Kanal

Siasat Herzl, Ungsikan Bangsa Yahudi ke Tanah Palestina

Jika seandainya dulu Theodhor Herzl, seorang jurnalis dan seniman Yahudi Austria,tidak terdorong mencari daerah baru untuk memindahkan Kaum Yahudi yang menjadi korban rasis di Eropa ke bumi Palestina, tentu ceritanya akan lain. 

Padahal pencarian daerah baru untuk memindahkan Bangsa Yahudi sudah dilakukan di berbagai daerah, alternatifnya saat itu, wilayah di Zimbagwe atau di Amazon. 

Tetapi tidak ada satupun dari Bangsa Yahudi yang tertarik untuk pindah ke dua wilayah tersebut. Baru, ketika tawarannya diembel-embeli dengan nuansa agama, mereka tertarik. Saat itu, Herzl, seorang jurnalis dan seniman Yahudi Austria, mendirikan Gerakan Zionis pada 1897 mengubah tawaran untuk pindah ke Palestina. Alasannya, sebagai tanah yang dijanjikan dalam Kitab Perjanjian Lama. 

Dengan dukungan Kolonial Inggris, pada 1917, pemerintahan Inggris di bawah Perdana Menteri Arthur James Balfour mengeluarkan “Deklarasi Balfour” yang pada intinya mendukung berdirinya “negara Israel di Palestina”.  Namun curangnya, di sisi lain, Inggris juga menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Arab Palestina jika mau membantunya melawan Turki Usmaniyah dalam Perang Dunia I. Sejak saat itu, tawaran Herzl terbukti manjur yang mampu mendorong orang Yahudi mulai berdatangan ke Palestina.

Walaupun sebenarnya wilayah yang djanjikan sudah milik Bangsa Palestina. Saat itulah konflik berdarah terus terjadi hingga saat ini. Apalagi negara pendukung Israel memanfaatkan negara Timur Tengah yang tidak kompak membela bangsa sesama muslim, hingga sekarang. 

Awalnya, Bangsa Yahudi yang terdesak sejak gerakan Hitler memuliakan Bangsa Arya di Jerman dan negara Eropa lainnya berhasil dipindah ke wilayah Timur Tengah. Jadilah konflik tersebut membawa hingga sekarang.

Sejak tahun berapapun konflik ini terjadi, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengharapkan negara-negara di dunia untuk mendukung Palestina memperjuangkan kedaulatan Palestina sebagai sebuah negara.

Hasanuddin mengharapkan negara-negara di semenanjung Arab harus berperan lebih aktif lewat jalur diplomatik untuk mendorong terwujudnya two-state solution (solusi dua negara) bagi konflik Israel-Palestina, sama seperti sikap politik resmi pemerintah RI. 

“Terlebih lagi, secara geopolitik, negara-negara Arab memiliki posisi dan kepentingan yang lebih strategis untuk mendorong solusi tersebut lewat meja perundingan,” katanya kepada inilah.com, Rabu (11/10/2023).

Awalnya Palestina adalah negara yang berada di Asia Barat antara Laut Tengah dan Sungai Yordan. Dalam lingkup Persatuan Bangsa-Bangsa, kemerdekaan Palestika hanya diakui oleh 150 negara dan 50 negara lainnya tidak mengakuinya. Jadi sebenarnya, sebagian besar negara di dunia termasuk anggota Organisasi Kerja Sama Islam, Liga Arab, Gerakan Nonblok, Perhimbunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara  dan beberapanegara-negara bekas Uni Sovyet telah mengakui keberadaan Palestina sebagai sebuah negara berdaulat.

Wilayah Palestina saat ini terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu wilayah pendudukan Israel dan Otoritas Nasional Palestina. Deklarasi Kemerdekaan Palestina dinyatakan pada 15 November 1988 di Aljir oleh Dewan Nasional Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina.  

Saat perjanjian Balfour dilaksanakan, tercatat sebesar 56.000 Yahudi menatap di Palestina, yang termasuk 8 persen dari penduduk Palestina. Pada September 1918, Inggris menjajah Palestina bagian utara. Pada 1939-1945, Eksodus Yahudi ke Palestina tidak bisa dilepaskan dari tragedi Holokaus yang didengungkan Eropa. Holokaus muncul karena perbuatan Nazi pada Perang Dunia II.

