Kanal

Prabowo: Menarik Gibran, Melupakan Potensi Kekuatan NU

Senin (23/10) akan menjadi penerang banyak hal yang selama ini remang-remang menyangkut manuver Jokowi, hubungannya dengan PDIP, politik dinasti dan sebagainya. Juga tentang bagaimana Prabowo memandang kekuatan Nahdlatul Ulama 

Bila Senin (23/10) besok Gibran Rakabuming Raka terbukti dideklarasikan menjadi bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto dari kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) maka segala isu, analisis, hingga sas-sus tentang hal itu terbuktilah sudah. Dinegasi dengan bagaimana pun, dibantah dengan sekian dalih mencla-mencle seganjil apa pun, terbukti bahwa selama ini memang ada permainan menuju Senin besok. Dan konsekuensi permainan, tentu saja ada yang (merasa) dipermainkan.

Barangkali, dalam cerita ini, pihak yang kecolongan itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang secara simbolik diwujudkan dalam tokoh Megawati Soekarnoputri.  

Tetapi, bukan cerita namanya bila alpa dari sisi resiprokal alias balas-berbalas. Konon, nama Gibran baru diperhitungkan menjadi salah satu aktor cerita ini, segera setelah PDIP—yang sekian lama menampik Ganjar– justru mendeklarasikan tokoh nasional dari Jawa Tengah itu pada 21 April lalu.  

Tetapi jadi tidaknya Gibran besok resmi mendampingi Prabowo, deklarasi capres oleh PDIP pada 21 April itu banyak disebut analis politik nasional telah melukai hati Presiden Jokowi. Sementara ada ketentuan dirinya tak lagi punya peluang untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024, Jokowi tampaknya masih ingin memastikan aneka programnya yang tak selesai, bisa dituntaskan. Barangkali karena itu, sejak akhir tahun lalu hingga awal tahun ini warga negara 062 sempat menyaksikan riuh-rendahnya kalangan yang cukup alot mendukung dua hal: penundaan Pemilu, dan setelah isu itu layu, disusul wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode. Kedua desakan ‘publik’ itu muaranya sama: perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.

Kita tahu, kedua usul ‘progresif’ dalam demokrasi Indonesia itu luruh sebelum bertumbuh. PDIP, melalui Megawati sendiri, menolak keras ide ganjil tersebut. Dalam sebuah video di YouTube, pada saat pidato HUT PDIP awal 2023 lalu, Megawati menolak gagasan jabatan presiden tiga periode itu. “Ya kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua kali. Bukan karena Pak Jokowi nggak pinter. Ngapain saya jadiin kalau nggak pinter?…”kata Mega saat itu.

Pada titik itulah Jokowi mulai melirik Ganjar sebagai penerus yang ia harapkan komit menjalankan garis “Jokowinomics” yang ia rintis sejak 2014 lalu. Masih dalam fase timang dan elus, tiba-tiba PDIP yang sebelumnya menafikan dan cenderung mem-bully Ganjar, pada pekan keempat April itu mendeklarasikan Ganjar sebagai calon presiden yang mereka usung untuk kontestasi 2024. Konon, tapi terlalu kuat untuk diabaikan, saat itulah Jokowi mulai sakit hati terhadap PDIP, terlebih sosok Megawati.

post-cover

Bagi banyak analis politik nasional, momen deklarasi Mahfud MD menjadi calon wakil presiden Ganjar Pranowo menjadi penanda talak resmi hubungan Megawati dengan Presiden Jokowi. Di antara mereka ada pengajar Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul. Bagi Ahmad, tak hadirnya Jokowi dalam deklarasi cawapres pilihan PDIP itu, tak sekadar karena sang Presiden tengah melakukan lawatan ke Cina dan Arab Saudi. Itu sesuatu yang ‘’by-design”.

