Ia akrab dengan para anggota dewan atau diwan khurasan, Bahkan pernah dipercayakan menjabat sekretaris (Katib) di Samanid, sebuah kedudukan bergengsi dan prestisius kala itu.

Buah tangannya pun memancing decak kagum kolega dan sejawat kentalnya al-Maqrizi. Lihat umpama M.j. De Goeje “Die istakhri-Balhi Frage” dan J.H. Kramers, “La Question Bathiistahri-Ibnu Hawkal et L’Atlas del’islam”.

Al-Balkhi dan ilmuwan seangkatannya seperti al Istakhris, Ibnu Hawkal, al-Muqaddas, tergolong generasi kedua dari para penulis karya-karya geografis terkemuka. Hanya saja ia memiliki nilai-tambah tersendiri di antara para sejawatnya. Terbukti belakangan dengan munculnya sebuah lembaga pendidikan kontemporer yang melestarikan namanya: “The Balkhi School”.

Usai menyudahi pelancongan intelektualnya ke sejumlah negeri “asing” dalam rangka melampiaskan birahi keilmuan yang senantiasa mengobsesinya, ia lantas “back to khittah” mudik ke kampung halaman dengan memboyong bergudang-gudang ilmu dan karya-karya prestisius. Reputasi yang digondolnya pun tak tanggung-tanggung pula berkat ide-ide dan pandangan-pandangannya yang selalu bersifat inovatif dan eksploratif, sesekali kontroversial. Beberapa arus pemikirannya dinilai tak mengikuti “main stream” alias melawan arus, teristimewa karya-karya geografisnya.

Meskipun begitu tak jarang ada juga segelintir orang menganggap ide-ide dan pandangan-pandangannya agak ortodoks dan sedikit puritan, tapi dalam tilikan De Goeje, karangan Istakhari justru hanya merupakan elaborasi dan masih “adik kelas dari karya-karya al-Balkhi. Jadi bisa dikenali melalui kompilasi-kompilasi buah pena al-Balkhi di tahun-tahun 314 930 hingga 321/933. Para “nyamuk” geografi alumnus “Balkhi School”, tak dapat disangkal telah memberi warna dan nuansa keislaman yang positif pada geografi Arab.

Tambahan pula untuk membatasi diri knususnya pada negeri-negeri Muslim  mereka menyuguhkan penekanan-penekanan tertentu pada drat-draft dan konsep-konsep geografi yang sebegitu rupa sehingga tak bergeser semilimeter pun dari makna kandungan al-Quran. Paling tidak, masih tetap dilandasi dengan tradisi-tradisi (hadits-hadits) atau opini para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan sebagainya. Mereka umpama, membandingkan massa–dengan seekor burung besar. Ini tampaknya cukup relevan dan sesuai dengan isi suratan dan siratan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin Ash.

Misalnya lagi, massa-tanah yang berwujud bulat telah tercakup oleh “Samudra yang melingkupi”, seperti sebentuk leher jenjang berbentuk cincin. Dan dari Samudra itu, kedua “teluk” (Laut Tengah dan Samudra Hindia) mengalir masuk tanpa berkontak satu sama lain, melainkan tercerai oleh al-Barzakh (“Benteng Penghalang) di al-Kulzum) — sebuah konsep dasar yang sejatinya terkandung dalam al-Quran.

Contoh lain. Beda dengan kaum geografer “Iraqi School”, para ahli geografi “Balkhi School” berkiblat ke (Saudi) Arabia yang diasumsikan sebagai “pusar dunia” lantaran Mekkah dan Ka’bah berada di negeri padang pasir tersebut.

Kecenderungan-kecenderungan baru metodologi dan perlakuan subyek masalah ini telah menjadi ciri yang dominan bagi sarjana-sarjana geografi “Balkhi School”. Dan tentu saja di dalam semua kemungkinan telah ada semacam titik kulminasi sejak dari proses awal, di mana Mekkah mestilah telah diutamakan ketimbang negeri 1001 malam Baghdad oleh kelompok geografer tertentu.

Baru pada generasi kesekian dari para geografer, obyek dan tujuan pokoknya, lantas disesuaikan dengan tuntutan kondisi, yakni untuk menggambarkan secara eksklusif “The Biliad of al-Islam” yang mereka bagi menjadi 20 iklim (daerah/kawasan), kecuali tatkala mereka mengupas secara umum negeri-negeri  minoritas non-Muslim dalam catatan pendahuluannya.

Basis pembagian “provinsi” ini bukanlah sistem “Kishwar” lran, bukan pula sistem iklim Yunani Purba, melainkan murni fisik dan wilayah teritorial. Jelas ini merupakan suatu kemajuan positif tinimbang metode-metode sebelumnya.

Seperti diisyaratkan lbnu Hawkal, dia tidak menuruti pola baku “7 iklim” (dari peta di al-Kawadhiyan), sebab sekalipun itu tidak salah namun cukup bikin puyeng. Lagi pula beberapa batas provinsi tersebut bertumpang tindih (overlapping). Maka itu sebagai jalan keluar dia memilih melukiskan sebuah peta yang terpisah buat masing-masing bagian yang menggambarkan posisi masing-masing propinsi, batas-batas patoknya dan informasi geografis lain.

Kontribusi mustahak yang telah diwakafkan para dewa peografi tersebut ialah bahwa mereka telah mensistematisasikan dan memperluas cakupan geografi dengan menambahkan padanya topik-topik inovatif baru dengan maksud pokok membuatnya lebih bermanfaat dan tambah atraktif. Sebab mereka haqqul yaqin bahwa pasti bakal kian beragam orang meminati bidang prospektif ini, mulai dari raja-raja, orang-orang “muruwwa” sampai pada juragan dan “god-father” di semua lapisan sosial masyarakat.

Dalam kartografi (perpetaan), di samping melukiskan peta-peta regional pada basis yang lebih ilmiah, mereka boleh dibilang telah mengenalkan unsur-unsur perspektif. Mereka umpama telah mampu menggambarkan sebuah peta bukit dunia yang memperlihatkan zona-zona “bilad al-Islam” yang tentu saja berbeda dengan daerah-daerah non/minoritas Muslim.

Tujuannya tak lain menggiring mereka ke perspektif yang sebenarnya serta untuk memperlihatkan posisi dan ukuran relatif masing-masing. Akan tetapi karena itu tidak mewakili ukuran dan bentuk perspektif iklim sesungguhnya (bulat, persegi, segi tiga), lantas mereka memetakannya sendiri-sendiri dalam wujud diperbesar.

Pelukisan semua itu pada basis fisik yang senyatanya boleh  jadi merupakan percobaan pertama di bidang tersebut dalam perpetaan Arab.

Peta-peta dari Istakhri dan lbnu Hawkal dalam kaitan ini dinilai sedikit lebih unggul ketimbang milik al-Idrisi yang mengklasifikasi tujuh iklim latitudinal (pembalik, garis lintang) ke dalam masing-masing 20 bagian longitudinal (membujur, garis bujur) dan melukiskan sebuah peta untuk tiap-tiap bagian secara terpisah dengan hasil bahwa peta-peta bagian ini tidak unit-unit geografis, kecuali pembagian-pembagian geometris.

Istakhri, Hawkal dan Mukaddasi buat pertama kalinya memelopori konsep sebuah negeri sebagaimana yang didefinisikan dalam term-term geografis, dan bahkan melangkah lebih jauh untuk memetakan batas masing-masing seperti halnya tatkala mereka mendefinisikan batas-batas empat kerajaan utama dunia. [  ]

Back to top button