Pada tanggal 14 Mei 1948, Yahudi mendeklarasikan negara Israel.  Pada tahun 1948 tercatat mulai terjadinya Perang Arab-Israel. Selama perang, Israel memperoleh wilayah tambahan karena menang perang. Mesir memperoleh kendali atas Jalur Gaza dan Transyordania mendapatkan kontrol atas Tepi Barat.

Pada bulan Juni 1967, setelah serangkaian manuver  yang dilakukan oleh Presiden Mesir Abdel Gamal Nasser, Israel terlebih dahulu menyerang angkatan udara Mesir dan Suriah, memulai Perang Enam Hari. 

Setelah perang, Israel memperoleh kendali teritorial atas Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir; Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania; dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah. Enam tahun kemudian, dalam apa yang disebut sebagai Perang Yom Kippur atau Perang Oktober, Mesir dan Suriah melancarkan serangan dua arah yang mengejutkan terhadap Israel untuk mendapatkan kembali wilayah mereka yang hilang. 

Namun konflik tersebut tidak menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi Mesir, Israel, atau Suriah, namun Presiden Mesir Anwar al-Sadat menyatakan perang tersebut sebagai kemenangan bagi Mesir karena memungkinkan Mesir dan Suriah untuk bernegosiasi mengenai wilayah yang sebelumnya diserahkan.

Akhirnya, pada tahun 1979, setelah serangkaian gencatan senjata dan negosiasi perdamaian, perwakilan Mesir dan Israel menandatangani Perjanjian Camp David, sebuah perjanjian damai yang mengakhiri konflik tiga puluh tahun antara Mesir dan Israel. 

Dalam hal ini, anggota Komisi I Fraksi PKS, Sukamta menyayangkan dengan setiap perang membuat wilayah Palestina semakin mengecil, hal ini disebabkan perbedaan kekuatan antara negara Palestina dengan Israel sehingga sulit bagi pejuang Palestina mempertahankan setiap jengkal wilayahnya.

Negara-negara Islam dan negara di dunia lebih sibuk mengurusi dalam negerinya. Meletakan permasalahan Palestina-Israel hanya sebatas dukungan moral dan politik. Itu pun tidak benar-benar total disebabkan ketakutan akan tekanan Amerika Serikat dan sekutunya.

“Ini politik dan kita sudah pahami bahwa Yahudi, Israel dan negara-negara selalu menerapkan standar ganda terhadap Palestina,” katanya kepada inilah.com, Rabu (11/10/2023).

Dominasi Amerika Serikat dan sekutunya mulai berkurang dengan masuknya negara-negara di dunia ketiga dalam 10 besar kekuatan militer dunia. Dominasi AS dan sekutu baru puluhan tahun sedangkan kekuasaan itu dipergilirkan.

“Peran dunia Arab dan Indonesia mendorong implementasi dari resolusi PBB mengenai solusi dua negara yang masih jalan di tempat karena selalu di tolak oleh Amerika Serikat. Langkah lain adalah memberikan bantuan kemanusiaan kepada Palestina,” katanya.

Jalur Gaza Bangkit

Pada tahun 1987, ratusan ribu warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza bangkit melawan pemerintah Israel dalam apa yang dikenal sebagai intifada pertama. 

Perjanjian Oslo I tahun 1993   memediasi konflik tersebut, menetapkan kerangka kerja bagi Palestina untuk memerintah diri mereka sendiri di Tepi Barat dan Gaza, dan memungkinkan saling pengakuan antara Otoritas Palestina yang baru dibentuk dan pemerintah Israel. 

Angin segera terjadi pada tahun 1995, saat terbentuk Perjanjian Oslo II memperluas perjanjian pertama. Kesepakatan tersebut menambahkan ketentuan yang mengamanatkan penarikan penuh Israel dari 6 kota dan 450 kota kecil di Tepi Barat. 

Pada tahun 2000, yang sebagian dipicu meluasnya keluhan warga Palestina terhadap kendali Israel atas Tepi Barat, proses perdamaian yang stagnan, dan kunjungan mantan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke masjid al-Aqsa, situs tersuci ketiga dalam Islam. Situasi ini memicu pecahnya pergolakan. Pada bulan September 2000, warga Palestina melancarkan aksinya.  

Muncullah intifada kedua, yang berlangsung hingga tahun 2005. Sebagai tanggapan, pemerintah Israel menyetujui pembangunan  tembok penghalang di sekitar Tepi Barat pada tahun 2002. Meskipun ada tentangan dari Mahkamah Internasional dan Pengadilan Kriminal Internasional. 