“Bisa dimaknai bahwa PDIP ingin segera menegaskan, memutus ketergantungan politiknya pada figur Joko Widodo,” ujar Ahmad kepada sebuah situs berita nasional. Tanda tersebut juga menguatkan clue lain, bagaimana sikap PDIP menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres. Usai pengumuman keputusan MK yang membuka peluang Gibran untuk maju, alih-alih segera memanggil kader yang sebelumnya disebut-sebut akan dipanggil PDIP pada Rabu (18/10/2023) itu, Sekjen partai, Hasto Kristiyanto, menundanya hingga saat ini.

Pemanggilan Gibran malah diganti dengan mengumumkan Mahfud MD sebagai bakal cawapres Ganjar, yang dihadiri seluruh parpol anggota koalisi PDIP. “Artinya, PDIP sudah tidak lagi mempertimbangkan variable Jokowi dalam menjalankan mesin politiknya,” kata Ahmad.

Begitu pula pandangan Direktur Eksekutif Politika Research and Consulting (PRC), Rio Prayogo, yang meyakini bahwa kini hubungan Mega-Jokowi sudah terang benderang. Mereka tak lagi sejalan, bahkan untuk konteks 2024, telah berhadapan diametral.

Rio menunjuk kehadiran Jokowi dan Gibran di acara Rakernas Projo, yang menghasilkan keputusan dukungan organ pro-Jokowi itu kepada Prabowo. Rio menunjuk Budi Arie Setiadi, yang selain merupakan ketua umum Projo yang bertanggung jawab atas acara tersebut, juga adalah menteri Jokowi. Ia tak mungkin menggelar dan mengumumkan dukungan kepada Prabowo tanpa restu Presiden. “No doubt about that. Komunikasi tersumbat, dialog buntu. Maka terjadilah perpisahan politik antara presiden dan partainya,” kata Rio.

Rio mengaku, sebenarnya sulit membayangkan Jokowi bakal berpisah dengan PDIP. Apalagi, Jokowi dan keluarganya telah tujuh kali mendapat keistimewaan maju dalam kontestasi Pemilu. “Jokowi dua kali maju di Pilwalkot Solo, satu kali di Pilkada DKI, dan dua kali sebagai presiden (atas dukungan kuat PDIP),”kata Rio. Sisanya, Gibran maju meneruskan Jokowi di Solo, dan menantunya Bobby Nasution menjadi wali kota Medan pun dengan menumpang PDIP sebagai limousine.

“Tujuh kali karpet merah untuk keluarga Jokowi disiapkan PDIP. Kalau hanya melihat fakta politik itu, harusnya sih tidak berani (Jokowi menentang Megawati),” ujar Rio.

Yang menurut Rio membuat Jokowi berani, tak lain karena kekuatan dirinya sebagai tokoh. Bukan tidak mungkin, kata dia, arah dukungan Presiden di Pilpres 2024 itu akan sangat berpengaruh pada elektabilitas PDIP. Dia mewanti-wanti untuk tidak melupakan bahwa proporsi pendukung Jokowi di internal PDIP sendiri mencapai 20-30 persen. Di survei-survei mutakhir, kata dia, angka itu bahkan cenderung terus naik. Untuk itu, dalam posisi yang kini sudah berhadapan, Rio menilai PDIP harus segera menyiapkan langkah jika memang dukungan Jokowi untuk urusan 2024 itu tidak kepada PDIP dan calon mereka. “Karena itu sangat berdampak dan bisa mengancam elektabilitas PDIP, jika Jokowi bertarung melawan Megawati,” kata dia.

