News

Pita Limjaroenrat Gagal Jadi PM Thailand, Tapi Masih Ada Peluang

Pemimpin Move Forward Party (MFP), Pita Limjaroenrat, gagal menjadi perdana menteri Thailand setelah tidak mendapat cukup dukungan dalam pemungutan suara oleh 750 anggota parlemen, Kamis (13/7/2023) malam.

Penghitungan suara akhir adalah 324 suara setuju, 182 menentang dan 199 abstain, di antara 705 anggota yang berpartisipasi. Pita membutuhkan 375 suara—mayoritas sederhana dari 749 suara gabungan.

Meski demikian, peluang politikus berusia 42 tahun itu untuk memimpin Thailand masih terbuka dalam pemilihan minggu depan.

“Kami menerima hasilnya, tapi kami tidak mundur. Hasilnya tidak seperti yang kami harapkan. Kami akan bekerja keras untuk mengumpulkan dukungan untuk pemungutan suara berikutnya. Saya akan menyusun strategi lagi untuk memastikan lain kali kami mendapatkan suara yang dibutuhkan,” kata Pita Limjaroenrat kepada wartawan sesaat setelah hasil diumumkan.

Kegagalan ini cukup mengejutkan, setelah partainya menang besar dalam pemilu dua bulan lalu sekaligus menyingkirkan pemimpin petahana Prayuth Chan-ocha.

Janji kampanye Limjaroenrat untuk membentuk pemerintahan progresif dan transparan kepada para pemilih Thailand, terutama proposal yang dulunya tidak terpikirkan untuk mengubah undang-undang ‘lese majeste’ Thailand –juga mengadu mereka dengan lembaga konservatif yang mengontrol 250 anggota senat hasil penunjukan.

“Beri Thailand kesempatan untuk memiliki pemerintahan mayoritas sesuai dengan keinginan rakyat,” katanya dalam pesan video pada Selasa (11/7/2023), mengulangi seruan kepada anggota parlemen untuk mendukungnya dalam pemungutan suara bikameral.

“Saya bisa menjadi perdana menteri yang menjalankan negara yang merangkul beragam impian setiap orang,” imbuh Limjaroenrat.

Namun, pada Rabu (12/7/2023) sore –kurang dari sehari sebelum pemungutan suara– upaya Limjaroenrat untuk merebut kekuasaan langsung dihantam pukulan ganda.

Pukulan pertama, Komisi Pemilu Thailand merekomendasikan Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi Limjaroenrat sebagai anggota parlemen karena kepemilikan sahamnya di sebuah perusahaan media yang melanggar aturan pemilu.

Kedua, Mahkamah Konstitusi mengatakan telah menerima pengaduan terhadap Limjaroenrat dan partainya atas rencana untuk mengubah undang-undang lese majeste, Pasal 112 KUHP yang menghukum penghinaan monarki hingga 15 tahun penjara.

Tindakan itu merupakan kemunduran ke tahun 2020, ketika pengadilan memerintahkan partai pendahulu MFP, yakni Future Forward Party (FFP), dibubarkan dan beberapa pemimpinnya dilarang berpolitik selama satu dekade karena melanggar peraturan pemilu.

Ke dalam pelanggaran itulah Limjaroenrat –anggota parlemen periode pertama dari keluarga yang berpengaruh secara politik dengan pengalaman bekerja di sektor teknologi– melangkah, menjadi pemimpin Move Forward Party atau MFP yang baru dibentuk.

Posisi itu mendorong lulusan Universitas Harvard itu ke panggung utama politik Thailand, yang diguncang oleh gerakan reformis muda yang membuat ribuan orang turun ke jalan, yang tak jarang menyebabkan bentrokan di jantung Kota Bangkok.

Para pengunjuk rasa muda menghadapi penguasa yang didukung militer secara langsung, menyerukan reformasi mendalam, konstitusi baru dan mempertanyakan pengaruh monarki. [Reuters]

Back to top button