News

Solusi Polusi Udara Jakarta: Garbage In, Garbage Out

Polusi udara adalah masalah laten yang selama ini tak pernah dituntaskan. Solusi yang tepat meniscayakan sikap tegas dan bijak, jauh dari sekadar memenuhi ‘kehumasan’. Kanker tidak bisa diobati hanya dengan obat gosok

“Jika kita bisa mendarat di Bulan, seharusnya kita juga bisa memperbaiki polusi udara kota ini.” Kalimat itu dikatakan Prof. PG Diwakar, guru besar National Institute of Advanced Studies, Kota Bengaluru, India, pada hari kedua dari tiga hari KTT Udara Bersih India-2023, Kamis (24/8/2023). Sehari sebelumnya, Rabu (23/8/2023), India menorehkan sejarah sebagai negara keempat di dunia yang berhasil mendaratkan pesawat di bulan, setelah Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. India malah mencatatkan rekor baru karena pesawatnya, Chandrayaan-3, menda-rat di kutub selatan Bulan yang belum pernah dijelajahi.

Mungkin anda suka

Meski terkesan optimistis, pernyataan Prof Diwakar sejatinya seolah pedang bermata dua. Di satu sisi, India sudah mencapai kemajuan teknologi yang tinggi, yang pasti lebih canggih dibanding solusi teknologi untuk masalah polusi udara. Di sisi lain, kemajuan teknologi India itu tidak mencegahnya menjadi negara kedua terburuk di dunia dalam polusi udara setelah Bangladesh, berdasarkan data Air Quality Life Index (AQLI) yang disusun University of Chicago pada 2020. Tiga tahun berjalan, posisi India dalam lima besar negara dengan polusi udara terburuk pada berbagai pengukuran, masih saja bertahan.

Persoalan yang sama juga dihadapi Indonesia. Bukan hanya dialami Kota Jakarta, dan bukan pula baru sekarang-sekarang ini. Yang baru itu hanya kepanikannya, tercermin dari kebijakan instan yang diambil Pemprov DKI Jakarta. Terhitung Senin, 21 Agustus 2023. Pemprov DKI Jakarta memberlakukan kebijakan work from home (WFH) bagi 50 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungannya, yang dikritik banyak pegiat lingkungan dan pemerhati kebijakan publik.

Asal tahu saja. Pada saat India menjadi negara kedua dengan polusi udara terburuk di dunia, Indonesia juga berada di tempat kesembilan pada 10 besar terburuk. Jakarta dan sekitarnya, menjadi tolok ukur. Di atas Indonesia memang masih ada Bangladesh, India, Pakistan, Mongolia, Afghanistan, Oman, Qatar, dan Kyrgyzstan. Tetapi harap diingat, kitalah satu-satunya negara Asia Tenggara—dengan musim, iklim dan kekhasan geografis berbeda– yang berada di 10 terburuk itu.

India Dilanda Kabut Asap Beracun Usai Perayaan Diwali - inilah.com
India menjadi salah satu negara yang tinggi tingkat polusinya. (Foto:istimewa)

Pada Juli-Agustus 2020 itu banyak orang menyangka bahwa buruknya kualitas udara Jakarta terkait erat dengan fakta bahwa Jakarta pun tergolong kota dengan lalu-lintas paling macet di dunia. Alhasil, banyak orang meyakini bahwa sumber utama polusi udara di Jakarta adalah polutan atau emisi yang dihasilkan padatnya transportasi darat yang hilir-mudik di ibukota. Namun, hasil penelitian saat itu menolak anggapan tersebut.

Berdasarkan laporan yang saat itu diluncurkan lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih/CREA), yang berpusat di Helsinki, Finlandia, pemicu utama yang signifikan dalam pencemaran udara di Jakarta adalah emisi tidak bergerak yang datang dari daerah lintas batas dengan Jakarta.

