Market

Selalu Boncos, DPR Ungkap Kelemahan PT Garuda Indonesia

Anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN, Amin AK mengatakan inefisiensi bisnis di tubuh PT Garuda Indonesia menjadi faktor utama yang membuat maskapai tersebut selalu merugi dan nyaris bangkrut.

Ia mencontohkan, dalam laporan keuangan Garuda tahun 2017 dan 2018, pendapatan Garuda naik menjadi US$ 4.373 miliar. Namun beban operasional juga naik menjadi US$ 4, 579 miliar.

“Yang sangat mungkin disebabkan ada kepentingan di luar bisnis Garuda termasuk perilaku moral hazard. Inefisiensi terlihat dari beban operasional yang lebih besar dibandingkan pendapatan,” ujar Amin kepada inilah.com di Jakarta, Rabu (23/8/2023)

Menurut Politikus PKS ini, masalah tersebut sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Bahkan, hasil investihasi Kementerian BUMN menunjukkan bahwa cost structure atau struktur biayanya jauh melebihi dari maskapai-maskapai sejenis.

“Salah satu biang kerok kerugian Garuda Indonesia adalah kesepakatan harga pesawat dari perusahaan lessor,” kata Amin.

Selain itu, ia menjelaskan, PT Garuda Indonesia juga menyewa pesawat terlalu banyak, namun tak diimbangi dengan okupansi penumpang yang mencukupi. Pembelian pesawat sangat berkaitan dengan kepentingan memperkaya diri sejumlah manajemen PT Garuda Indonesia.

“Di sinilah kepentingan yang saya maksud, karena belakangan diduga ada praktik moral hazard oleh manajemen Garuda, yakni praktik rente dan mark up dari perjanjian sewa pesawat dan atau pembelian pesawat,” jelasnya.

Pemilihan rute, lanjut Amin, juga tidak menguntungkan Garuda secara bisnis. Bukan tanpa alasan, menurut dia, pertimbangan politik lah yang membuat Garuda memilih sejumlah rute ‘kurus’ sehingga membebani cost operational.

“Pada saat yang sama, pada rute-rute ” Gemuk” terutama di dalam negeri, Garuda kalah bersaing dari maskapai yang menerapkan strategi low cost carrier (LCC),” ujarnya.

“Dalam layanan akomodasi awak pesawat yang bertugas misalnya, maskapai LCC ada yang menggunakan fasilitas hotel milik grup perusahaan maskapai, atau kota tujuan penerbangan disesuaikan dengan domisili awak, sehingga mereka tidak memerlukan hotel saat tidak bertugas,” tambahnya.

Amin menilai rencana merger PT Garuda, Citilink, dan Pelita Air ibaratkan orang sakit kepala yang dikasih obat sakit perut. Meskipun, Pelita Air dan Citilink merupakan perusahaan sehat. Namun karakteristik bisnis yang berbeda membuat merger ini kurang tepat.

“Selain itu Garuda adalah flag air yang mewakili kehadiran negara dalam industri penerbangan. Mengapa pemerintah tidak berani mereformasi struktur bisnis dan SDM Garuda secara radikal, agar kondisinya lebih sehat dan efisien,” tuturnya.

Ia menambahkan, PT Garuda Indonesia harus membereskan akar masalahnya. Antara lain korupsi dan inefisiensi rute serta memperbaiki kinerja manajemennya di semua level dan juga di kantor cabang di daerah.

“Garuda harus dipertahankan sebagai carrier flag nasional, namun membutuhkan overhaul (pemeriksaan) agar benar-benar sehat. Termasuk intervensi dari kepentingan elit politik dan pemerintahan,” katanya.

Back to top button