Market

Sejak Dibangun Banyak Masalah, KCJB Ganti Nama Jadi Kereta Whoosh

Mulai 1 Oktober, Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang kini dinamai Kereta Whoosh, beroperasi. Proyek ini selalu disorot karena banyak masalah. Pembangunannya molor, biaya bengkak hingga utang China.

Tujuh tahun lalu, tepatnya 21 Januari 2016, Presiden Jokowi melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek kereta cepat di Walini, Bandung Barat, Jawa Barat.  

Menariknya, Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan yang dikenal sebagai pelopor kereta api modern Indonesia, tak hadir. Ternyata, Jonan, sejak awal memang tidak setuju dengan proyek mercusuar Jokowi ini.

Banyak alasan yang mendasari pandangan dari mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero/KAI) itu. Misalmnya soal jarak Jakarta-Bandung yang hanya 142,5 kilometer, terlalu pendek untuk kereta cepat.

Bayangkan saja, tiap 5 menit, kereta yang kecepatannya 350 kilometer/jam itu, sudah tiba di stasiun.

Bisa dibayangkan, kereta cepat ini, jalannya tidak akan ‘satset’. Kecepatannya tidak akan digeber maksimum. Ibarat mobil, rem dan pedal gas, akan lebih sering digunakan. Artinya, bakal boros suku cadang.

Selain itu, Jonan mendorong agar pembangunan kereta api fokus di luar Pulau Jawa. Lebih cocok dibangun di  Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Jonan menolak untuk menerbitkan izin trase pembangunan Kereta Whoosh ini. Alasannya, masih ada beberapa regulasi yang belum dipenuhi, terutama terkait masa konsesi.

Barulah pada 12 Januari 2016, Jonan meneken izin trase atau rute kereta api cepat itu. Tentunya ada ‘sesuatu’ yang membuat Jonan berubah. Karena, Jonan dikenal sebagai menteri yang out of the box, berani dan tegas. Bisa jadi ada kekuatan besar yang membuatnya belok.

Kala itu, Menteri BUMN Rini S Soemarno yang paling ngotot menggandeng China untuk menggarap proyek ini. Tentu saja, atas persetujuan Presiden Jokowi. Kini, Rini Soemarno tak terdengar kabarnya, padahal, proyek kereta sudah mau berangkat.

Kembali ke soal Jonan, meski belok, tapi Jonan tetap saja Jonan. Akalnya sejuta untuk Indonesia. Dia akhirnya setujui izin trase tapi dengan syarat. Waktu konsesi palimg lama 50 tahun.

Setelah konsesi habis, kereta cepat Jakarta-Bandung harus diserahkan kepada negara. Tanpa ada utang, dan dalam kondisi yang layak operasi. Ini yang penting.

Kelasnya jelas berbeda dengan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi. Di tangan Menhub Budi, izin konsesi kereta cepat memanjang menjadi 80 tahun.

Proyek Molor dan Anggaran Bengkak 

Dalam perjalanan, biaya proyek kereta cepat ‘made in’ China ini pun, terus membengkak. Dalam proposal, China terpilih dengan penawaran biaya US$5,13 miliar. Atau setara  Rp76,95 triliun (kurs Rp15.000/US$).

China pun tidak menuntut adanya jaminan dari pemerintah atau pembiayaan dari APBN.  Untuk pembangunannya, Bank Pembangunan China atau China Development Bank (CDB) siap menggelontorkan utang tenor 50 tahun dengan bunga 2 persen.

Tawaran ini, membuat pemerintahan Jokowi goyang. Apalagi, tawaran Jepang, harganya lebih tinggi yakni US$6,2 miliar.  Dan, jepang meminta adanya jaminan dari pemerintah dan pembiayaan dari APBN.

Saat dijalankan, proposal China itu banyak melesetnya. Misalnya soal biaya bengkak dari US$5,3 miliar menjadi US$6,07 miliar. Atau setara Rp91,05 triliun.

Demikian pula dengan target 3 tahun kelar yang dijanjikan China, meleset juga. Pada September 2020, progres proyek ini baru 60 persen. mau tak mau, target operasional kereta cepat molor menjadi Desember 2022.

