News

Sistem Proporsional Tertutup Berpotensi Digunakan pada Pileg 2024

Sistem proporsional tertutup berpotensi untuk kembali diterapkan dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Artinya, saat pemungutan suara pemilih hanya mencoblos gambar partai, bukan lagi nama calon anggota legislatif (Caleg) seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan potensi ini cukup besar, mengingat saat ini gugatan judicial review terhadap sistem proporsional terbuka Pileg 2024, masih berjalan di Mahkamah Konsititusi (MK).

“Sistem Pemilu kita proporsional terbuka sudah dimulai Pemilu 2009. Maka sejak itu Pemilu 2014-2019 pakai proporsional terbuka. Di tahun ini ada kemungkinan proporsional tertutup,” kata Hasyim di Gedung KPU, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/2022).

Hasyim mengaku dirinya sudah sempat hadir dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu di MK berkenaan gugutan sistem proporsional terbuka.

Menurutnya besar potensi MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan oleh sejumlah politisi lintas partai. “Dan JR (judicial review) yang disoal arahnya proporsional tertutup dari pemohon,” jelasnya.

Karenanya, kampanye di ruang terbuka dengan menampilkan wajah para bakal caleg (bacaleg) akan menjadi sia-sia. Sebab, partai politik yang memiliki kewenangan penuh dalam mendelegasikan kandidat anggota legislatif yang hendak didorong ke Senayan. “Tidak relevan jadinya pasang gambar di jalan, enggak ada foto calon, adanya partai politik peserta Pemilu,” ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan, jika MK mengabulkan permohonan sistem proporsional tertutup ini, maka para bacaleg yang tak mengantongi restu partai takkan lolos ke parlemen. “Partainya enggak setuju takkan dijadikan, makanya jangan buru-buru sudah pasang baliho,” pungkasnya.

Diketahui, enam kader partai politik telah melayangkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem proporsional tertutup dalam perhelatan Pemilu Legislatif 2024.

Mereka menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.

“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pihak pemohon sebagaimana dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.

Back to top button