Hangout

Tradisi Bau Nyale, Festival Unik dari Kerajaan Seger di Lombok

Ditulis oleh: Kanty Atmodjo

Salah satu daerah di Tanah Air yang dikenal memiliki beragam tradisi unik adalah Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Selain terdapat Suku Sasak, suku asli orang Lombok, mereka juga memiliki sebuah tradisi menangkap cacing laut yang begitu populer dan jadi daya tarik wisata.

Tradisi yang telah dijadikan festival tersebut dinamai Bau Nyale, yakni merupakan acara menangkap nyale, yaitu sejenis cacing laut yang dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Suku Sasak di Lombok Selatan setiap tahunnya.

Bau Nyale adalah sebuah perayaan yang berasal dari Legenda Putri Mandalika. Bau dalam bahasa setempat berarti menangkap, sedangkan Nyale adalah sejenis cacing laut berwarna-warni yang hanya muncul setahun sekali di beberapa lokasi tertentu di pantai selatan Pulau Lombok.

Tradisi Bau Nyale merupakan tradisi turun-temurun dan berlangsung dari sebelum 16 abad silam.

Tradisi ini biasanya dilakukan setiap tahunnya pada tanggal 20 bulan kesepuluh, di awal tahun Sasak. Waktu tersebut ditandai dengan terbitnya bintang ‘Rowot’, yang dikaitkan dengan pertanian. 

Menurut perhitungan Suku Sasak, bulan ke-1 dimulai pada 25 Mei dan setiap bulan dihitung 30 hari. Jika dibandingkan dengan tahun Masehi, bulan ke-10 jatuh pada sekitar bulan Februari.

Digelarnya Bau Nyale, diyakini sebagai waktu munculnya Putri Mandalika yang ingin menemui rakyatnya dalam bentuk Nyale.

Sejarah Bau Nyale

Dilansir dari buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia (2019) oleh Fitri Haryani Nasution, dahulu terdapat sebuah kerajaan bernama Seger yang dipimpin oleh raja yang arif dan bijaksana bersama permaisurinya.

Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita yang semasa kecilnya dijuluki “Tojang Beru” atau baru muncul. 

Ketika menginjak dewasa, kecantikan Sang Putri begitu memesona banyak orang. Namanya pun diubah menjadi Putri Mandalika, yaitu putri yang memiliki cahaya kejelitaan. Kecantikannya memikat hati banyak pangeran.

Para pangeran itu pun kemudian berbondong-bondong melamar Sang Putri, namun semuanya ditolak.

Sang Putri khawatir jika menerima salah satu lamaran, maka akan menimbulkan persaingan tidak sehat antara pada pangeran dan menimbulkan peperangan.

Namun, dua orang pangeran di antara mereka sangat bersikeras ingin meminang Sang Putri. Mereka bahkan mengancam akan menghancurkan kerajaan Putri Mandalika jika tidak menerima pinangannya.

festival Tradisi Bau Nyale
Foto: iStock Photo

Sang Putri pun menjadi gundah dan memohon petunjuk pada Sang Kuasa. Hingga akhirnya, ia mendapat petunjuk melalui mimpi.

Sang Putri kemudian memutuskan untuk menceburkan diri ke laut. Sebelum terjun ke laut, Putri Mandalika berseru:

“Wahai Ayahanda dan Ibunda serta semua pangern rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai. Hari ini aku telah menertapan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara pangern. Karena ini takdir yang menghendaki agar aku menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati Bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut”.

Putri Mandalika kemudian menceburkan diri ke laut pada tanggal 20 bulan ke-10 tahun Sasak itu. Sesaat setelah Sang Putri menceburkan diri, munculah binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak, yang kini disebut Nyale.

Wujud Cinta Kasih dari Sang Putri

Turun-temurun, masyarakat begitu mempercayai bahwa binatang cacing laut atau Nyale itu adalah jelmaan Sang Putri.

Mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil binatang Nyale itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai rasa cinta kasih.

Itu karena bagi mereka, berburu Nyale juga mengandung arti memberi keberkahan dari legenda Sang Putri Mandalika yang telah mengorbankan dirinya untuk kedamaian rakyat.

Selama festival Bau Nyale, masyarakat lokal, tidak hanya orang dewasa tapi juga anak-anak, ikut serta berburu Nyale pada malam atau dini hari sebelum matahari terbit.

Bahkan banyak dari mereka yang menginap di sekitar pantai demi bisa berburu Nyale.

Masyarakat Sasak percaya, Nyale memiliki tuah yang bisa mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya, dan keburukan bagi yang meremehkannya. 

Mereka juga meyakini apabila banyak Nyale yang ke luar, maka pertanian mereka akan berhasil.

Biasanya setelah menangkap dan mengumpulan Nyale, masyarakat akan membuang daun bekas pembungkus Nyale ke sawah supaya hasil tanaman padi mereka berlimpah ruah.

Sementara Nyale berwarna-warni yang berhasil mereka dapat akan diolah dan dikonsumsi, karena diketahui mengandung protein tinggi.

Bau Nyale merupakan sebuah festival besar di Lombok. Tak heran kalau kemudian perayaan ini juga diramaikan oleh sejumlah pentas seni dan musik.

Disclaimer: Kanal Penulis Lepas disediakan untuk tujuan informasi umum dan hiburan. Isi dari blog ini hanya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Inilah.com.

Back to top button