Market

Setoran Ekspor Tambang untuk APBN Minimalis, Indonesia di Ambang Krisis


Analis dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menyebut Indonesia kaya sumber daya alam namun APBN-nya kurang duit.

“Indonesia adalah eksportir Batu bara terbesar di dunia, penghasil sawit dan nikel terbesar, tapi sumbangan untuk APBN sangat minim,” papar Salamuddin, Jakarta, Sabtu (18/5/2024).

Asal tahu saja, penerimaan negara dari SDA tambang di luar minyak dan gas (migas), dalam 6 tahun terakhir, sangat minimalis.

Pada 2019, misalnya, cuman Rp33,8 triliun. Setahun kemudian anjlok menjadi Rp28,1 triliun. Pada 2021 naik menjadi Rp52,9 triliun, tahun 2022 Rp120,2 triliun, tahun 2023 Rp119,7 triliun dan tahun 2024 diperkirakan anjlok menjadi Rp92,9 triliun.

Mengapa Salamudin menyebut setoran SDA ke APBN sangat rendah? Kalau dirata-rata, penerimaan dari SDA hanya Rp76,6 triliun per tahun.

Jika dibandingkan dengan nilai ekspor batu bara dalam setahun saja, harga saat ini, nilainya mencapai Rp1.568 triliun. Angka itu belum ditambah dari nikel, bauksit, timah, emas, dan sebagainya.

Untuk mengisi pundi-pundi APBN, negara mengambil strategi utama penjajah, yakni penerapan pajak besar-besaran.

Di mana, pajak menjadi ciri khas utama kolonial yang diwariskan sampai sekarang di negara-negara yang menganut ideologi kapitalisme, seperti negara welfare state.

Penerimaan pajak negara meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2019, setoran pajak Rp1.332,7 triliun, naik menjadi Rp1.818,2 triliun pada 2023, atau naik 36 persen.

“Pemerintah dan DPR sepakat genjot pajak di segenap usaha yang dijalankan rakyat. Ditambah berbagai pungutan yang yang bersifat memaksa. Demi mengisi pundi-pundi APBN,” kata Salamuddin.

Namun, banyak pengamat menyabut pajak yang dipungut tidak akan mencukupi kebutuhan belanja APBN. Alasannya, orientasi pajak lebih kepada usaha-usaha masyarakat, bukan kepada usaha-usaha yang berkaitan dengan eksploitasi SDA.

Apa buktinya? Setoran pajak untuk produk domestik bruto (PDB) terus menurun. Bahkan boleh dibilang terjun bebas.

Saat ini, penerimaan pajak terhadap PDB berada di bawah 10 persen, tepatnya 9,2 persen terhadap PDB. Atau longsor dibandingkan 2012 yang 11,38 persen dari PDB.

“Artinya, pengerukan SDA yang semakin besar menjadi kontributor utama terhadap GDP Indonesia, tidak diikuti dengan penerimaan pajak atas SDA,” pungkasnya.

 

Back to top button