Arena

6.500 Pekerja Migran Tewas Demi Piala Dunia, Qatar Tolak Bayar Kompensasi

Jumat, 04 Nov 2022 – 08:35 WIB

Piala dunia

Foto: Gettyimages

Piala Dunia 2022 tak lama lagi. Kurang dari 3 pekan akan mulai. Namun, gegap gempitanya tak senyaring edisi-edisi terdahulu. Malah kontroversinya yang kian terdengar akibat situasi tenaga kerja – kebanyakan imigran Asia – selama pembangunan stadion Qatar terus menjadi sorotan organisasi hak asasi manusia internasional.

Dari semua kemegahan yang disajikan oleh Qatar untuk menggelar Piala Dunia 2022 itu, nyatanya terdapat kisah pilu dari buruh-buruhnya. Setelah Amnesty International dan Human Rights Watch, di antara LSM lainnya, meminta FIFA dan Qatar untuk mengeluarkan dana kompensasi setara hadiah piala dunia yakni 440 juta dolar atau sekitar Rp 5,7 triliun untuk para pekerja yang tewas dan terluka, Menteri Tenaga Kerja Qatar, Ali bin Samikh Al Marri telah berbicara dalam sebuah wawancara dengan AFP, Selasa (2/11/2022).

Standar ganda pengkritik

Menurut Al Marri, yang sebelumnya menjabat ketua Komite Nasional Hak Asasi Manusia Qatar, Doha sudah membayar para pekerja dan tidak akan menyiapkan dana yang diminta oleh LSM internasional. Bagi menteri, permintaan ini “adalah aksi publisitas” , sementara kritik terhadap perlakuan negara Teluk terhadap pekerja migran, perempuan, dan anggota komunitas LGTBI+ dimotivasi oleh “rasisme” . Al Marri mengatakan, para pengkritik Qatar “tidak ingin membiarkan negara kecil, negara Arab, negara Islam, menjadi tuan rumah Piala Dunia,” katanya.

Kenyataannya, 6.500 pekerja – sebagian besar dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka – telah meninggal di Qatar sejak negara itu dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia, menurut penyelidikan Guardian pada Februari 2021. Dalam hal ini, Al Marri telah mengakui bahwa “setiap kematian adalah tragedi”, meskipun ia mempertanyakan angka-angka yang diterbitkan oleh surat kabar Inggris. “Korbannya mana, ada nama-nama korbannya, bagaimana bisa dapat data itu,” tanya Menkeu Qatar saat diwawancarai kantor berita tersebut.

Amnesty International lebih lanjut menambahkan bahwa pihak berwenang gagal “menyelidiki secara memadai kematian pekerja migran”. Ini, menurut LSM tersebut, “berarti bahwa Qatar gagal melindungi elemen utama dari hak untuk hidup” . Keluarga korban juga tidak diberi kesempatan untuk menerima kompensasi dari majikan atau pihak berwenang.

Al Marri berpendapat bahwa komunitas internasional dan kritikus sangat menyadari reformasi yang telah dilakukan.

“Tetapi mereka tidak mengakuinya karena mereka rasis dalam motivasi mereka”, katanya.

Qatar telah menetapkan upah minimum 1.000 real – $275 atau sekitar Rp4,3 Juta – menjadikannya negara pertama di kawasan yang mengadopsi “upah minimum non-diskriminatif” , menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO).

Sistem Kafala

Kafala juga telah hampir dibongkar di negara ini. Kafala – dianggap sebagai metode perbudakan modern – adalah sistem perburuhan yang mengikat pekerja migran dengan majikan mereka. Dengan cara ini, warga negara atau perusahaan swasta memiliki kendali penuh atas pekerja dan status migrasinya.

Namun, Amnesty International menekankan bahwa terlepas dari komitmen Doha, “pemerintah gagal menerapkan dan menegakkan reformasi, membiarkan praktik-praktik kasar muncul kembali dan menghidupkan kembali elemen-elemen terburuk kafala” .

Meski begitu, Al Marri terus menyayangkan bahwa, setelah semua “usaha”, orang masih “menyerang” Qatar. Serangan-serangan ini, ia menekankan, didasarkan pada “informasi palsu” dan “rumor” untuk “mendiskreditkan” negara “dengan klaim yang sengaja menyesatkan”. Meski tidak menyebut nama negara tertentu, Al Marri menuduh beberapa politisi asing “berstandar ganda” dan menggunakan Qatar “sebagai panggung untuk menyelesaikan masalah politik mereka sendiri”.

Qatar adalah salah satu negara yang menganut Sistem Kafala. Sistem kafala mengatur hubungan antara majikan dan pekerja migran di banyak negara-negara di Asia Barat. Negara-negara yang menganut sistem kafala adalah negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

The Guardian pernah mengungkapkan fakta mencengangkan tersebut dalam artikelnya yang dipublikasikan pada Februari 2021. Media asal Inggris tersebut menulis bahwa lebih dari 6.500 pekerja migran meninggal dunia dalam rentang 2011-2020, atau sejak Qatar diumumkan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Angka itu didapat dari kumpulan data pemerintah India, Bangladesh, Nepal and Sri Lanka, di mana total terdapat 5.927 pekerjanya yang tewas di Qatar. Data lain berasal dari kedutaan Pakistan di Qatar di mana terdapat 824 pekerja dari Pakistan yang meninggal dunia dalam rentang 2010-2020.

Back to top button