Kanal

Selfie Bisa Jadi Endemi Baru

Selfie seperti sudah menjadi fenomena sosial yang membooming seiring munculnya media sosial. Banyak yang menilai selfie sebagai sebuah seni, ada pula yang melihatnya sebagai sinyal kepribadian narsistik hingga menandakan kondisi kesehatan yang berbahaya.

Beberapa orang melakukan selfie atau swafoto untuk dibagikan di media sosial yang seringkali berbahaya dan tidak mempedulikan keselamatan jiwanya. Satu studi menemukan 379 orang di seluruh dunia terbunuh karena selfie antara tahun 2008 dan 2021, bahkan lebih banyak lagi yang terluka. Insiden lebih mungkin terjadi pada orang dewasa muda, terutama laki-laki.

Sementara tim peneliti All India Institute of Medical Sciences yang berbasis di New Delhi, menemukan lebih dari 259 kasus orang tewas di seluruh dunia karena selfie selama enam tahun terakhir. Penelitian itu dianalisis dari 259 berita yang berhubungan dengan kematian karena selfie sejak Oktober 2011 hingga November 2018.

Dari 259 kematian karena selfie, peneliti menemukan penyebab utamanya yaitu tenggelam, diikuti insiden yang melibatkan transportasi, misalnya, mengambil selfie di depan kereta dan jatuh dari ketinggian. Adapun penyebab lain kematian yang terkait selfie karena senjata api dan listrik.

“Kematian karena selfie telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar,” kata Agam Bansal, penulis utama penelitian tersebut, mengutip The Washington Post.

Di Indonesia, beberapa hari lalu, seorang perempuan di Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ditemukan tewas dengan kondisi leher menggantung di sebuah tali. Korban berinisial W (21 tahun) itu tewas saat membuat konten candaan gantung diri di hadapan teman-temannya via video call.

“Dari keterangan saksi, dia (korban W) itu lagi bikin konten gantung diri, gitu,” kata Kapolsek Leuwiliang Kompol Agus Supriyanto, Jumat (3/3/2023).

Peristiwa tersebut terjadi ketika W sedang melakukan panggilan video dengan teman-temannya. Kepada teman-temannya, W sempat menyebut hendak membuat konten gantung diri, dengan kain melilit di leher.

“Saat itu sambil video call sama temen-temennya, korban mengatakan ‘mau live nih, gue mau bikin konten ah’, tahu-tahu kursinya yang dipakai buat pijakan di bawah itu terpeleset, jadi beneran gantung diri,” terang Agus.

Keesokan harinya Sabtu (4/3/2023), wisatawan asal India, Abhishek Bathia, tewas usai terjatuh dari tebing setinggi 40 meter di kawasan Pantai Broken Beach, Desa Bunga Mekar, Nusa Penida, Bali, Sabtu (4/3/2023). Korban tengah berlibur di Pulau Nusa Penida bersama sejumlah rekannya. Korban yang saat itu hendak ber-selfie-ria di bibir tebing tiba-tiba terperosok hingga terjatuh.

Proses evakuasi jenazah korban berlangsung dramatis. Tim Basarnas dibantu TNI-Polri dan warga mengevakuasi jenazah korban menggunakan tali tambang secara bergotong royong. Mereka berusaha menarik jasad dari dasar tebing.

Masih banyak lagi sebelumnya peristiwa yang menyebabkan pelaku selfie harus meregang nyawa. Lebih banyak lagi pelaku selfie yang mengalami luka-luka akibat aksinya ingin tampil hebat di media sosial.

Dianggap tindakan bodoh dan ceroboh

Terhadap korban selfie ini, alih-alih berempati pada korban, kebanyakan orang justru mencibir. Sebagian menganggap kelakuan seperti itu adalah tindakan bodoh dan ceroboh, hanya demi popularitas di media sosial.

