News

Sanggah McDonald’s Israel, McDonald’s Negara-negara Arab Janjikan 3 Juta Dolar AS untuk Gaza

Waralaba McDonald’s di negara-negara Muslim di Timur Tengah, menentang keputusan McDonald’s Israel yang memberikan makanan gratis untuk militer Israel seiring perang. McDonald’s Arab Saudi, Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Bahrain dan Turki menentang mitra mereka di Israel, dan secara kolektif menjanjikan lebih dari 3 juta dolar AS  untuk mendukung warga Palestina yang dibombardir di Gaza.

Pada 1996, wartawan cum kolumnis pemenang Hadiah Pulitzer, Thomas Friedman, mengemukakan apa yang kemudian dikenal sebagai Teori Pencegahan Konflik Golden Arches. Isinya, gagasan bahwa tidak ada dua negara pemilik waralaba McDonald’s yang pernah berperang satu sama lain. “Masyarakat di negara-negara McDonald’s,” katanya Friedman, “tidak suka berperang. Mereka lebih suka mengantre untuk membeli burger”. Dan “Negara-negara dengan kelas menengah yang cukup besar untuk mempertahankan McDonald’s, telah mencapai tingkat kemakmuran dan integrasi global yang menjadikan penghasut perang yang berisiko, tidak disukai. “

Meskipun gagasan Friedman terkesan main-main dan tidak untuk dipahami secara harfiah, gagasan tersebut sempat menggelinding, meski tak luput dari kritik. Tetapi sejak pecahnya perang Ukraina-Rusia akibat invasi Putin ke negara itu, ‘teori’ itu perlahan luruh. Kolumnis Zachary B. Wolf pernah mengkritik teori tersebut dalam sebuah tulisan serius,” The death of the McDonald’s peace theory, a dark day for capitalism”, pada Mei 2022 lalu.

Kini, ketika pertikaian berkecamuk antara Israel dan Palestina, jaringan restoran cepat saji ikonik Amerika itu justru berperang dengan dirinya sendiri. Waralaba McDonald’s di negara-negara Muslim di Timur Tengah, menentang keputusan McDonald’s Israel yang memberikan makanan gratis untuk militer Israel seiring perang. McDonald’s Arab Saudi, Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, Yordania, Mesir, Bahrain dan Turki kini menjauhkan diri dari mitra mereka di Israel, dan secara kolektif menjanjikan lebih dari 3 juta dolar AS  untuk mendukung warga Palestina yang dibombardir di Gaza.

“Mari kita semua menggabungkan upaya kita dan mendukung masyarakat di Gaza dengan segala yang kita bisa,”ujar pernyataan resmi McDonald’s Oman, yang menjanjikan 100 ribu dolar AS untuk upaya bantuan kemanusiaan di Gaza, diposting di X pada Ahad kemarin. “Kami memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk melindungi negara kami tercinta dan seluruh negara Arab dan Muslim dari segala kejahatan dan kebencian.”

Sejak mengumumkan dukungan terhadap tentara Israel, McDonald’s Israel telah mengubah akun Instagram-nya menjadi “pribadi” menyusul reaksi keras dari konsumen di negara-negara Arab dan Muslim. Meskipun McDonald’s merupakan salah satu merek Amerika yang paling ikonik, sebagian besar restorannya di seluruh dunia dimiliki dan dioperasikan secara lokal. Kantor pusat McDonald’s di Chicago, Amerika Serikat tidak menanggapi permintaan komentar dari Al Jazeera terkait kasus tersebut.

Kasus McDonald’s menyoroti dinamika geopolitik rumit yang harus dihadapi oleh merek-merek global di era di mana dunia usaha sering kali diharapkan untuk mempertimbangkan isu-isu sosial dan politik yang penting. Kontroversi ini juga menghidupkan kembali diskusi tentang apa yang disebut teori pencegahan konflik Golden Arches, yang dipopulerkan oleh Friedman dalam bukunya tahun 1999, “ The Lexus and The Olive Tree”. Teori bahwa negara-negara dengan kekayaan dan stabilitas yang cukup untuk mendukung jaringan besar seperti McDonald’s tidak berperang satu sama lain itu telah banyak dipertanyakan setelah konflik antarnegara yang memiliki merek tersebut, termasuk Perang Kosovo tahun 1998-99 dan invasi Rusia ke Ukraina.

McDonald’s tidak memiliki gerai di Gaza atau Tepi Barat yang diduduki, namun Israel telah bentrok dengan pejuang Hizbullah di negara tetangga Lebanon, yang memiliki gerai khas Amerika itu. “Kita pasti berada di dunia pasca-‘Teori Golden Arches tentang Pencegahan Konflik’,” kata Paul Musgrave, profesor ilmu politik di Universitas Massachusetts Amherst. “Meskipun Rusia dan Ukraina sama-sama memiliki McDonald’s pada tahun 2022, mereka tetap berperang. Kini, konflik-konflik di dalam kerajaan McDonald’s mencerminkan tekanan dan ketegangan yang sebenarnya di wilayah tersebut.”

McDonald’s bukanlah merek global pertama yang terlibat dalam kontroversi karena pendiriannya terhadap konflik Israel-Palestina. Unilever, satu perusahaan multinasional (MNC) yang berbasis di Inggris, tahun lalu mendapat kecaman dari investor karena gagal mengakui bahwa anak perusahaan es krimnya, Ben and Jerry’s, telah memutuskan untuk memboikot wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur pada tahun 2021.

Gerai retail Spanyol, Zara diboikot oleh beberapa pembeli tahun lalu setelah pimpinan waralabanya di Israel, pengusaha Kanada-Israel Joey Schwebel, menjadi tuan rumah acara kampanye untuk menteri sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir, di rumahnya.

Merek-merek besar juga terlibat dalam kontroversi mengenai catatan hak asasi manusia di negara lain seperti Cina. Pada 2021, jawara retail Jepang, MUJI,  menghadapi kritik setelah secara terbuka mendukung kapas yang ditanam di wilayah Xinjiang, Cina, tempat para aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim di sana dieksploitasi untuk kerja paksa.

Musgrave mengatakan bahwa impian kapitalisme dan perdagangan akan menenangkan nasionalisme dan bentuk-bentuk semangat lainnya, ternyata mempunyai beberapa kelemahan. “Punya waralaba McDonald’s yang berbeda dan berakhir pada sisi (retoris) yang berbeda, adalah contoh lain bagaimana politik merasuki segalanya,”kata Prof Musgrave. [dsy/Al Jazeera]

Back to top button