News

Satu Keluarga Bunuh Diri, Utang Menyebabkan Nyeri pada Jiwa


Satu keluarga yang terdiri dari empat orang, diduga kuat bunuh diri dengan melompat dari Apartemen Teluk Intan Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (9/3/2024). Diduga keluarga ini kesulitan membayar utang. Fenomena bunuh diri saat ini makin membesar.

Korban diidentifikasi satu keluarga yakni AE dan AIL sebagai pasangan suami-istri, serta dua anak mereka lelaki berinisial JWA (13) dan perempuan JL (16). “Persiapan itu terlihat dari gerak gerik mereka di CCTV sebelum melakukan aksi bunuh diri,” kata Kapolsek Metro Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya di Jakarta, Sabtu (9/3/2023).

Jeratan utang diduga jadi salah satu motif keluarga bunuh diri ini. Kesaksian dari penghuni apartemen tetangganya, beberapa hari sebelum kejadian, korban pernah terlihat didatangi penagih utang. Ada juga kabar yang menyebut bahwa istri kobran, AIL, sempat meminjam uang kepada penghuni lain apartemen.

Keluarga korban diketahui sempat membuka usaha jualan bahan kebutuhan pokok. Namun saat pandemi COVID, usahanya gulung tikar dan mulai meminjam uang. Unit apartemen yang sebelumnya ditinggali korban bersama istri dan anak-anaknya, juga sudah setahun tidak ditempati.

Polisi belum berani menyimpulkan terkait motif korban melakukan bunuh diri. Menurut dia, hal ini masih perlu didalami oleh penyidik, termasuk soal utang-piutang. “Masih didalami. Saya belum sampai pada kesimpulan itu,” tambah Kompol Agus Ady Wijaya.

Utang dan Stres Seperti Saudara Kembar

Apakah utang menyebabkan penyakit mental, atau apakah penyakit mental menyebabkan utang? Utang telah lama menjadi masalah bagi banyak orang. Ketegangan emosional berurusan dengan uang bisa sangat merusak menyebabkan peningkatan besar dalam stres, kemarahan, depresi dan kecemasan. 

Hanya memikirkan prospek ketidakamanan finansial saja sudah cukup untuk menambah rasa sakit. Orang-orang melaporkan merasakan sakit fisik hampir dua kali lipat setelah mengingat masa-masa yang tidak stabil secara finansial dalam hidup mereka dibandingkan dengan mereka yang memikirkan masa aman.

Utang mendatangkan malapetaka emosional pada jiwa. Di antara efek negatifnya adalah harga diri rendah dan gangguan fungsi kognitif. Itu berarti Anda tidak dapat belajar, mengingat, memperhatikan atau menyelesaikan masalah dengan baik ketika sedang stres karena tidak dapat membayar tagihan-tagihan.

Utang dan stres seperti saudara kembar yang bersatu. Stres mungkin sulit untuk didefinisikan, tetapi ia memanifestasikan dirinya dengan cara yang jelas. Misalnya mengalami kurang tidur, kehilangan fokus, dan kekhawatiran yang mengganggu. Ketika seseorang mendapat tagihan atau pemberitahuan pembayaran terlambat tidak hanya membuat tidak nyaman, tetapi juga membuat Anda berdebar kencang, sesak napas, mulut kering, sakit kepala, dan gemetar. Efek fisiologisnya dapat menyebabkan migrain, penyakit jantung, dan mengurangi daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Stres akibat utang dapat menyebabkan stres kronis, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol serta meningkatkan angka bunuh diri. Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2021 di American Journal of Epidemiology menyimpulkan bahwa orang yang berada di bawah tekanan keuangan akut 20 kali lebih mungkin untuk berusaha mengakhiri hidup mereka.

Fenomena Bunuh Diri Makin Besar

Mengutip laman resmi Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), terdapat 670 jumlah kasus bunuh diri yang resmi dilaporkan. Selain itu, terdapat lebih dari 303 persen kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan, data tersebut diperoleh berdasarkan perbandingan data kepolisian dan Sample Registry System (SRS) di Kementerian Kesehatan.

Merujuk data SRS pada 2018, yang sudah disesuaikan dengan estimasi kelengkapan survei 55%, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 1,12 per 100.000 penduduk. Kalau melihat data Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia pada 2018 adalah 267,1 juta jiwa. Ini berarti ada 2.992 kematian akibat bunuh diri di tahun tersebut.

Bunuh diri juga menjadi fenomena global, yang sudah menjadi perhatian World Health Organization (WHO). WHO mengumumkan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.

Di Jepang, pemerintahnya tengah berjuang mengatasi krisis kesehatan mental. Bayangkan saja, ketika virus corona merajalela, lebih banyak orang meninggal dalam satu bulan karena bunuh diri ketimbang COVID-19 sepanjang tahun. Badan Kepolisian Nasional Jepang mengatakan angka bunuh diri melonjak menjadi 2.153 pada Oktober 2021 saja, dengan lebih dari 17.000 orang bunuh diri sepanjang tahun ini.

Lalu apa yang mendorong keinginan bunuh diri? Sebenarnya sangat banyak. Tema besar dari bunuh diri menurut Edwin S. Shneidman dalam bukunya The Suicidal Mind adalah Psychache, atau gampangnya, ‘nyeri pada jiwa’. Nyeri ini baru terungkap jika korban bicara secara terbuka, jika kita mendengarkan tanpa penghakiman, lepas dari asumsi, lepas dari stigma. 

Nyeri pada jiwa, awalnya mungkin tidak terlihat. Namun seiring waktu, membesar, menguat, menetap dan tidak mau pergi, kehidupan pun menjadi taruhannya. Pemahaman akan adanya rasa sakit di balik pikiran/tindakan bunuh diri ini penting. Seseorang tidak serta merta ingin mengakhiri hidupnya, kecuali jika rasa sakitnya terlalu dalam. Artinya sebenarnya dia ingin mengakhiri rasa sakitnya bukan ingin mengakhiri hidupnya. 

Back to top button