Market

Langgar Aturan, DPR Sesalkan Bank Himbara Wajibkan Agunan Saat Salurkan KUR Maksimal Rp100 Juta

Komisi VI DPR menyayangkan kalangan bank BUMN yang masih meminta agunan dalam pengucuran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Padahal syarat tersebut dinilai memberatkan bagi para pelaku UMKM yang ingin mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bawah Rp100 juta.

Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta memberikan catatan kepada bank yang tergabung dalam Perhimpunan Bank Negara (Himbara) di Provinsi Bali.  “Yang menjadi catatan kurang baik, satu sesungguhnya KUR di bawah Rp100 juta itu tidak perlu ada agunan. Dua, peraturan menteri telah menyampaikan itu, yang (nomor) 1 tahun 2022 maupun (nomor) 1 tahun 2023,” ujar Nyoman seperti mengutip saat Kunjungan Kerja Reses Komisi VI di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Senin (9/10/2023).

Sebab dari fakta di lapangan, jelas dia, pengajuan kredit UMKM masih dikenakan syawat wajib memberikan agunan. “Itu tidak boleh dilakukan, dan itu bisa dikenakan sanksi bagi penyalur KUR yang masih menggunakan agunan untuk kredit sampai Rp100 juta,” jelas dia.

Nyoman menerima aspirasi dari masyarakat dengan sikap Bank BRI masih meminta agunan kepada nasabah UMKM saat akan melakukan peminjaman KUR. Menurut dia, seharusnya, hal ini tidak boleh dilakukan Bank Himbara dan penyalur KUR.

“Harusnya dikenakan sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2023, penyalur KUR itu dikenakan sanksi. Kalau menurut saya, sanksi yang harus diberikan di tingkat kepala unit bukan kepada para pemasar. Kasihan mereka itu, mereka melakukan itu kan karena pasti perintah kepala unit,” imbuh dia.

Syarat Wajib Saldo Minimal
Adapun fakta kedua, lanjut Parta, yakni berkaitan mengenai persoalan kewajiban adanya saldo yang disisakan di rekening penerima transfer KUR tersebut (dana mengendap). Ia mendapat laporan beberapa pelaku UMKM yang ingin melakukan pinjaman KUR di Bank BRI, menyampaikan harus ada uang yang diendapkan.

Sehingga, tidak boleh semua pinjaman KUR itu ditarik sepenuhnya dari rekening. “Ketika nasabah meminjam KUR, uangnya diendapkan di bank yang bersangkutan. Cuman masalahnya sangat beragam, ada yang pinjamannya kecil tapi endapannya banyak, ada yang pinjamannya besar endapannya kecil. Jadi standarnya tidak jelas,” tutur Nyoman.

Persoalan ini, menurutnya, menjadi penting karena bagi beberapa pelaku UMKM, sejumlah uang tersebut dapat digunakan sebagai tambahan modal.

“Karena uang yang diendapkan itu misalnya bisa diberikan bahan baku. Kalau dia pelihara ternak bisa dibelikan bibit ternak, kalau dia dipakai untuk bertani bisa diberikan pupuk dan lain sebagainya,” jelas dia.

Oleh karena itu, ia menilai BRI perlu berbenah diri dengan meningkatkan lagi kualitas pemasar serta membuat standar baku terkait dengan jumlah besaran endapan yang menjadi persyaratan.

“Oleh karena itu Bank Himbara harus menjelaskan dengan baik untuk apa uang itu diendapkan? Standarnya berapa? Apakah satu kali, apakah dua kali? Masa sampai lima kali, angsuran orang diendapkan? Tentu merugikan nasabah,” tegasnya.

Di samping itu, sistem standar mengenai jumlah endapan bagi pelaku UMKM yang mengajukan KUR ini juga antarunit harus diseragamkan.

“Karena antarkepala unit beda-beda. Tapi di tempat lainnya enggak berani dia pidato di depan itu. Artinya ada ada kejadian-kejadian yang tidak seragam padahal satu induk,” ucap Nyoman.
 

Back to top button