Kanal

Reformasi dan Berantas Korupsi Gagal, Ramalan Ghost Fleet Menuju Kenyataan?


Istilah reformasi banyak digaungkan di era tumbangnya Orde Baru sekitar tahun 1998. Reformasi menjadi narasi yang hampir setiap saat dilontarkan siapapun terutama para aktivis dan politisi kala itu. Kini narasi ini hanya sayup-sayup terdengar dan hilang.

Mungkin anda suka

Reformasi pernah menjadi kata ampuh dan digjaya, disetujui serta diakui semua orang bahkan menjadi ‘jualan’ para politisi atau aktivis saat berorasi. Maklum ketika itu, masyarakat Indonesia membutuhkan perubahan hampir semua sektor dan mendobrak sikap mental para penguasa dengan harapan kondisi bangsa yang lebih baik. 

Situasi perekonomian saat itu terpuruk, terimbas krisis global. Utang menumpuk, nilai mata uang rupiah terseok hingga harga kebutuhan pokok melambung. Belum lagi pengekangan terhadap kebebasan, penegakan hukum yang lemah, korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat masyarakat muak. 

Namun kini narasi reformasi seakan lenyap. Entah karena para tokoh-tokoh reformasi saat ini ibarat iklan mebel jaman jadul, ‘sudah duduk lupa berdiri’, telah merasakan enaknya menikmati kekuasaan sehingga melupakan tujuan awal atau memang reformasi sudah berubah bentuk dan nilai menjadi seperti yang mereka inginkan. Yang jelas bukan karena reformasi sudah tuntas. 

Lihat saja praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih saja terjadi, mulai dari pucuk hingga kekuasaan paling bawah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat hukum lainnya tak pernah nganggur, karena kasus korupsi makin menggejala. Padahal, salah satu tujuan gerakan reformasi adalah Indonesia yang demokratis, terwujudnya kesejahteraan sosial dan terbebas dari praktik KKN.

Di 2023 peringkat penegakan korupsi di Indonesia merosot dari 110 menjadi 115 dari 180 negara. Ini merupakan penurunan paling tinggi sepanjang sejarah reformasi. Bahkan Indonesia masuk jajaran lima besar negara terkorup di ASEAN pada 2023 sesuai laporan Transparency International (TI). 

Pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama bagi reformasi sebuah negara. Hal ini mengingat, korupsi mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui investasi, persaingan, kewirausahaan, efisiensi pemerintah, dan pembentukan sumber daya manusia. Juga berimplikasi penting terhadap berbagai indikator pembangunan ekonomi, seperti kualitas lingkungan, kesehatan dan keselamatan pribadi serta distribusi pendapatan. 

Berkaca dari Korsel dan Malaysia

Dalam kasus reformasi korupsi ini, apa yang terjadi di Korea Selatan bisa menjadi cermin. Pemberantasan korupsi menjadi pilar penting bagi negara itu terutama sejak Presiden Moon Jae-in memenangkan pemilihan presiden pada 2017 dengan slogan “memberantas kejahatan yang mengakar,” dan janji mereformasi lembaga penegak hukum.

Korupsi Indonesia
Data TII menunjukan indeks persepsi korupsi Indonesia stagnan, peringkatnya turun 5 poin. (Foto:Instagram TII)

Rakyat Korsel sedang melalui fase penting dengan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Situasi ini menjadikan Korsel lebih bersih dengan peringkat korupsi naik dari 31 di antara negara-negara OECD pada 2016 menjadi 22 pada 2023. Salah satu katalis bagi peningkatan kinerja Korsel adalah Undang-Undang Larangan Anti-Korupsi dan Suap yang mulai berlaku 2016. 

Berkat reformasi dan pemberantasan korupsi, Korsel telah mengalami salah satu transformasi ekonomi terbesar dalam 60 tahun terakhir. Negara ini bermula dari perekonomian berbasis pertanian pada tahun 1960an, menjadi perekonomian terbesar ke-11 di dunia dalam hal produk domestik bruto (PDB) pada 2016.

Korsel kini menjadi salah satu dari 10 eksportir terbesar di dunia, dan persentase ekspornya terhadap PDB meningkat dari 25,9 persen pada 1995 menjadi 56,3 persen di 2012. Lingkungan bisnis yang kuat mendorong pertumbuhan pasar domestik dan menarik investor asing. Menurut Bank Dunia, Korsel berada di peringkat ke-4 dalam indeks Kemudahan Berbisnis pada 2018, lebih baik dari Amerika Serikat di peringkat ke-6.

