Market

78 Tahun Indonesia Merdeka, Masih ‘Dijajah’ Utang

Tak terasa, usia republik yang sama-sama kita cintai ini, sudah 78 tahun. Sayangnya, Indonesia belum merdeka dari utang. Bahkan, jumlahnya terus menumpuk. Rapor merah pemerintahan saat ini.

Atas menggunungnya utang pemerintah hingga Rp7.805,19 triliun per Juni 2023, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Presiden Jokowi biasa-biasa saja. Dianggap bukan hal yang penting.

Tahun depan, bahkan, Jokowi akan menarik utang baru yang angkanya lumayan jumbo. Rp648,1 triliun. Hingga Jokowi lengser bisa jadi mewarisi utang lebih dari Rp8.500 triliun. Wow.

Saat menyampaikan pidato RAPBN 2024 serta Nota Keuangan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/8/2023), Jokowi menyatakan, utang Rp7.805,19 triliun, masih cukup aman. Memang naik jika dibandingkan utang Mei 2023 senilai Rp7.787,51 triliun.

Tapi ya itu tadi, semuanya masih aman. Alasan Jokowi, rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB, mencapai 37,8 persen. Turun ketimbang rasio utang terhadap PDB pada 2021, sebesar 40,7 persen.

Selanjutnya, Jokowi pamerkan capaian rasio utang Indonesia yang terendah di antara negara anggota G20 dan ASEAN. Malaysia saja, rasio utang terhadap PDB-nya mencapai 66,3 persen. Atau, China yang menjadi sumbu ekonomi Indonesia saat ini, rasio utangnya 77,1 persen. India lebih parah lagi, rasio utangnya 83,1 persen.

“Rasio utang Indonesia juga salah satu yang paling rendah di antara kelompok negara G20 dan ASEAN. Bahkan menurun dari 40,7 persen PDB pada 2021, menjadi 37,8 persen di Juli 2023,” kata Jokowi.

Ya, sah-sah saja bila presiden kita ini, menilai utang Rp7.805,19 triliun itu, bukan masalah penting. Karena, Indonesia masih mampu bayar. Nah, kalau mampu bayar, kenapa utangnya tak lunas-lunas?

Utang ya tetap utang. Harus dibayar atau dilunasi. Tak mampu bayar sekaligus, bisa mencicil. Tak kuat bayar cicilan, ya gali lubang tutup lubang. Bayar cicilan dengan utang baru.

Ekonom senior, Faisal Basri mengatakan, betul kalau dibilang bahwa rasio utang era Jokowi turun. Namun, akar permasalahannya adalah, pemerintah selalu menambah utang yang jumlah dan peruntukannya ugal-ugalan.

“Tapi peningkatannya (utang) itu sudah menyebabkan beban (APBN) kian berat. Nah pertanyaannya mengapa sih utangnya makin menggelembung gitu? Ya, karena belanjanya naik terus, pendapatan pajaknya relatif turun terus. Gitu,” terang Faisal.

Faisal betul. Penerimaan negara dari pajak, terasa tak optimal. Tercermin dari terjun bebasnya tax ratio. Umumnya suatu negara itu, tax rationya berkisar antara 15 persen, 17 persen atau bahkan 20 persen. “Nah, tax ratio kita turun terus. Bahkan mencapai level terendah sepanjang sejarah. Tidak sampai 10 persen,” ungkapnya.

Rendahnya capaian pajak ini, kata dia, menggambarkan tidak berkaulitasnya kegiatan ekonomi. “Istilahnya pajak itu seperti memerah sapi. Kalau sapinya sakit-sakitan, susu yang didapat juga sedikit. Kalau ekonominya tidak berkualitas maka pajaknya rendah,” ungkapnya.

Dia menyarankan, tim ekonomi Jokowi bisa mendeteksi penyakit ekonomi yang diderita. Sehingga lebih mudah untuk mengobatinya. Intinya, jadikan kegiatan ekonomi di Indonesia menjadi sehat.

