Market

Rencana Kabinet Gemoy, Buruk Bagi Daya Tarik Investor Global

Rencana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kabinet bisa berdampak buruk bagi kemudahan berbisnis dan membebani kas negara. Para analis telah memperingatkan bahwa masa-masa sulit mungkin akan terjadi bagi perekonomian Indonesia jika rencana membentuk kabinet gemoy ini terwujud.

Presiden mendatang disebut-sebut bakal menambah beberapa kementerian baru setelah ia dilantik pada 20 Oktober. Sejumlah politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengatakan bahwa mungkin ada sebanyak 41 menteri negara di kabinetnya yang akan datang.

Partai-partai di badan legislatif mulai mempertimbangkan untuk merevisi undang-undang Kementerian tahun 2008 yang saat ini membatasi jumlah kementerian menjadi 34 awal bulan ini. Versi rancangan undang-undang yang direvisi, yang disetujui oleh anggota Badan Legislasi DPR pada Kamis lalu (16/5/2024), menyatakan jumlah jabatan menteri ditentukan sesuai dengan kebutuhan presiden yang menjabat. 

Channel News Asia (CNA) dalam laporannya, Kamis (23/5/2024), mengutip beberapa pakar memperingatkan bahwa birokrasi yang rumit, peningkatan ruang lingkup korupsi dan risiko inefisiensi menjadi ciri khas masa jabatan pertama Prabowo, karena adanya perbedaan pendapat dan peningkatan belanja seiring bertambahnya jumlah kementerian.

Bhima Yudhistira, direktur eksekutif lembaga pemikir, Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) memperingatkan bahwa penambahan lebih banyak kementerian dapat membuat Indonesia menjadi tempat yang kurang menarik untuk berinvestasi dan berbisnis. “Lebih banyak kementerian berarti lebih banyak birokrasi dan lebih sedikit kepastian peraturan. Berbisnis, mendapatkan izin akan lebih rumit dan mungkin akan membuat beberapa investor asing enggan,” katanya kepada CNA.

Bhima menambahkan bahwa beberapa anggota kabinet terkadang tidak sepakat dalam beberapa permasalahan, memiliki prioritas yang berbeda dan mengeluarkan peraturan menteri bertentangan yang dapat mempersulit cara dunia usaha memperoleh izin dan perizinan.

Dalam indeks Kemudahan Berbisnis terbaru yang dirilis Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-73 dari 190 negara yang disurvei pada 2020. Dalam studi tersebut, negara kepulauan ini berada pada peringkat yang buruk dibandingkan negara-negara lain dalam berbagai bidang seperti kemudahan memulai usaha, penegakan kontrak, perdagangan lintas batas negara. dan mengurus izin mendirikan bangunan. Setelah jeda selama empat tahun karena kritik terhadap metodologi dan keakuratannya, studi lain dijadwalkan akan dirilis akhir tahun ini.

Lebih banyak kementerian juga berarti lebih banyak biaya operasional, dan lebih banyak menteri, yang keduanya akan menambah tekanan pada keuangan pemerintah. “Yang kita perlukan adalah jumlah kementerian yang lebih sedikit dibandingkan yang kita miliki saat ini, bukan lebih banyak. Meminimalkan jumlah kementerian dapat mengurangi beban kas negara kita,” kata Tauhid Ahmad, ekonom dari lembaga think-tank Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kepada CNA.

Tahun ini, Indonesia diperkirakan akan mengeluarkan dana sebesar Rp1.090 triliun (US$68 miliar), hampir sepertiga dari total belanja negara di Asia Tenggara, untuk menutupi biaya operasional 34 kementerian serta gaji dan tunjangan bagi sekitar 4,2 juta pegawai negeri. Para analis mengatakan penambahan lebih banyak kementerian berarti pengeluaran ini kemungkinan akan membengkak pada tahun 2025.

“Para menteri ini harus dibayar, belum lagi tunjangan yang akan mereka terima. Kalau ada wakil menteri maka kita harus membayar gaji dan tunjangan mereka juga. Itu belum termasuk tim penasihat, staf ahli, dan pegawai lain yang akan dimiliki kementerian baru ini,” pakar politik Ray Rangkuti mengatakan kepada CNA.

“Memiliki Kabinet yang lebih ramping dapat menghindari semua ini. (Memiliki lebih sedikit kementerian) dapat menyederhanakan birokrasi, pengambilan keputusan lebih cepat, dan pengeluaran pemerintah lebih efisien,” katanya.

Kabinet Balas Jasa 

Gagasan untuk menambahkan lebih banyak kementerian ke dalam kabinet presiden mendatang telah dilontarkan sejak bulan lalu oleh anggota Koalisi Indonesia Maju yang mendukung pencalonan Prabowo. “Ada kebutuhan (menambah lebih banyak menteri),” kata Budiman Sujatmiko, penasihat koalisi.

Prabowo ingin program strategisnya dilaksanakan secepatnya seperti makan siang gratis, sekolah terjangkau, perumahan rakyat di desa dan kota. Inisiatif makan siang gratis ini telah menjadi inti kampanye nasional Prabowo sebelum pemilihan presiden pada 14 Februari.

Meskipun koalisi tersebut menyatakan bahwa potensi pemerintahan yang lebih besar dimaksudkan untuk mempercepat janji-janji utama Pilpres 2019, para analis melihat langkah tersebut tidak lebih dari politik babi – penggunaan belanja pemerintah untuk proyek-proyek lokal – yang dirancang untuk mengakomodasi mitra koalisinya.