Nah, akhirnya pecah faksionalisme di kalangan warga Palestina berkobar ketika Hamas memenangkan pemilihan parlemen Otoritas Palestina pada tahun 2006. Gerakan ini menggulingkan partai mayoritas Fatah yang sudah lama berkuasa. 

Otoritas Semiotonom

Perkembangan ini memberi Hamas, sebuah gerakan politik dan militan yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin Palestina, kendali atas Jalur Gaza. Gaza adalah sebidang tanah kecil di Laut Mediterania yang berbatasan dengan Mesir di selatan dan berada di bawah kekuasaan Otoritas semi-otonom Palestina sejak tahun 1993. Amerika Serikat dan Uni Eropa, antara lain, tidak mengakui kemenangan Hamas dalam pemilu. , karena kelompok tersebut telah dianggap sebagai organisasi teroris oleh pemerintah barat sejak akhir tahun 1990an. 

Setelah perebutan kendali oleh Hamas, kekerasan terjadi antara Hamas dan Fatah. Antara tahun 2006 dan 2011, serangkaian perundingan perdamaian yang gagal dan konfrontasi yang mematikan mencapai puncaknya pada kesepakatan untuk melakukan rekonsiliasi. Fatah membentuk pemerintahan persatuan dengan Hamas pada tahun 2014.

Pada musim panas tahun 2014, bentrokan di wilayah Palestina memicu konfrontasi militer antara militer Israel dan Hamas. Saat itu tercatat Hamas menembakkan hampir tiga ribu roket ke Israel, dan Israel membalas dengan serangan besar-besaran di Gaza. Pertempuran tersebut berakhir pada akhir Agustus 2014 dengan  kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir, namun hanya terjadi setelah 73 warga Israel dan 2.251 warga Palestina terbunuh. 

Setelah gelombang kekerasan antara Israel dan Palestina pada tahun 2015, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dari Fatah  mengumumkan bahwa Palestina tidak lagi terikat oleh pembagian wilayah yang diciptakan oleh Perjanjian Oslo. Pada bulan Maret dan Mei 2018, warga Palestina di Jalur Gaza melakukan demonstrasi mingguan di perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel. 

Protes terakhir bertepatan dengan peringatan tujuh puluh tahun Nakba  , eksodus Palestina yang menyertai kemerdekaan Israel. Meskipun sebagian besar pengunjuk rasa berlangsung damai, beberapa diantaranya menyerbu pagar pembatas dan melemparkan batu serta benda lainnya. 

Fatah dan Hamas Pecah

Menurut PBB, sebanyak 183 demonstran tewas dan lebih dari 6.000 orang terluka akibat peluru tajam. Suasana politik yang tegang mengakibatkan kembalinya perpecahan antara Fatah dan Hamas, dengan partai Fatah pimpinan Mahmoud Abbas mengendalikan Otoritas Palestina dari Tepi Barat dan Hamas secara de facto menguasai Jalur Gaza. 

Hal ini sebagian besar tetap terjadi pada akhir tahun 2010-an dan awal tahun 2020-an. Meskipun Abbas berupaya untuk menyatukan rakyat Palestina di bawah Otoritas Palestina.

Pada bulan Mei 2018, pertempuran kembali terjadi antara Hamas dan IDF yang menjadi periode kekerasan terburuk sejak tahun 2014. Sebelum mencapai gencatan senjata, militan di Gaza menembakkan lebih dari seratus roket ke Israel; Israel  membalasnya dengan serangan terhadap lebih dari lima puluh sasaran di Gaza selama dua puluh empat jam serangan tersebut. 

Pada tahun 2018, pemerintahan Trump merelokasi kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebuah kebalikan dari kebijakan lama AS. Keputusan untuk memindahkan kedutaan AS mendapat tepuk tangan dari para pemimpin Israel tetapi dikutuk oleh para pemimpin Palestina dan negara-negara lain di Timur Tengah dan Eropa. Israel menganggap “Yerusalem yang lengkap dan bersatu” sebagai ibu kotanya.

Sementara Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan. Pada bulan Januari 2020, pemerintahan Trump merilis rencana “Perdamaian untuk Kemakmuran” yang telah lama ditunggu-tunggu.

