News

Akademisi: Sistem Pemilu Tertutup, Mengembalikan Tradisi ‘Lelang’ Nomor Urut

Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ferry Daud Liando mengatakan sistem pemilu apapun yang hendak dipilih tetap akan melahirkan risiko. Namun, jika proporsional tertutup yang kembali diberlakukan maka potensi yang bisa terjadi adalah penetapan nomor urut caleg bisa saja didasarkan atas hasil ‘lelang’.

“Siapa yang menyetor uang terbanyak dia yang ditempatkan nomor urut satu. Potensi ‘lelang’ ini bisa terjadi, kita lihat pengalaman setiap kali pemilihan partai di daerah itu ternyata harus setor ke pusat,” kata Ferry dalam webinar Ditjen Polpum Kementerian Dalam Negeri, secara daring, diakses dari Jakarta, Rabu (7/6/2023).

Jangankan untuk urutan caleg, sambung dia, bahkan untuk mendapatkan posisi sebagai pengurus partai di daerah saja, si kandidat harus menyetorkan sejumlah uang agar bisa terpilih. Tradisi yang sama juga berlaku pada saat menentukan nomor urut caleg.

“Saya sudah wawancarai orang-orang yang tidak terpilih, ‘sudah bertahun-tahun di partai politik, tapi karena saya tidak setor uang ke pusat saya tidak dipilih jadi ketua partai’ begitu pengakuan mereka,” tuturnya.

Ferry menegaskan sistem pemilu tertutup sejatinya berbahaya, karena praktik politik uang semakin tertutupi dan yang menikmati aliran uang itu hanya di lingkaran elite partai politik. “Ini bahaya karena banyak parpol kita yang belum kuat dari sisi kelembagaan. Punya uang pun tidak,” tegas dia.

Bila memang ingin memberlakukan sistem pemilu tertutup, jelas dia, harus diiringi dengan pembenahan internal partai politik, setidaknya dalam hal keterbukaan soal penentuan nomor urut caleg kepada publik.

“Sekarang kalau tertutup memang harus ada info kepada publik, parpol mengusung calon tertentu apa sebabnya, apa keunggulanya, dia ditetapkan di nomor urut satu, apa keunggulannya biar ini bentuk pertanggungjawaban,” lanjut dia.

Kendati demikian, ia menegaskan, sistem proporsional terbuka juga tidak seratus persen baik. Karena sistem ini juga memiliki kelemahan, salah satunya masalah kaderisasi yang semakin tumpul, hanya mengandalkan popularitas semata.

“Jangan seperti sekarang, baru jadi anggota parpol ditetapkan sebagai calon angggota DPR, makanya jadi kutu loncat, KTA diperjualbelikan karena memang kelembagaan parpol itu lemah,” tutup Ferry.

Back to top button