Banten dan Jawa Barat, berdasarkan analisis CREA, merupakan penyumbang tertinggi emisi ke udara Jakarta. Waktu itu analis CREA, Isabella Suarez, dalam pemaparannya menerangkan, sumber emisi tidak bergerak yang mencemari ruang udara Jakarta itu bisa berasal dari pembangkit listrik batu bara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya. Untuk diketahui, ruang udara Jakarta mencakup area di mana emisi memengaruhi kualitas udara yang luasnya melampaui batas administra-tif Provinsi DKI Jakarta, di antaranya Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi, Puncak dan Cianjur, bahkan meluas hingga Sumatera Selatan, Lampung dan Jawa Tengah.

Menurut Isabella, emisi pencemar udara di Jakarta dan provinsi-provinsi sekitarnya telah meningkat, hingga memperburuk kualitas udara dan menghambat upaya perbaikan kualitas udara Jakarta. Ia menunjuk—saat itu, periode tahun 2017 hingga 2020 sebagai tahun-tahun puncak polusi udara di Jakarta. “Makanya situasi sekarang itu buruk, apalagi jika kita tetap abai,” kata Isabella.

Laporan CREA mencatat, polutan buruk di Jakarta adalah emisi gas Sulfur Dioksida (SO2), gas rumah kaca (NOx), dan partikulat PM 2,5 yang justru ditemukan jauh lebih tinggi di wilayah lintas batas Jakarta. Mereka menjumpai bahwa emisi SO2, NOx, PM 2,5 dari Banten dan Jawa Barat mencapai dua atau bahkan empat kali lipat dibandingkan Jakarta. Isabella menunjuk emisi berbahaya itu sebagian besar disebabkan oleh industri dan pembangkit listrik.

“Dari temuan kami, justru polusi di Jakarta itu berasal dari pembangkit listrik dan sektor industri tinggi di wilayah Serang Banten, maupun Jawa Barat. Bukan dari transportasi wilayah (Jakarta),” kata Isabella dalam diskusi daring “Polusi Lintas Batas: Darimana Asal Kerumunan Gas Beracun di Kota Jakarta?” yang digelar saat pandemi COVID-19, Agustus 2020 itu. CREA bahkan mencatat ada 136 fasilitas industri terdaftar, termasuk pembangkit listrik yang dimasukkannya sebagai penyumbang emisi tinggi di Jakarta, dan berada dalam radius 100 kilometer dari batas administratif ibukota. Fasilitas industri tersebut 16 unit berlokasi di DKI Jakarta, 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, satu di Jawa Tengah dan terakhir di Sumatera Selatan. Yang cukup dramatis, menurut estimasi CREA, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara (PLTU Batu Bara) yang berada dalam radius 100 kilometer dari batas administratif Jakarta itu bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek.

Polusiudara - inilah.com
Ilustrasi. Polusi udara dari cerobong pabrik atau PLTU di kawasan Jakarta, perlu dibenahi. (Foto: Antara).

Versi lain: dari kendaraan

Dengan catatan CREA tersebut, ketika persoalan klasik polusi udara itu kembali mengemuka, wajar bila poin tentang penyebab polusi pun kembali terangkat. Di awal-awal persoalan polusi mengemuka, PLTU berbahan bakar batubara kembali dipersoalkan.

Namun bukan berarti tak ada pikiran pembanding, bahkan yang cenderung menegasi. Misalnya pendapat anggota Dewan Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Pambagio. Sembari menepis anggapan bahwa pembangkitan listrik batubara menjadi penyebab utama polusi udara Jakarta, Agus meyakini sektor transportasi menjadi sumber utama. Menurut dia, banyaknya kendaraan pribadi menjadi kontributor utama dalam buruknya kualitas udara Jakarta.