Namun ditolak oleh Palestina karena dukungannya terhadap aneksasi Israel di masa depan  atas permukiman di Tepi Barat dan kendali atas Yerusalem yang “tidak terbagi”. 

Konflik model baru muncul pada tahun 2021 dengan perselisihan hukum seputar kepemilikan properti, dan pengusiran paksa warga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem. 

Pada akhir April 2021, warga Palestina mulai berdemonstrasi di jalan-jalan Yerusalem untuk memprotes penggusuran yang dialami penduduk Sheikh Jarrah. Pada awal Mei 2021, setelah pengadilan   memutuskan untuk  mendukung penggusuran, protes meluas, dengan polisi Israel mengerahkan kekuatan untuk melawan para demonstran. 

Pada tanggal 7 Mei, setelah berminggu-minggu demonstrasi setiap hari dan meningkatnya ketegangan antara pengunjuk rasa, pemukim Israel, dan polisi selama bulan Ramadhan, kekerasan terjadi di kompleks Masjid al-Aqsa di Yerusalem. Bahkan polisi Israel menggunakan granat kejut, peluru karet, dan peluru karet. meriam air dalam bentrokan dengan pengunjuk rasa yang menyebabkan ratusan warga Palestina terluka. 

post-cover

Dengan pecahnya perang antara Israel dan Hamas yang mengagetkan pada 7 Oktober 2023, pendukung Israel termasuk sekutu AS melabeli Palestina sebagai teroris. Padahal mereka memperjuangkan tanah mereka di negaranya sendiri. Harapan perdamaian juga tidak dapat lagi diharapkan dari Dewan Keamanan PBB yang mengadakan pertemuan darurat untuk membahas kekerasan yang baru terjadi, para anggota gagal mencapai pernyataan konsensus. 

Sikap Indonesia

Pakar Hubungan Internasional (HI) Universitas Indonesia (UI), Shofwan Al Bhana menyebut ada dua hal penyebab Hamas bisa menembus pertahanan Israel pada 7 Oktober lalu.

“Kenapa kemudian bisa terjadi, karena salah satu faktornya adalah agenda ekspansi pemukiman kekuatan militer Israel banyak di tepi Barat sehingga di tepi Selatan, membuka peluang terjadinya serangan itu,” terang Shofwan dalam diskusi bertajuk ‘Peran DPR dalam Upaya Mendukung Berakhirnya Konflik Palestina vs Israel’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (12/10/2023).

“Kedua konflik internal Israel dari kelompok oposisi terhadap (kepemimpinan) Netanyahu, karena perubahan konstitusi sehingga (dia) bisa bebas dalam dakwaan korupsi,” sambungnya.

Selain itu, ia menyatakan serangan Hamas tentu bukan tanpa sebab, terlebih masyarakat harus memahami bahwa Israel telah memulai perang terhadap Palestina sejak 2007. Bahkan beberapa tahun terakhir, Israel sempat mencoba untuk memperluas wilayahnya secara ilegal dan ada paksaan di dalamnya.

“Pemukiman ilegal ini diperluas dengan cara memaksa masuk dan mereka dilindungi oleh aparatur militer Israel,” imbuh dia.

Shofwan Al Bhana melanjutkan proses perundingan untuk prosesi menuju damainya hubungan Israel-Palestina kini sedang mengalami kemandekan, bahkan kemunduran.

“Israel tidak memenuhi perjanjian Oslo, karena memperluas pemukiman dan menerapkan berbagai perlanggaran terhadap hukum internasional sehingga faksi-faksi di Palestina merasa bahwa solusi politik sudah menguap, sudah terkunci oleh Israel yang memiliki kekuatan militer jauh lebih kuat,” terang Shofwan.

Oleh karena itu, Shofwan menegaskan bahwa Indonesia dapat berperan dengan tetap menyerukan, agar kejahatan kemanusiaan ini bisa dihentikan dan dunia internasional diminta mencari solusi politik, untuk menyelesaikan akar masalahnya.

Tak hanya itu, dirinya juga mengingatkan agar DPR dapat menjadi kekuatan penting yang dapat melakukan check and balance secara domestik, yang berhubungan dengan negara-negara lain.

“Dalam jangka panjang adalah menjadikan ini sebagai momentum pelajaran bahwa konflik ini, tidak akan selesai dengan membungkam politik palestina,” imbuh dia. (wahid/diana)

Back to top button