Kanal

Polisi, Soal Minta Jantung, dan Adagium Lord Acton


“Mengapa polisi jadi makin korup seperti sekarang?” tanya Farid, retoris. Farid menjawabnya sendiri dalam esainya,”Blanko Kosong Perang Melawan Teror”. “Kita memberi blanko kosong pada Polisi, institusi yang hampir tanpa akuntabilitas,”tulis Farid. Belakangan Farid menambahkan,“Ditambah lagi, endorsement dari Presiden Jokowi (atasan langsung Polri) agar “polisi mengawal investasi”. Konsekuensinya: polisi didorong jadi centeng cukong.”

 

 

Satu lagi peristiwa yang menguatkan adagium Lord Acton itu benar-benar nyata: penguntitan dan aksi mata-mata terhadap Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah oleh oknum anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Peristiwa itu juga dengan gampang membuka ibrah, bila tak pandai bersyukur, kebaikan yang murudul (Sunda: datang berduyun-duyun) tak banyak membawa manfaat kecuali membuncahkan hasrat dan dahaga kuasa. Ibarat peribahasa, dikasih hati, minta jantung. Sukar untuk menafikan bahwa penguntitan, juga aksi pamer kekuatan di ‘halaman rumah’ Kejaksaan Agung beberapa waktu itu datang dari perasaan kuat, besar, superior, yang tercederai manakala ada kepentingan yang terusik.  

Di abad 19 lalu Lord Acton bilang dalam kalimat yang panjang,“Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men, even when they exercise influence and not authority; still more when you superadd the tendency of the certainty of corruption by authority. Kekuasaan  itu cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup. Orang-orang hebat hampir selalu merupakan orang-orang jahat, apalagi jika mereka berurusan dengan pengaruh dan bukan otoritas; apatah lagi ketika kecenderungan korupsi yang nyaris pasti (itu) ditambah…..”

Masih ingatkah bahwa di masa Orde Baru, meski Kepolisian digolongkan sebagai bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) posisinya cenderung menjadi junior, kalau bukan bahkan anak tiri? Polri selalu dianggap di bawah ketiga matra ABRI lainnya saat itu.  Kapolri saja saat itu ‘hanya’ dijabat bintang tiga, bukan empat. Yang ‘sulung’ tentu Angkatan Darat (AD). Kita tahu, AD pula yang waktu itu cenderung paling—mungkin ada kata lain yang bisa menggantikan?—korup.

Reformasi sementara membuat  proses check and balance terjadi. Diawali Instruksi Presiden Inpres) Nomor 2 Tahun 1999, tentang Langkah-langkah Kebi-jakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian dari ABRI, aturan yang kokoh tentang posisi Polri terealisasi ketika Presiden Abdurrahman Wahid menginisiasi MPR untuk menerbitkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Tak hanya itu, Polri bahkan kemudian dianggap memiliki kewenangan berlebih lantaran dibawahi langsung oleh Presiden, sesuai Pasal 7 ayat (2) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000, yang berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”.

Tak sekadar menjadikan ketiga matra lembaga bersenjata itu sejajar. Di sisi lain bahkan seolah terjadi “peminggiran” TNI AD, karena di masa lalu begitu hegemoniknya. Adakah Polri harus mengalami nasib seperti TNI AD lebih dulu, sebelum institusi tersebut benar-benar berada di jalurnya yang tepat dan benar?

Dua dekade kamudian, kita layak was-was peluang tersebut bukan tertutup sama sekali. Indonesianis dan pengamat studi Asia Tenggara dari Murdoch University,  Australia, Jacqui Baker, menyimpulkan bahwa reformasi belum berjalan di Polri. Atau kalaupun itu dijalankan, maka yang ada adalah kegagalan. Baker secara khusus menunjuk meningkatnya kasus-kasus kekerasan Polri dalam menata ketertiban umum selama beberapa tahun belakangan. Secara khusus ia menyoroti tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022, yang menelan korban 131 jiwa akibat inkompetensi, pembiaran, hingga malpraktik yang menurut kesimpulannya disebabkan aparat kepolisian.