“Kualitas udara di Ibu Kota telah mencapai tingkat kritis, bahkan menjadi salah satu yang terburuk di dunia,”kata Agus dalam keterangan tertulisnya. Menurut dia, data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata kualitas udara di Jakarta, sesuai dengan peta IQAir, sering tergolong dalam status “tidak sehat”. Ia juga menunjuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan “Statistik Indonesia 2023”, yang mengindikasikan bahwa jumlah kendaraan di DKI Jakarta mencapai 21,8 juta unit pada akhir 2022, dengan penambahan sekitar 1,6 juta unit mobil selama 2020-2022.

“Kendaraan berbahan bakar minyak adalah kontributor utama polusi udara di Jakarta, dengan proporsi sekitar 57 persen total polutan. Dari jumlah tersebut, hampir 98 persen berasal dari kendaraan pribadi yang beroperasi di jalan-jalan kota,”kata Agus, menguraikan.

Baik data CREA maupun pemikiran Agus kita lihat ditopang argumen yang masuk akal. Sayangnya, seperti juga aneka masalah lain dalam kehidupan Indonesia setelah 2014, persoalan polusi udara ini pun tak bisa lepas dari urusan perasaan pribadi dan keberpihakan (politik). Mungkin anak muda sekarang menyebutnya sebagai unsur “baper”.

Hal itu kian matang manakala skeptisisme publik terhadap pemerintah juga relatif berada di titik puncak. Paling tidak terkait aneka manuver untuk menambah waktu berkuasa, atau menunda Pemilu, yang kencang beberapa waktu lalu. Makanya jangan heran bila di media sosial berseliwerannya meme dan konten yang menuding isu polusi udara ini hanyalah bagian dari upaya menunda Pemilu tersebut.

Yang lain, seolah sebuah humor hitam yang getir, ada juga yang mengaitkannya dengan bisnis kendaraan listrik, seiring kontannya niat Pemprov DKI membeli sekian banyak mobil listrik untuk para pejabat dan aparatnya.

Inshot 20230811 102524174 - inilah.com
Petugas Dinas Perhubungan DKI mengendarai kendaraan dinas operasional listrik yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jumat (11/8/2023). (Foto: Antara)

“Kendaraan-kendaraan dinas secara bertahap kita ganti dengan baterai. Contoh Dinas Perhubungan, beberapa ratus motor (yang diganti),”ujar Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Ia mengatakan, penggantian kendaraan itu dilakukan untuk memperbaiki kualitas udara di Ibu Kota yang buruk dalam beberapa waktu terakhir. Heru menyampaikan hal itu usai mengikuti rapat dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan,  untuk membahas masalah kualitas udara Jakarta, Jumat (18/8/2023). “Nanti pegawai DKI eselon empat  ke atas harus menggunakan kendaraan listrik, minimal motor listrik,”kata Heru saat diwawancarai wartawan di kantor Menko Luhut,  usai rapat tersebut.

Garbage in, garbage out

Di publik, wacana polusi udara serta solusi yang diambil pihak-pihak terkait justru mengesankan ketergesaan pengambilan solusi, kalau bukan sikap yang tergolong semberono. Ada kesan kuat, solusi—bahkan beberapa– telah diambil sebelum penyebab munculnya masalah dikenali dan diputuskan lebih bijak.

Misalnya, bukankah penyebab utama polusi udara, apakah PLTU batubara atau kendaraan berbahan bakar fosil, belum ditetapkan lebih pasti? Artinya, bila penyebab utama telah dikenali dan dipastikan, solusi yang lebih fokus pun bisa diambil lebih efektif dan lebih tepat sasaran.

Karena itu, meski tergolong pendukung versi kendaraan bermotor sebagai penyebab utama polisi, Agus Pambagio tidak lantas setuju 100 persen dengan pemberlakuan WFH untuk 50 persen pegawai Pemprov DKI. “Prosedur Standard Operasional (SOP)-nya harus jelas dulu dong,”kata Agus kepada INILAH.Com. “Seperti siapa yang berhak WFH? Apa kriterianya? Bagian apa saja dan bagaimana pengawasannya? Bagaimana menilai Indikator Kinerja Utama atau KPI-nya?Itu harus ada.  Kalau tidak ada standard, itu “asbun” (asal bunyi) nantinya.”