Persoalannya, tidakkah PDIP-Megawati akan merasa dikhianati Jokowi, orang yang selama ini mereka besarkan? Untuk soal ‘membesarkan’ Jokowi itu, Megawati bukan hanya satu-dua kali mengingatkan ‘petugas partai’-nya itu. Yang cenderung sangat menohok tampaknya sindiran yang ia nyatakan pada perayaan HUT PDIP, 10 Januari 2022 lalu. Waktu itu Mega mengatakan, bahwa kalau tidak ada PDIP,”… Jokowi, kasihan dah…” Tentu saja, waktu itu pun para pendukung Jokowi menyayangkan pernyataan itu.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, yakin bahwa langkah kuda Jokowi akhir-akhir ini telah membuat PDIP dan Mega merasa dikhianati. Bagaimanapun, kata dia, PDIP adalah partai asal dan selalu menjadi payung Jokowi sejak dia memulai karir sebagai politisi. “Pasti akan merasa dikhianati,”kata Lucius. Menurut Lucius, Jokowi tidak bisa dikatakan kader yang baik manakala untuk urusan pindah dukungan kepada partai lain tidak pernah dia bicarakan dengan partainya.  

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, masih meyakini Jokowi akan terus bermain di dua atau bahkan banyak kaki. Itu tampaknya berkaitan dengan posisinya sebagai presiden, yang secara aturan maupun common sense politik seharusnya netral, meski Jokowi sendiri jauh-jauh hari sudah bilang mau ‘cawe-cawe’.  “Sebagai presiden, dia akan mendukung siapa pun yang mencalonkan diri, wabil khusus capres-cawapres yang punya program melanjutkan legacy dia,” kata Ali.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, menyepakati pandangan soal masih kuatnya Jokowi. Selain ada bukti tertulis berupa hasil survei bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap dirinya sangat tinggi, jangan pula dilupakan bahwa selama berlangsungnya proses Pemilu dan Pilpres, Jokowi adalah presiden. “Jokowi masih presiden, masih memegang kekuasaan yang besar. Ada kendali di tangannya. Ia memiliki semua sumber daya kekuatan politik, hukum, finansial, jaringan, birokrasi. Semua instrumen negara ada di dalam genggamannya,”kata Ujang. Hal itu pula yang membuat banyak koalisi ingin meraih dukungan Jokowi, termasuk yang sangat telanjang dilakukan koalisi Prabowo akhir-akhir ini.

Kecenderungan dukungan Jokowi kepada Prabowo itu mulai memicu reaksi di tingkat massa akar rumput PDIP. Pada acara Konsolidasi Relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD yang dihadiri Puan Maharani di Surabaya, Sabtu (21/10/2023), sekelompok orang yang mengatasnamakan diri “Relawan Rumah Jokowi Jawa Timur”, mengamuk. Diawali Ketua DPD Relawan Rumah Jokowi, Heru Purnomo, yang mengungkap kekecewaan karena menurutnya Jokowi tidak mendukung Ganjar, ia kemudian membuka dan membuang ke lantai seragam kemeja putihnya yang bertuliskan “Rumah Jokowi Gerakan Kebaikan”. Bertelanjang dada, Heru berteriak lantang,”Mohon maaf, kami akan melepas baju yang kami cintai, karena kami sudah kecewa. Kami kecewa dengan Jokowi,” kata Heru di atas panggung Grand City Surabaya, diikuti puluhan anggotanya.

Puan, yang menyaksikan adegan itu, hanya mengatakan aksi tersebut wajar. Menurut Puan, itu dilakukan Relawan Rumah Jokowi karena begitu mencintai Presiden RI tersebut. “Itu karena kecintaan Rumah Jokowi kepada Jokowi, sampai buka baju,” kata Puan.

Di level kelas menengah pendukung Jokowi, tidak juga tak ada riak. Awal pekan lalu, Senin (16/10/2023), ratusan orang yang didominasi para pendukung Jokowi sejak 2014, berkumpul menunjukkan kekecewaan kepada orang yang mereka dukung mati-matian selama hampir satu dekade itu. Kini, terutama setelah terlukai fenomena dilibatkannya lembaga (tinggi) negara, Mahkamah Konstitusi (MK), dalam apa yang mereka sebut “urusan domestic” Jokowi, ratusan orang itu mengaku kesal. Intinya, ratusan figur itu mempertanyakan sisi kepantasan untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam proses bernegara yang terasa kental dengan aroma konspirasi itu.