Malaysia yang tengah menjalankan reformasi juga mengalami perbaikan dari sisi pemberantasan korupsi. Komisi Anti Korupsi Malaysia (MACC) mengumumkan berhasil memperbaiki kenaikan empat posisi, dari 61 menjadi 57 dari 180 negara. Pengusutan skandal 1MDB meningkatkan posisi Malaysia dalam indikator korupsi. Dalam kasus itu terungkapnya lebih dari US$4 miliar dana pembayar pajak digelapkan melalui dana investasi milik negara, 1Malaysia Development Bhd (1MDB), oleh mantan Perdana Menteri Najib Razak, dan konspirator lainnya.

Pemberantasan Korupsi Mendapat Tantangan

Korupsi yang merajalela menjadi masalah reformasi terbesar di Indonesia. Namun memberantas korupsi tidaklah mudah malah mendapat perlawanan. Lembaga antirasuah terus-menerus mendapat serangan bahkan upaya pelemahan sampai kini masih terjadi. Dari mulai mengubah aturan main, meminta tidak banyak melakukan operasi tangkap tangan hingga menempatkan orang-orang tertentu sebagai komisaris KPK.

Reformasi hukum seperti di Mahkamah Konstitusi (MK) juga tak lepas dari skandal. Sementara pers menghadapi tekanan dari penggunaan undang-undang pencemaran nama baik hingga melemahkan peran lewat aturan-aturan yang membatasinya. Iklim ini memberikan efek ‘mengerikan’ bagi banyak reformis, membuat mereka takut untuk berpendapat.

Belum lagi kebijakan ekonomi membuat dunia usaha dan pekerjanya masih sulit untuk berkembang. Terlepas dari semua retorika tentang keterbukaan terhadap dunia usaha dan reformasi untuk memfasilitasi investasi asing, Indonesia masih sangat proteksionis. 

oligarki
Ilustrasi demokrasi dalam cengkraman oligarki. (Foto: Inilah.com).

“Sekelompok kecil oligarki yang berkuasa secara politik mendominasi perekonomian yang sangat tidak kompetitif dan menjadi ladang ranjau bagi investor asing,” kata Profesor Tim Lindsey, dari Universitas Melbourne, dalam sebuah tulisannya.

Kehidupan ekonomi yang dirasakan semakin sulit juga menguatkan anggapan bahwa reformasi gagal. Kenaikan harga kebutuhan pokok, akhir-akhir ini harga beras, membuat masyarakat semakin tertekan. Lapangan kerja dan peluang usaha makin sulit, tingkat kemiskinan pun tak mau beranjak lebih baik. Di sisi lain kerukunan dan toleransi kian terkikis.

Masih Adakah Semangat Reformasi?

Apakah publik masih percaya dengan reformasi? Terlebih lagi dengan kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih 2024-2029 bersama wakilnya Gibran Rakabuming Raka yang tidak lain adalah putra sulung Presiden Jokowi.

Berat memang, membangkitkan kepercayaan publik jika saja tidak ada terobosan dalam reformasi termasuk pemberantasan korupsi. Peringkat korupsi makin menurun, kepercayaan investor juga surut dan lebih parah lagi sumber daya alam tidak terkelola dengan baik sehingga tidak memberikan manfaat lebih banyak kepada rakyat. Yang ada malah menjadi bancakan pihak-pihak tertentu dan untuk pihak asing.

Jangan sampai tulisan karya pengamat politik dan kebijakan ternama asal AS, Peter Warren Singer dan August Cole dalam novel Ghost Fleet: a Novel of The Next World War yang meramalkan Indonesia Bubar di 2030 menjadi kenyataan. Pernyataan dalam buku yang terbit pertama kali di Amerika Serikat pada 2015 lalu dengan lebih dari 400 halaman itu beberapa kali dikutip Prabowo Subianto. 

Ghost Fleet ini novel, tapi ditulis dua ahli strategi dari Amerika, menggambarkan sebuah skenario perang antara China dan Amerika tahun 2030. Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu. Mereka ramalkan tahun 2030, Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,” kata Prabowo saat acara Partai Gerindra pada 2018 silam.

Reformasi seharusnya menjadi momentum melakukan perubahan mendasar dan tidak menjadi salah arah. Sangat sayang, momentum reformasi menjadi lemah dan tidak amanah yang makin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Reformasi butuh komitmen dan konsistensi mewujudkan tujuan serta tindakan nyata agar tidak sekadar lip service yang bisamenjerumuskan pada negara gagal. 

 

Back to top button