“Terkadang kewenangan tersebut disalahgunakan sehingga acapkali menimbulkan tindakan pelanggaran seperti halnya penyiksaan (torture) dan pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killing),” kata Jacqui. Sekadar gambaran, dalam sebuah esainya yang beredar luas di media sosial, wartawan senior cum kolumnis terkemuka Farid Gaban membuka data. Lewat program “Perang Melawan Teror”, yang Polri seakan taqlid buta terhadap dominasi kehendak Amerika Serikat, hingga 2021 ada 110 orang lebih terduga teroris dibunuh tanpa proses hukum (extra-judicial killing). Publik bahkan tak bisa lagi protes saat Polisi menangkapi 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law, selama 2019-2021 saja.

Bagaimana tidak layak disebut taqlid alias setia secara membuta, bila program yang di negeri hulunya sudah dianggap masa lalu itu, di sini masih saja dibuat bergaung? Bagaimana tidak setia: Indonesia menyerahkan tersangka dalang Teror Bom Bali (2002) dan Bom Marriott (2003), yakni Hambali dan Muhammad Faruk, kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk dipenjarakan tanpa batas waktu di Guantanamo Bay, dan baru diadili setelah hampir 20 tahun mengalami penyiksaan lahir dan batin?  “Kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran yang makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan publik,”tulis Farid.

“Mengapa polisi jadi makin korup seperti sekarang?” tanya Farid, retoris. Farid menjawabnya sendiri dalam esainya,”Blanko Kosong Perang Melawan Teror”. “Kita memberi blanko kosong pada Polisi, institusi yang hampir tanpa akuntabilitas,”tulis Farid. Belakangan Farid menambahkan,“Ditambah lagi, endorsement dari Presiden Jokowi (atasan langsung Polri) agar “polisi mengawal investasi”. Konsekuensinya: polisi didorong jadi centeng cukong.”

Bukan hanya masalah Indonesia sebenarnya. Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa program “War on Terror” yang awalnya dipaksakan AS itu, kemudian dimanfaatkan para despot dan dictator di bernagai negara sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes.

 ***

Seiring terjadinya tragedi Kanjuruhan, sebenarnya ada yang bergolak di publik terkait Polri. Tragedi itu seakan seketika menyadarkan warga bahwa sebagai institusi, Polri melemah dan mengalami kelunturan profesionalisme. Banyak kasus penyalahgunaan senjata api, terlibat dalam tindak pidana, anggota yang sewenang-wenang, dan banyak kasus lainnya yang ditunjukkan Polri, yang menjauhkan Lembaga itu dari citra gemilang di awal Reformasi. Padahal, pada saat itu public berharap besar Polri bisa mewujudkan cita-cita reformasi insitusi tersebut, yakni menciptakan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, serta ketenteraman masyarakat.

Muncul  tuntutan yang saat itu menguat: Reformasi Total Polri!  Tak hanya itu. Seruan “Revolusi Total Polri” semakin ramai bergaung di medial sosial selama pekan-pekan awal pasca-Kanjuruhan. Seorang pengguna berkicau di akun X, saat itu masih bernama Twitter, “Belum ada keterangan pasti untuk apa saja gas air mata ini digunakan. Yang jelas barang ini jadi andalan polisi untuk pengontrol massa.”  Ada pula pengguna Twitter yang kecewa karena menurutnya Polisi terlalu mengandalkan kekerasan. “Apa ada yang pernah memberi pelatihan bagaimana Tupoksi sebenarnya Kepolisian Indonesia cara mengamankan chaos tanpa membunuh?” katanya, mencuit.

Sebenarnya petinggi Poltri pun tak tinggal diam. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Pranbowo, saat itu bahkan mengancam mencopot oknum bermasalah. Tanpa adanya teguran, Listyo memastikan bahwa oknum tersebut akan langsung dicopot dari jabatannya.  “Kalau ada laporan, saya tidak perlu tegur lagi, langsung saya proses. Saya langsung copot. Ini berlaku untuk semuanya, apakah itu polki (polisi laki-laki), apakah itu polwan (polisi wanita),” kata Listyo, melalui akun Instagram pribadinya @listyosigitprabowo, pada Senin, 12 September 2022.