Soal efektivitas WFH, Agus juga mempertanyakan apakah 50 persen karyawan  Pemprov DKI yang menjalani WFH itu biasanya ke kantor naik kendaraan pribadi atau angkatan umum. “Ada nggak datanya itu? Kalau biasanya mereka naik angkutan umum, WFH  50 persen itu tidak akan ada pengaruhnya.”

Soal tidak akan efektifnya WFH, analis kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, sependapat dengan Agus. Tak hanya menyebutnya tidak akan efektif karena tidak tepat, Trubus bahkan menyebut keputusan untuk me-WFH-kan ASN pemprov DKI itu sebagai “panic policy”.

“Itu bagi saya panic policy, karena kebijakan itu (diambil dengan) terburu-buru,  dipaksakan, dan juga tidak jelas maksudnya apa,”kata Trubus kepada INILAH.Com. Trubus sendiri lebih optimistis bila kewajiban uji emisi kendaraan bermotor lebih diperketat. “Selain itu, masyarakat harus dikendalikan mobilitasnya,”kata dia. “Tapi hal ini susah dan perlu biaya banyak.”

Pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terutama isu polusi dan urban, Abdul Ghofar, sama pesimistisnya dengan Agus dan Trubus. Abdul menilai kebijakan WFH Pemprov kurang efektif menekan polusi udara Jakarta. Ia menunjuk tiga hari pertama kebijakan WFH, saat kualitas udara di sebagian besar wilayah Jakarta pun masih saja dalam kategori tidak sehat.

ASN Jakarta Mulai WFH, Pekerjaan Ditambah dan Diawasi Lewat Video Call
Polusi udara menyelimuti gedung pencakar langit dan perumahan di Jakarta. [Inilah.com/Didik]

Baginya itu wajar. Dengan me-WFH-kan 50 persen, kalau pun dijalankan penuh, hal itu hanya akan mengurangi mobilitas sekitar 29 ribu ASN dari total sekitar 58 ribu ASN di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.”Angka itu masih sangat kecil dibandingkan dengan angka mobilitas pekerja Jakarta yang mencapai jutaan orang,”kata Abdul.

Saat ditanya tentang kemungkinan isu polusi didesain dalam upaya menunda Pemilu, Abdul menolak tegas. “Isu polusi udara bukan isu yang sengaja didesain. Berdasarkan catatan advokasi WALHI, buruknya kualitas udara di Jakarta telah terjadi sejak 15 tahun lalu,”kata dia.

Komentar yang lebih mendasar datang dari Direktur Eksekutif Walhi Jakarta,  Suci F Tanjung. Bagi Suci, penggunaan kendaraan listrik tidak akan menyelesaikan masalah polusi udara Jakarta. Suci setuju, secara langsung kendaraan listrik bisa mengurangi polusi. Tetapi persoalannya, bukankah PLTU masih menyumbang emisi yang tinggi? “Energi listrik ini juga secara tidak langsung akan menggunakan listrik yang bersumber dari PLTU-PLTU di sekitar Jakarta, yang sampai hari ini juga masih menyumbang emisi yang tinggi,”kata dia.

Sementara, menurut pengamat ekonomi Bhima Yudhistira Adhinegara, WFH di sisi lain punya risiko menurunkan berbagai indikator ekonomi Jakarta dan sekitarnya. Dengan asumsi WFH tidak hanya dilakukan oleh ASN tapi juga pegawai swasta non-esensial yang berpengaruh terhadap 40 persen pengeluaran rumah tangga di sektor transportasi, ada risiko hilangnya Rp 215,8 triliun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta sepanjang 2023.

“Jika WFH-nya lebih tinggi maka pengaruhnya akan lebih besar lagi. Itu baru dari (sektor) transportasi, dan rekreasi,”kata Bhima.

