Market

Tuntutan Korupsi Gili Trawangan, Negara Dapat Jerat Oknum Pemda NTB

Negara atau pemerintah pusat dapat menuntut para oknum pemerintah daerah (Pemda) yang terlibat dalam kasus penjualan aset negara berupa lahan di kawasan wisata Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tuntutan itu dapat dilakukan dengan perkara korupsi.

Demikian pandangan Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar. “Melalui proses pidana bisa dilakukan perampasan aset negara, melalui penyitaan barang bukti yang nanti berdasarkan putusan pidana, bisa minta dikembalikan pada negara melalui penuntutan korupsi,” kata Fickar kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Selasa (7/3/2023).

Sebab, menurutnya, hal itu sudah jelas melanggar hukum di Indonesia. Belum lagi dengan adanya peralihan aset negara ke pihak asing.

“(Pemerintah dapat) menuntut secara pidana oknum-oknum Pemda yang menyebabkan beralihnya aset (negara) ke pihak yang tidak berhak,” tegasnya.

Oleh karena itu, pemerintah dalam kasus ini harus membatalkan 11 kontrak penjualan aset yang sudah ditandatangani oleh Gubernur NTB Zulkieflimansyah.

“Harus ada pembatalan kontrak-kontrak yang terlanjur dibuat, apalagi yang mengakibatkan hilangnya aset negara,” ujar Fickar.

Sepanjang pembatalan yang menyangkut peralihan aset negara, ia berkeyakinan tidak akan menimbulkan permasalahan baru seperti sengketa.

Sebelumnya, niat mulia Gubernur NTB Zulkieflimansyah untuk mengembalikan hak lahan kepada masyarakat Gili Trawangan terbentur batu sandungan. Ini lantaran 11 kontrak telah diberikan kepada investor asing yang ia teken sendiri.

“Cuman, rupanya Pak Gubernur ini kelolosan menandatangani, memberikan kontrak kepada orang asing, sebelas kontrak,” kata Mantan Bupati Lombok Barat, HM Izzul Islam kepada Inilah.com saat dihubungi dari Jakarta, Senin (6/3/2023).

Pengembalian hak lahan itu menyusul berakhirnya Hak Guna Bangunan (HGB) dari PT Gili Trawangan Indah (GTI) pada 2022. GTI menguasai 75 hektar HGB yang didapatkan dari negara melalui Pemprov NTB.

“Seharusnya, sambung Izzul, kalau tanah negara itu kembali ke pemerintah, seharusnya itu ditawarkan terlebih dahulu ke masyarakat yang sudah menempati tanah tersebut selama berpuluh-puluh tahun dengan membayar royalti. Masyarakat itu mampu membayar royalti itu,” ucapnya.

Entah bagaimana ceritanya, sambung Izzul, Gubernur NTB meloloskan 11 kontrak itu. “Ini jadi serba salah juga Pak Gubernur sekarang antara khilaf dengan sengaja,” ucapnya.

Ia menduga adanya keterlibatan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) Nusa Tenggara Barat alias BPKAD dan Biro Hukum. “Jika biro hukum sudah paraf dan Sekda (Sekretaris Daerah) paraf, kadang-kadang enggak dibaca oleh Gubernur. Itu jadi merugikan daerah dan masyarakat setempat,” tuturnya.

Back to top button