Anggota Komisi Bidang Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Syarif Hidayat menyatakan dalam demokratis elite atau sistem otoritarian terdapat praktik feodalisme.
“Bagaimana kemudian praktik feodalisme ini dalam tata kelola negara? Ya memang bentuk yang paling tua bentuknya kerajaan, tapi dalam sistem demokrasi pun, praktik feodalisme itu juga bisa terjadi terutama pada sistem yang otoritarian atau yang disebut democratic elitism,” ujar Syarif secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Mengikis Feodalisme dalam Demokrasi di Indonesia’, dikutip di Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Ia menyebut feodalisme berkaitan pada sistem politik yang berkorelasi dengan kekuasaaan. Prinsip utamanya, yakni berorientasi pada kekuasaan, kekerabatan, dan kekultusan.
“Artinya dia bentuk fisiknya demokrasi, tapi rohnya dia sangat feodal. Artinya dia hanya dikuasai oleh segelintir elite, dan kemudian dia sangat berkorelasi dengan kekuasaan, melaksanakan sistem kekerabatan,” terang Syarif.
Kemudian, lanjut dia, kalaupun ada pemilu dan lain sebagainya, hal itu hanya merupakan mekanisme untuk menuai legitimasi dari masyarakat.
Dengan begitu, menurut Syarif, hadirnya pemilu hanya mekanisme dari elite untuk menuai legitimasi agar dapat disebut demokrasi.
“Nah kemudian yang paling berbahaya menurut (teori atau pandangan) Alagappa lebih buruk dari otoritarianism adalah personalised government. Dia sudah mengkultuskan satu orang dalam satu negara,” ungkap Syarif.
“Nah ini dia (Alagappa) mencontohkan pada masa kepemimpinan di Filipina itu ada Marcos. Bahkan Soeharto pun menurut Aliagappa termasuk bagian dari tepian-tepian personalised government,” tuturnya.
Lebih lanjut Syarif menjelaskan posisi Indonesia saat ini tengah mengalami transisi demokrasi yang cenderung terperangkap dalam model demokratis elite.
“Nah itu sebenarnya terjadi, karena bagaimana praktik transisi demokrasi yang masih sangat elitism dan masih diwarnai dengan feodalism,” ujarnya.