“Saya katakan, ekonomi tumbuh makin tak berkualitas. Investasi makin turun, walaupun sudah banyak macam-macam (insentif). Kemudian, sebagian besar investasi adalah bangunan, tanpa mesin kan tidak jadi apa-apa. Parahnya lagi, industri manufaktur merosot terus mencapai level terendah di era pak Jokowi,” kata Faisal.

Utang dari Masa ke Masa

Dari seluruh pemimpin Indonesia yang pernah berkuasa, ternyata era Jokowi yang paling juara menciptakan utang. Beberapa waktu lalu, seorang pengusaha serta YouTuber, Mardigu Wowiek Prasantyo yang karib disapa Bossman ‘Sontoloyo’ Mardigu, mengungkap utang era reformasi yang sudah berumur 25 tahun (1998-2023).

Hasilnya, ya itu tadi, utang pemerintahan (rezim) Jokowi, adalah yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Berdasarkan data per 31 Maret 2023, utang pemerintah hampir Rp7.900 triliun.

Angka ini, menurut catatan Mardigu, melompat 738 persen ketimbang detik-detik menjelang lengsernya Soeharto pada 1998, yang hanya Rp940 triliun.

Atau terjadi penambahan Rp6.900 triliun sepanjang 25 tahun. Dengan kata lain, terjadi pertumbuhan utang sebesar 30 persen per tahun yang setara Rp278 triliun per tahun.

Hampir dua periode menjabat, Jokowi menciptakan utang sebesar Rp5.270 triliun. Hampir 6 kali utang di 2 periode SBY yang totalnya Rp1.311 triliun. Dan, hampir 20 kali lipat utang era Gus Dur dan Megawati.

SBY ‘Merdekakan’ RI dari IMF

Mungkin banyak yang lupa, SBY pernah melunasi utang pemerintah terhadap IMF pada 2006. Atau dua tahun sejak dirinya berkuasa.

“Maaf, demi tegaknya kebenaran, saya harus mengatakan bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada 2006 yang lalu,” kata SBY dikutip dari akun facebooknya.

Tulisan SBY itu, meluruskan pernyataan Presiden Jokowi yang dimuat harian nasional pada 27 April 2015. Di mana, Jokowi menyebut pemerintah masih punya utang terhadap IMF.

Masih kata SBY, utang Indonesia kepada IMF kala itu, mencapai US$9,1 miliar. Jika di-rupiahkan dengan nilai tukar sekarang, setara dengan Rp117 triliun. Semuanya lunas pada 2006, atau 4 tahun lebih cepat dari jadwal. “Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien IMF,” katanya.

Ada 3 alasan yang membuat SBY mempercepat pembayaran utang IMF itu. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang bagus-bagusnya, di atas 6 persen. Sehingga aman secara fiskal dan moneter.

Kedua, pelunasan utang tersebut membuat posisi Indonesia aman dari pendiktean IMF. Selama ini, IMF sering memaksa negara yang berutang untuk menjalankan suatu kebijakan.

Rupanya ada pengalaman tak mengenakkan dari IMF saat SBY menjabat Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada 1999-2000.

Dia diminta Consultative Group on Indonesia sebagai donor IMF untuk menaikkan secara bersamaan harga dasar listrik dan BBM dalam jumlah tinggi. “Hal itu saya tolak, karena pasti ekonomi rakyat akan menjadi lebih buruk,” kata dia.

Selama menjadi presiden, SBY sempat disambangi 3 pucuk pemimpin IMF. Pada 2007, Rodrigo de Rato diterimanya di Kantor Kepresidenan. Pada 2011, SBY ketamuan Dominique Strauss-Kahn dan Chistine Lagarde pada 2012.

Bahkan, IMF sangat berharap Indonesia ikut membenamkan dananya di IMF. Kala itu, Indonesia adalah anggota G20 yang perekonomiannya berada di ranking 16 dunia.