                                                                                    ***                                                                                       

Setahun terakhir, alih-alih hujan kritik, institusi Polri justru kebanjiran dukungan dan kepercayaan. Setidaknya menurut lembaga survey Indikator Politik Indonesia. Pegiat Indikator, Rizka Halida, akhir tahun lalu mengatakan hasil survei lembaganya menunjukkan kepercayaan publik terhadap Polri mencapai 72 persen. Hal itu menurut dia menandakan kepercayaan publik terhadap Korps Bhayangkara semakin pulih.

“Kepercayaan terhadap Polri saat ini tampak mulai pulih setelah sempat jatuh ke level paling rendah di antara lembaga-lembaga lain ketika diguncang kasus Sambo,” kata Rizka, saat memaparkan hasil survei bertajuk “Swing Voters, Efek Sosialisasi dan Tren Elektoral Jelang Pilpres 2024” secara virtual, di Jakarta, akhir September 2023. Dalam survei tersebut, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri tertera 63 persen cukup percaya dan sembilan  persen sangat percaya. Rizka menjelaskan, tingkat kepercayaan kepada Polri itu berada di atas kepervayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MPR, DPR, DPD, termasuk partai politik.

Dalam catatan Indikator, salah satu alasan pulihnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri itu tak lain dari ketegasan Kapolri menindak sejumlah jenderalnya yang terlilit perkara. Selain itu, dalam temuan Indikator, Polri dipersepsikan publik mampu bersikap netral, dengan tidak melindungi para perwiranya dari jerat hukum maksimal.

Boleh-boleh saja kita skeptis terhadap hasil survey tersebut. Namun tanpa data pembanding, jelas tak ada hujjah yang bisa dikedepankan.

Yang jelas, meski hasil survei menunjukkan tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Polri, masih sering terdengar bisik-bisik di ruang publik tentang posisi Polri dalam hubungan mereka dengan kaum pengusaha. Masih kerap dipertanyakan soal anggapan aparat yang bisa “dibeli” untuk kepentingan pengusaha dan bisnis.

Bukan hanya rumors dan bisik tetangga, sebenarnya. Situs Hukumonline.com mencatat, dalam banyak kasus, Polri yang seharusnya berperan melindungi dan mengayomi Masyarakat, justru terfokus untuk melindungi “tuan” mereka dengan dalih mengamankan objek vital. Pada saat masih hidup, pengamat Kepolisian dan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Bambang Widodo Umar, mengatakan, telah jadi rahasia umum bahwa Polri mau tidak mau terlibat dalam pengamanan sengketa tanah perkebunan maupun pertambangan. Buruknya, kata alm Bambang, “Dana pengamanan yang diberikan pengusaha, alih-alih masuk ke kas negara justru masuk ke kantong pribadi para petinggi yang menjajakan bintara mereka untuk menjalankan tugas pengamanan tersebut.”

Polri bahkan sempat disorot ketika oknumnya terlibat dalam melindungi bisnis judi online “Konsorsium 303”.  Meski Jenderal Sambo telah dipenjarakan, kasus “Konsorsium 303”-nya sendiri seolah menguap, lenyap begitu saja.

Bukan hanya rakyat banyak yang berharap pada saatnya akan memiliki Polri yang meeka idam-idamkam: melayani, melindungi. Juga elit negeri, semisal mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

“Kapan (ada) polisi seperti Pak Hoegeng lagi, ya?” kata Megawati, bukan dengan nada bertanya. Kalimat yang dilontarkannya pada “Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Ke-V”,  di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta Utara, Jumat (24/5/2024) itu merujuk sosok Jenderal Pol Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang telah lama tiada.

Mungkin karena Mega tahu, perlu waktu lama untuk itu. Sementara, tak ada jaminan harapan itu terkabul di usianya yang kian menua. [dsy/vonita/ reyhaanah/clara]

Back to top button