“Dengan kabinet yang besar, Prabowo dapat mengakomodasi banyak kepentingan, termasuk kepentingan yang kini berada di kubu oposisi,” kata Burhanuddin Muhtadi, peneliti tamu di ISEAS – Yusof Ishak Institute.

Pada pemilu bulan Februari, Prabowo didukung oleh koalisi sembilan partai politik, empat di antaranya berhasil mengamankan kursi di parlemen nasional yakni Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang pada awalnya mendukung saingan Prabowo, Anies Baswedan dalam pemilu, keduanya telah menyatakan minatnya untuk bergabung dengan partai koalisi Prabowo. Kedua partai juga sudah mengamankan kursi di parlemen 2024. 

Tim Prabowo masih mendekati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai lainnya yang memiliki cukup suara untuk mendapatkan kursi di parlemen mendatang. Untuk mendapatkan kursi di parlemen nasional, partai harus memperoleh 4 persen dari total jumlah suara nasional. 

“Prabowo bisa saja memberikan posisi menteri kepada partai-partai yang memenuhi syarat untuk duduk di parlemen, dan posisi wakil menteri bagi mereka yang tidak memenuhi syarat,” kata Burhanuddin, seraya menambahkan bahwa Prabowo juga perlu memikirkan kelompok sukarelawan dan individu yang berperan penting dalam kampanyenya, seperti Tim Digital Prabowo-Gibran (PRIDE), dan Projo. “Sekarang, setelah Prabowo menang (pemilu), semua orang pasti ingin mendapat bagiannya,” tambah Burhanuddin.

Banyak Kementerian Menambah Peluang Korupsi

Sejauh ini, hanya PDI-P yang menyatakan penolakannya terhadap kemungkinan pemekaran kabinet. Partai tersebut mewakili 19 persen kursi di parlemen saat ini, yang berarti mungkin hanya ada sedikit penolakan terhadap diberlakukannya revisi undang-undang ini. 

Namun, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menentang gagasan penambahan kementerian. “Semakin banyak kementerian, semakin besar sumber korupsinya,” kata guru besar hukum itu dalam diskusi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 8 Mei lalu.

Selama 10 tahun masa jabatannya, Presiden Joko Widodo telah menangkap enam anggota kabinetnya karena korupsi. Terbaru mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) kini diadili karena memeras bawahannya dan menerima gratifikasi senilai total Rp44,5 miliar.

Mahfud, yang mengundurkan diri dari Kabinet Joko Widodo untuk bersaing memperebutkan kursi wakil presiden pada pemilu bulan Februari, mengatakan perlu ada batasan berapa banyak menteri yang dapat dimiliki oleh seorang presiden. “Dulu menterinya 26 orang. Sekarang ada 34. Lalu ditambah (menteri lagi). Pemilu berikutnya, lebih banyak (menteri). Sebelum Anda menyadarinya, kami akan memiliki 60 (menteri). Negara ini akan hancur.”

Namun, sejumlah politisi menegaskan, jumlah kementerian dan jabatan menteri merupakan hak prerogatif presiden. “Terserah presiden untuk memutuskan berapa banyak menteri yang ingin dia miliki. Bukan hanya presiden yang akan datang (Prabowo) tapi semua calon presiden juga,” kata politikus Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan, Senin (20/5/2024). Dasco berharap revisi tersebut bisa dilakukan sebelum Prabowo dilantik Oktober.

Dahulukan Kebutuhan Negara Ketimbang Koalisi

Para analis mengatakan bahwa Prabowo harus mendahulukan kebutuhan negara dibandingkan kebutuhan mitra koalisinya dengan menciptakan kabinet yang lebih ramping daripada memperluas kabinet dan menunjuk teknokrat untuk mengisi jabatan-jabatan kementerian yang strategis.

Bhima dari CELIOS mengatakan pemerintahan Prabowo harus mengatasi kemerosotan ekonomi yang menimpa mitra dagang utama Indonesia seperti China dan Jepang. Pemerintahan mendatang juga harus menghadapi kenaikan harga komoditas akibat meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan perang yang sedang berlangsung di Ukraina.

Secara internal, pemerintahan Prabowo harus menjaga disiplin fiskal dan mencegah pengeluaran berlebihan, terutama karena Prabowo sudah menjanjikan berbagai program dan inisiatif ambisius selama kampanyenya.

Inisiatif makan siang gratis, misalnya, ditargetkan untuk memberi manfaat bagi 70 juta anak sekolah di seluruh Indonesia dan diperkirakan memelurkan dana hingga Rp450 triliun setiap tahunnya. “Prabowo harus lebih condong pada profesional dan birokrat karir dibandingkan politisi atau pemilik bisnis yang memiliki konflik kepentingan,” ujarnya.

Tauhid dari INDEF juga menyampaikan sentimen yang sama. “Kita membutuhkan menteri-menteri yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan pengalaman untuk mengatasi semua tantangan ini, bukan seseorang yang ditunjuk karena afiliasi politiknya,” kata Tauhid.

Kabinet yang lebih ramping juga akan membantu negara secara ekonomi. “Untuk mencegah defisit anggaran, kita harus efisien dalam belanja. Membuang-buang uang untuk membentuk kementerian tambahan tidak akan membantu.”

Back to top button