Mungkin kebijakan yang diambil tanpa pengenalan persoalan itu laiknya terma “garbage in, garbage out (GIGO)” dalam dunia komputasi. Ungkapan yang populer pada masa-masa awal komputasi itu konon bermula pada 1957. Saat itu spesialis komputer Angkatan Darat AS (US Army), William D. Mellin, menjelaskan bahwa komputer tidak dapat berpikir sendiri. Alhasil, input yang diprogram secara sembarangan pasti akan menghasilkan output yang salah.

Dalam kalimat berbeda dan waktu berlainan, hal yang sama pernah dinyatakan seorang jenius, filsuf, ahli mesin abad 18-19 yang meski terdengar anakronistis—menyalahi sejarah–seringkali justru diakui dunia sebagai “Bapak Komputer”, Charles Babbage. Dalam bukunya,”Passages from the Life of a Philosopher” Babbage menulis,”Pada dua kesempatan saya ditanya, “Doakan, Tuan Babbage, jika Anda salah memasukkan angka ke dalam mesin, apakah jawaban yang benar akan keluar?” … (Babbage menulis) Saya tidak dapat memahami bagaimana bingungnya ide yang bisa memicu pertanyaan seperti itu.

Polusi Udara, Jakarta, ISPA, WFH, ASN DKI, Polusi Udara Jakarta, - inilah.com
Warga DKI Jakarta memakai masker guna mencegah polusi udara. (Foto:Inilah.com/Didik)

Yang jelas, polusi udara membawa kita kepada kehidupan yang buruk. Laporan tahunan 2020 mengenai Indeks Kehidupan Berdasarkan Kualitas Udara (Air Quality Life Index atau AQLI), yang disusun pemenang Hadiah Nobel Ekonomi Prof. Milton Friedman, rekannya Michael Greenstone, dan timnya di The Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC), menegaskan itu. Menurut EPIC, partikulat polusi udara terus memangkas harapan hidup masyarakat dunia selama hampir dua tahun. Dengan tingkat polusi udara seperti indeks tahun 2020 itu, jika pencemaran bisa diturunkan sesuai standard WHO, maka warga New Delhi dapat menambah masa harapan hidup hingga sembilan tahun. Hampir 250 juta penduduk di negara bagian Uttar Pradesh saat ini kehilangan harapan hidup rata-rata delapan tahun dibandingkan jika mereka memenuhi standard kualitas udara WHO.

CREA sendiri pada 2020 itu melansir pernyataan bahwa polusi udara masih bertanggung jawab atas kematian prematur sekitar 98.000 orang di dunia, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai 56,5 miliar dollar AS.

Bila saat ini kita terkesan mulai peduli, sebenarnya sejak 2020 Indonesia telah terjerembap dalam masalah. Data Greenpeace, Juli 2020, menyebutkan angka kematian dini akibat polusi udara di Indonesia sejak 1 Januari hingga Juli 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 9.000 jiwa. Kematian dini di Jakarta diperkirakan mencapai 6.100 jiwa, di Surabaya mencapai 1.700 jiwa, di Denpasar sebanyak 410 jiwa, dan di Bandung sebanyak 1.400 jiwa.Dari sisi ekonomi, Greenpeace mencatat total potensi kerugian ekonomi yang dialami oleh empat kota besar di Indonesia. Jakarta potensial rugi Rp 23 triliun atau sekitar 26 persen dari total APBD, Bandung diperkirakan rugi Rp 5,34 triliun, Surabaya Rp 6,35 triliun, dan Denpasar Rp 1,44 triliun.

Sudah pada tempatnya jika pemerintah segera mencari penyelesaian, tidak membiarkan urusan polusi udara ini dipetieskan seperti kesan publik selama ini. [dsy/Rizky Aslendra/Diana Rizky/Mihardi/Reyhanaah]

Back to top button