Market

Neraca Dagang 2022 Tertinggi, Jangan Senang Dulu karena Tidak Normal

Sepanjang 2022, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus US$54,46 miliar. Setara Rp817 triliun. Cukup tinggi, tapi jangan bangga dulu, karena ada yang tak normal.

Direktur Eksekutif Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan bahwa Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang masih mengalami surplus pada tahun 2022 di luar kenormalan. Hal ini mengingat kebanyakan surplus berasal dari perdagangan barang yang disebabkan windfall profit, atau kenaikan harga komoditas. Dampak perang Rusia-Ukraina yang menciptakan hambatan supply chain di tingkat global.

“Kenaikan harga tidak akan bertahan lama. Ini bukan seperti windfall profit atau commodity boom pada 2000-an awal, hingga tahun 2012. Di mana, terjadi lonjakan permintaan yang besar sekali, akibat dari perekonomian Tiongkok yang tumbuh cepat,” kata dia dalam CSIS Media Briefing yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (20/2/2023).

Saat ini, lanjutnya, windfall profit disebabkan disrupsi yang terjadi karena kondisi di Ukraina. Jika semakin lama pengaruh disrupsi kian kecil dan sudah ditemukan alternatif untuk melancarkan perdagangan barang, ungkap Yose, maka harga-harga takkan tinggi lagi yang membuat Indonesia tak bisa menikmati berbagai surplus akibat disrupsi.

Dalam kesempatan tersebut, dia menerangkan pula dua bagian besar dalam neraca pembayaran, yakni neraca berjalan dan neraca finansial. Seandainya neraca berjalan negatif, diusahakan neraca finansial positif, begitu pun sebaliknya.

“Sekarang ini, permasalahannya neraca finansial kita tidak positif, masih negatif. Jadi kalau neraca berjalannya sudah mulai turun positifnya, surplusnya turun, yang di bawah (neraca finansial) masih negatif juga. Nah, itu tentunya tekanan terhadap perekonomian akan menjadi sangat besar,” ungkap Yose.

Biasanya, kondisi ekonomi eksternal Indonesia dalam hal neraca berjalan selalu negatif, tetapi ditutup oleh neraca finansial yang positif. Kini, neraca berjalan positif lebih disebabkan adanya windfall profit.

“Artinya, kalau dia kembali lagi ke kondisi yang lama di mana neraca berjalan akan negatif, sekarang tau-taunya ditambah lagi neraca finansial yang negatif juga. Di sini mungkin yang lebih banyak perannya Bank Indonesia (guna mengatasi persoalan tersebut) dan untuk menghindari capital outflow, bagaimana meningkatkan investasi langsung menjadi kunci,” ucapnya.

Kini, investasi langsung yang masuk Indonesia disebut hanya sebesar 25 persen dan pergi ke industri logam dasar saja. Dalam artian, investasi langsung terlalu terkonsentrasi di satu industri.

“Kalau ini hilang atau investasinya tak lagi masuk Indonesia, akan jadi jauh lagi berbahaya kondisinya, sementara sektor-sektor padat karya tak dapatkan investasi yang cukup. Reform-nya mungkin ke arah sana, bagaimana mendiversifikasi investasi yang ada dengan tentunya memperbaiki iklim investasi yang ada,” ujarnya.

Back to top button