Melihat fenomena ini kita perlu memperlakukan selfie yang berbahaya sebagai bahaya kesehatan masyarakat yang sebenarnya. Bahkan mengingat semakin banyaknya memakan korban, beberapa pakar menyebut kematian akibat selfie kini menjadi endemi baru.

Banyak dari pelancong atau turis di beberapa negara terluka atau terbunuh saat selfie seringkali berada di lokasi yang sangat sulit diakses oleh layanan darurat. Tak heran para pengamat telah menyerukan untuk pengenalan zona larangan selfie di sekitar hotspot, seperti gedung-gedung tinggi atau lokasi wisata berbahaya. Otoritas Rusia dan India telah memperkenalkan cara ini. Bahkan Rusia telah meluncurkan panduan cara selfie yang aman. Tetapi tidak jelas seberapa efektif strategi ini.

Media sering menggambarkan orang yang terlibat dalam insiden selfie sebagai orang bodoh atau egois. Ini tampaknya mengkonfirmasi penelitian tiga peneliti University of New South Wales (UNSW) Sydney yakni Samuel Cornell, Amy Peden dan Rob Brander yang menunjukkan laporan media sering kali menyalahkan korban. Laporan hampir tidak pernah memberikan informasi keselamatan.

“Berfoto selfie adalah bagian normal dari kehidupan sehari-hari bagi jutaan orang. Kita harus berhenti menilai orang yang mengambil selfie berisiko seperti itu. Malah seharusnya melihat selfie berisiko sebagai masalah kesehatan masyarakat,” kata Samuel Cornell, dalam tulisannya di The Conversation.

Masalah kesehatan pada selfie ini mirip dengan aktivitas lain yang dilihat sebagai bahaya kesehatan. Seperti mengemudi tanpa sabuk pengaman, mengendarai sepeda tanpa helm, merokok atau konsumsi alkohol berlebihan.

“Ini semua adalah contoh yang dulu dianggap ‘normal’, yang sekarang kita anggap berisiko. Mengambil selfie berbahaya perlu ditambahkan ke daftar itu,” ungkapnya.

Jadi masalah kesehatan serius

Dengan memikirkan selfie ini sebagai masalah kesehatan masyarakat, orang akan beralih dari menyalahkan korban dan sebagai gantinya perlu mengomunikasikan risiko secara efektif kepada orang-orang yang hobi selfie. Semua pihak perlu mengomunikasikan pesan keselamatan dengan lebih baik kepada para pelaku selfie.

Ketiga peneliti ini menyarankan beberapa tips agar aman saat selfie di alam terbuka. Pertama, perhatikan cuaca dan kondisi air. Kondisi cuaca dan pesisir dapat berubah dengan cepat. Cuaca dan ombak mungkin seperti bersahabat saat Anda memulai selfie, namun bisa berubah menjadi berbahaya karena perubahan kilim. Hindari cuaca buruk, dan awasi kondisi pasang surut dan gelombang.

Kedua, jangan abaikan rambu keselamatan dan penghalang fisik. Tanda peringatan ada untuk memberikan informasi keselamatan jiwa. Perhatikan tanda-tanda dan perhatikan nasihat para petugas. Jangan melompat atau melewati penghalang fisik apa pun yang memblokir akses.

Ketiga, tetap di jalur yang ditentukan. Tetap di jalur dan jalan setapak adalah yang paling aman dan juga sangat menguntungkan ekosistem yang rapuh.

Keempat, jangan terlalu dekat dengan tepi. Waspadai tepi yang runtuh. Jangan percayai tepi tebing dan waspadai tanah yang tidak stabil. Tepi tebing secara alami terkikis apalagi dengan tambahan berat badan Anda.

Kelima, tidak ada jumlah ‘like‘ yang sepadan dengan hidup Anda. Pertimbangkan motivasi Anda untuk berfoto selfie dan menggunakan media sosial. Studi menunjukkan menghabiskan waktu di alam baik untuk kesehatan kita. Tapi dunia terlihat lebih baik jika tidak dilihat melalui layar di media sosial.

Back to top button