News

Proyek Jalur Sutra: Tangkal Hegemoni China di Nusantara

China lebih membutuhkan Indonesia. Tanpa Indonesia, Belt and Road Initiative tidak akan terwujud.

Proyek One Belt One Road (OBOR) atau kini bernama Belt and Road Initiative (BRI) merupakan pekerjaan besar Pemerintah China untuk menghidupkan kembali rute perdagangan bernama Jalur Sutra yang masyhur dimulai pada abad kedua sebelum masehi hingga abad ke-15 masehi. Presiden China Xi Jinping mengumumkan soal dimulainya mega proyek ini pada 2013.

Jalur Sutra modern itu bertujuan menciptakan sejumlah koridor ekonomi dengan menyambungkan banyak negara di dunia, meliputi rute darat dan laut.

Rute perdagangan darat yang dinamakan sebagai jalur sabuk ekonomi melintasi dari Eropa ke Asia Tengah hingga Asia Timur. Hal ini menyasar pembangunan infrastruktur, jalan raya, bandara, dan kereta api. Selanjutnya, rute laut sebagai jalur sutra maritim menghubungkan pelabuhan China dengan pelabuhan sepanjang Laut China Selatan, Samudera Hindia, Teluk Persia, Laut Merah hingga ke Teluk Aden. Pembangunan rute laut ini menargetkan sektor pelabuhan.

Dengan adanya koneksitas fasilitas ini seperti pelabuban, rel kereta api, tol, dan jalur udara tentu akan menyebabkan hubungan kerja sama antarnegara lebih mudah. Tujuannya, menciptakan free trade atau perdagangan bebas lebih luas dan tidak terbatas.

Proyek BRI sekaligus selaras dengan kebijakan China di bawah kepemimpinan Xi Jinping saat ini. Kebijakan ini menyangkut ‘China Dream’. Slogan ini muncul kali pertama ketika Presiden Xi Jinping memberikan pidato tentang kekalahan China di waktu perang dan dia mengatakan saatnya negara tersebut kembali ke panggung global.

Merujuk catatan CELIOS pada 2022, ada 147 negara menandatangani nota kesepahaman sama dengan China menyangkut proyek BRI. Indonesia sendiri masuk dalam skema BRI dengan menjadi negara penerima proyek infrastruktur BRI terbesar kedua, setelah Pakistan. Nominalnya, US$20,3 miliar. Terdapat 71 proyek di Indonesia yang merupakan proyek infrastruktur BRI. Salah satu bentuk program BRI di Indonesia yaitu proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.

Menurut Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono, proyek BRI bisa menguntungkan Indonesia baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Namun, dia juga mengingatkan Pemerintah Indonesia tetap waspada dan tak boleh lengah.

Jokowi Xi Jinping - inilah.com
Presiden Jokowi (kedua dari kiri) saat bertemu Presiden China Xi Jinping di Chengdu, Kamis (27/7/2023). (Foto: Antara)

Dave mengemukakan hal itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, berdasarkan dokumen BRI berjudul “Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st Century Maritime Silk Road”, proyek besar BRI terungkap tak hanya berfokus terhadap infrastruktur saja. Namun, juga penguatan hubungan budaya dengan negara-negara yang terlibat dalam proyek BRI. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya hubungan di sektor pendidikan dengan negara-negara BRI, melalui people to people terkait budaya, pendidikan, dan tenaga kerja.

“Dengan keberadaan BRI di Indonesia dapat menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi. Meski, terdapat banyak peluang juga dari BRI yang didapatkan oleh Indonesia,” kata Dave kepada Inilah.com, Kamis (10/8/2023.

Oleh karena itu, dia menyarankan Pemerintah Indonesia harus bersikap hati-hati dan tidak wajib menerapkan ketergantungan sebagai strategi jangka panjang.

“Indonesia terhadap China harus pandai bernegosisasi, lobi-lobi diplomatik, dan kompromi sebelum bernegosiasi harus paham terlebih dahulu, dengan keberadaan Belt and Road Initiative ini,” katanya.

Dalam arti luas, Dave menilai, sejatinya China lebih membutuhkan Indonesia. Sebab, tanpa Indonesia, BRI tidak akan terwujud. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pekerja dari China bekerja di Indonesia.

Wakil MPR RI Sjarifuddin Hasan turut menyoroti mega proyek BRI yang digulirkan China. Menurut pria yang akrab disapa Syarief Hasan ini, BRI harus dipahami sebagai program Pemerintah China. Artinya, program itu dibuat demi kepentingan negeri tirai bambu tersebut. Dengan begitu, Syarief mendorong pemerintah memiliki inisiatif menciptakan program sendiri.

“Dampaknya ke Indonesia mungkin ada. Indonesia harus bikin sendiri, yang bersinggungan dengan (program) OBOR/BRI,” kata Syarief.

Dia sendiri tidak yakin apabila salah satu wujud dari BRI di Indonesia diimplementasikan melalui proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pengerjaan sarana transportasi ini disebut politikus Partai Demokrat ini dikerjakan oleh Indonesia, tetapi membawa kepentingan berupa investor dari China.

Selanjutnya, selain mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menciptakan proyek sendiri, Syarief turut mengingatkan, dampak negatif dari BRI secara geopolitik. Hal ini antara lain menyangkut dominasi China di Asia Tenggara, di mana Indonesia sebagai salah negara di kawasan ini.

Pakar Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana memandang, Indonesia harus pandai mengelola kerja sama dengan China yang terjalin dalam skema BRI. Sebab, jika tidak, Indonesia tidak akan mengantongi keuntungan, tapi justru buntung.

“Buntung kalau Pemerintah Indonesia tidak memiliki posisi tawar. Tapi akan untung bila pemerintah memainkan posisi tawar Indonesia yang luar biasa, karena kita memiliki pangsa pasar yang besar,” ujar Hikmahanto.

Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan populasi menengah yang terus berkembang dan memiliki sumber daya alam yang sangat diminati oleh industri. Namun, dia menegaskan, bila Pemerintah Indonesia salah mengelola maka hegemoni China di Indonesia akan terjadi.

“Bila dikelola secara salah dan tidak komprehensif, justru kita akan dihabisi. Tenaga kerja asal China akan merajalela, publik Indonesia akan marah pada Pemerintah RI, sumber daya alam akan habis dan hanya dinikmati oleh segelintir orang,” kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia ini.

Tak lupa, Hikmahanto menyarankan Indonesia juga perlu melakukan evaluasi, terutama memahami strategi pemerintah China dalam menjalankan BRI. Sebab, jangan sampai pemerintah Indonesia yang kini dipimpin Presiden Jokowi justru naif dan tidak memahami grand design Pemerintah China.

Back to top button