Pada 6 Oktober 2021, Presiden Jokowi seperti mempermalukan diri sendiri dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Sebagai pengganti Perpres 107 Tahun 2015. Di mana, Perpres 93 membuka pendanaan proyek kereta cepat dari APBN.

Beleid ini menganulir Perpres 107 yang menyebut bahwa proyek kereta cepat hanya business to business, tak melibatkan APBN. Di bagian ini merupakan ‘tamparan’ bagi Jokowi.

Dan, biaya proyek kereta cepat sesuai proposal sebesar US$5,3 miliar, tiba-tiba bengkak menjadi US$6,07 miliar. Atau setara Rp91,05 triliun.

Waktu terus berjalan, proyek kereta cepat mendapat banyak sorotan. Mulai soal banyaknya kecelakaan serta pekerja China yang lalu lalang di proyek ini. Yang paling krusial adalah, proyek ini selalu molor.

Ibarat kata, proyek kereta cepat yang tidak cepat penggarapannya. Rencana operasional Desember 2022, mundur ke Juli 2023. Kemudian mundur lagi ke Agustus 2023. Dan, Agustus yang ditunggu-tunggu molor lagi ke Oktober.

Molornya proyek ini juga aneh. Secara keuangan, tidak ada masalah. Bahkan, biaya pembangunan kereta cepat China di Indonesia ini, masuk kelompok yang mahal di dunia.

Riset Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), mengacu kepada studi Bank Dunia yang terbit pada 2014. Menyebut bahwa pembangunan kereta cepat di dunia yang dilakukan China, biayanya bervariasi.

Kisarannya, untuk kereta cepat di China sebesar US$17 juta-US$21 juta per kilometer, Eropa US$25 juta-US$39 juta per kilometer, dan California sebesar US$56 juta per kilometer.

Sedangkan biaya kereta cepat di Indonesia mengalami kenaikan dari US$6,07 miliar menjadi US$8 miliar. Dan, jarak Jakarta-Bandung sepanjang 142,5 kilometer.

Di awal proyek, ketika biayanya dipatok US$6,07 miliar, maka biaya kereta cepat Jakarta-Bandung US$42,6 juta/kilometer. Setelah bengkak menjadi sekitar US$8,1 miliar maka biayanya US$56,8 juta/kilometer. Mahal kan.

Ketika proyek ini hampir rampung, masalah klasik muncul lagi. Biayanya bengkak US$1,2 miliar atau setara Rp18 triliun. Gede juga kan. Alasannya juga klasik, harga lahan naik.

Nah, dari bengkak biaya atau bahasa kerennya cost overrun, jatah yang harus ditanggung Indonesia sebesar US$560 juta. Atau setara Rp8,3 triliun. Yang setara anggaran bansos beras 2023 untuk  21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM).

Untuk menambal bengkaknya biaya proyek kereta cepat ini, pemerintah ngutang ke Bank Pembangunan China (China Development Bank/CDB). Dengan bunga cukup tinggi yakni 3,4 persen per tahun.

Yang bikin gaduh, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, pada 31 Agustus 2023. Sejak saat itulah, utang China dijamin oleh APBN.

Pro-kontra mulai muncul. Kubu kontra menuding Sri Mulyani sama saja dengan menggadaikan APBN ke China. Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo buru-buru membantahnya.

Dia bilang, PMK Nomor 89 Tahun 2023 hanya penjaminan biasa. Pemerintah sudah biasa memberikan penjaminan proyek infrastruktur.

“Lalu masalahnya di mana? Tidak ada. Selama ini dijamin aman karena tata kelola dan manajemen risiko sangat dijaga. Yang bermasalah itu pikiran jorok, seolah APBN digadaikan ke China!,” kata Yustinus, dikutip dari akun X yakni @prastow, Sabtu (23/9/2023).

Rasa-rasanya, rakyat juga sudah capek dijelali polemik kereta cepat. Tinggal menunggu saja, respons mereka. Kalau penumpangnya ramai, Alhamdulillah, bisa bayar utang. Tapi kalau sepi, ya tinggal tunggu bangkrut.  

Back to top button