“Pasalnya, IMF kekurangan dana untuk digunakan membantu negara yang mengalami krisis berat dan perlu penyelamatan dari IMF. Artinya, tangan kita tidak lagi berada di bawah, tetapi sudah berada di atas,” kata SBY.

Infrastruktur dalam Kubangan Utang

Sudah bukan rahasia lagi, tambunnya utang di era Peresiden Jokowi, dipicu gencarnya pembangunan infrastruktur. Termasuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang dibiayai dari utangan Bank Pembangunan China (China Development Bank).

Sejak awal, proyek ini, sarat masalah. Maklumlah, studi kelayakannya, dibuat super kilat. Tak perlu perhitungan cermat. Yang penting dikebut agar cepat jadi.

Semula, Presiden Jokowi menyatakan pembangunan kereta cepat yang digarap China ini, berskema business to business (B to B), alias murni bisnis yang tak melibatkan duit APBN.

Namun semuanya berbalik seratus delapan puluh derajat. Melalui Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 6 Oktober 2021, menghalalkan duit APBN masuk ke poryek ini.

Beleid itu menggantikan Perpres 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.

“Kita harus memperhatikan proyek berskema B to B dengan pemain China, risikonya jauh lebih tinggi ketimbang utang bilateral. Di situlah yang disebut debt trap, atau jebakan utang mulai bermain,” terang Bhima Yudhistira, Direktur Eksektif Center of Economics and law Studies (Celios).

Selanjutnya, pembengkakan biaya proyek atau cost overrun yang luar biasa. Saat masih proposal pada 2015, China menawarkan proyek kereta cepat berbiaya US$5,13 miliar. Atau setara Rp76,95 triliun dengan asumsi kurs Rp15.000/US$.

Dalam perjalanannya, anggaran itu bengkak menjadi US$6,07 miliar, atau setara Rp91,05 triliun. Ini bengkak pertama.
Kemudian bengkak lagi (kedua) menjadi US$8 miliar, setara Rp120 triliun.

Tak kira-kira, bengkaknya Rp43,05 triliun. Akan lebih berguna bila duit sebesar itu digunakan untuk menambah subsidi LPG 3 kilogram yang sempat langka beberapa waktu lalu. Atau dialokasikan untuk subsidi bahan pangan yang harganya terus menjulang, beberapa waktu ini.

Kembali ke proyek kereta cepat China itu, sebesar 75 persen dari total biaya berasal dari utang Bank Pembangunan China atau China Development Bank (CDB). Kira-kira utang Indonesia ke China sekitar Rp90 triliun.

Sedangkan bunga yang dipatok CBD sebesar 3,4 persen per tahun dengan tenor 30 tahun. Menko Maritim dan Investasi (Marves), Luhut Panjaitan pernah menawar bunga menjadi 2 persen bertenor 40 tahun, namun ditolak.

Kini, nasib proyek kereta ‘made in’ China ini, tak jelas kapan beroperasinya. Beberapa kali mundur dari rencana. Setelah gagal beroperasi pada 17 Agustus 2023, mundur ke September. Kalau gagal lagi, mundur lagi.

Jangan-jangan kereta cepat namanya diganti menjadi kereta mundur, atau kereta bengkak. Karena biayanya bengkak terus.

Kasus kereta cepat ini, baru satu contoh carut marut utang. Cukup banyak proyek infrastruktur yang dibiayai utang. Termasuk BUMN karya terpaksa ngutang karena ditugasi pemerintah membangun jalan tol.

Sudah ada korban, PT Waskita karya (persero) tbk, keuangannya didera masalah besar. Gagal membayar utang berbentuk obligasi yang jatuh tempo bulan ini. Nasib apes Waskita Karya ini, bisa menjalar ke BUMN lainnya. Semua rusak gara-gara gemar ngutang. (dee)

Back to top button