Mereka pun menyerukan kekecewaan itu pada sebuah pernyataan, Maklumat Juanda. Di antara ratusan nama, terdapat para penyokong kuat naiknya Jokowi ke kekuasaan, yakni Goenawan Mohamad, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Supelli, Allisa Wahid, Prof (Emeritus) Mayling Oey-Gardiner, Prof Sulistyowati Irianto, Prof Riris K. Toha Sarumpaet, Prof Daldiyono Hardjodisastro, Prof Manneke Budiman, Natalia Soebagjo, Oma Komaria Madjid, Betti Alisjahbana, Faisal Basri, Saiful Mujani, Todung Mulya Lubis, Ikrar Nusa Bhakti, Usman Hamid, F. Budi Hardiman, Ulil Abshar Abdalla, Joko Anwar, Laksmi Pamuntjak, Tosca Santoso, Ayu Utami, Sandra Hamid, Zumrotin K. Susilo, S. Indro Tjahjono, Pdt Saut Sirait, St Sunardi, dan sebagainya.

Oh ya, PDIP sendiri bukan tidak mencoba membangun benteng untuk itu. Jauh-jauh hari, Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristiyanto telah mengingatkan seluruh kader soal akan jatuhnya sanksi pemecatan untuk mereka yang tak mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres pada Pilpres 2024. “Dipersilakan untuk mundur atau menerima sanksi pemecatan jika ada yang membelot dengan mendukung calon lain,” kata Hasto, saat membuka Rapat Kerja Daerah III, DPD PDIP Provinsi Jambi, akhir Juli 2023. Tapi bukankah sanksi itu tidak akan ada artinya bagi kader yang memang sudah ingin lepas keluar partai?

post-cover

Sebenarnya, bila Prabowo memilih Gibran, ia seolah kurang peduli pada apa yang sering dikatakan para pengamat politik sebagai kekuatan Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, NU diyakini merupakan ceruk besar massa pemilih. Dengan jumlah kaum nahdliyin yang didaku mencapai lebih dari 95 juta orang, kelompok ini dianggap signifikan menentukan kemenangan seorang kandidat.

Misalnya, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengemukakan data adanya 20 persen warga Indonesia mengaku sebagai anggota NU. Rinciannya, ada 8,6 persen orang mengaku anggota aktif NU dan 11,7 persen sebagai anggota tapi tak aktif.

Data yang didaku pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, juga mendukung hasil riset SMRC. Dalam sebuah video YouTube, “Orasi Denny JA”, diungkap terjadinya kenaikan yang sangat drastis dari jumlah masyarakat yang mengaku sebagai bagian dari NU. Dari persentase publik yang merasa menjadi bagian dari NU sebanyak 27,5 persen di tahun 2005, pada 2018 lalu kalangan ini naik menjadi 56,9 persen.

Karena itu, lihat saja, dua koalisi peserta Pilpres, Koalisi PDIP dan Koalisi Perubahan, sama-sama memilih figur yang bisa dianggap representasi NU. Muhaimin Iskandar dipilih mendampingi Anies oleh Koalisi Perubahan, sementara Mahfud MD dipilih Koalisi PDIP sebagai sekondan Ganjar. Wajar bila awalnya Koalisi Indonesia Maju pun diprediksi akan melakukan hal yang sama. Dengan menggandeng Khofifah, Yenni Wahid, atau bila mungkin Ketua PB NU, Yahya Staquf, misalnya. Atau setidaknya Erick Thohir, yang telah di-NU-kan via ‘pentahbisan’ sebagai kader GP Anshor jauh-jauh hari.

“Siapa pun presidennya, yang menang sejatinya adalah NU dan nilai-nilai yang kita perjuangkan bersama,” kata KH Ibnu Mulkan, seorang tokoh penting di NU. Itu komentarnya berkaitan dengan kecenderungan adanya tokoh NU di setiap koalisi Pilpres.  

Namun tampaknya, bagi Prabowo, kekuatan Jokowi lebih dari semua itu. [dsy/diana/vonita/clara/reyhaanah]

Back to top button