Market

Petani Sawit Desak UE Cabut UU Deforestasi atau Boikot Produknya

Merespons terbitnya UU Anti Deforestasi dari Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR), petani sawit Indonesia mendesak pencabutan. Kalau tidak, masyarakat Indonesia perlu memboikot produk Eropa.

Hal itu disampaikan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr Gulat ME Manurung, Jakarta, dikutip Kamis (30/2/2023).

“UU Deforestasi dari Uni Eropa harus dicabut, tidak ada revisi. Kami petani sawit tidak ingin tawar-menawar, harus dicabut. Kalau tidak, seluruh petani dan pekerja sawit seluruh Indonesia siap memboikot produk Eropa. Kemarin, kami baru saja menggelar aksi keprihatinan yang diikuti Apkasindo, Aspek-Pir (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat), Samade (Sawitku, Masa Depanku), Santri Tani Nahdlatul Ulama, dan Formasi) (Forum Mahasiswa Sawit) Indonesia dari 22 provinsi penghasil sawit Indonesia,” tuturnya.

Kata Gulat, ribuan bahkan jutaan petani dan pekerja sawit se-Indonesia, siap memboikot berbagai produk yang berasal dari Uni Eropa, jika UU anti deforestasi tidak dicabut. “Kami juga bisa melakukan kampanye negatif kepada mereka kalau UU tidak dicabut. Semua produk Uni Eropa kami lawan,” tegasnya.

Informasi saja, Komisi Uni Eropa menyetujui pemberlakuan UU anti deforestasi sejak 6 Desember 2022. Beleid ini mengatur dan memastikan konsumen di Uni Eropa (UE) tidak akan membeli produk yang terkait deforestasi dan degradasi hutan. Di mana, salah satu pasalnya mengelompokkan sawit sebagai tanaman beresiko tinggi (deforestasi). “Ketentuan itu tentu saja sangat memengaruhi salah satu produk andalan Indonesia, yaitu kelapa sawit,” ujar Gulat.

Sejatinya, kata Gulat, pemerintah Indonesia sudah menerapkan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan, melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sejak 2011. Dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) pada 2019. Dan, seluruh pelaku usaha atau korporasi dan petani sawit, diwajibkan memiliki ISPO, melalui Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO.

“Sebelumnya, hanya korporasi yang diwajibkan (mandatory) ISPO. Sementara petani sawit hanya sukarela (voluntary). Kini semuanya wajib. Artinya, pemerintah Indonesia concern terhadap tata kelola sawit berkelanjutan yang jelas-jelas anti deforestasi,” paparnya.

Hanya saja, kata Gulat, per 2022, petani sawit yang berhasil mendapatlan sertifikasi ISPO baru 24.388 hektare (ha), atau setara 0,35 persen dari luasan total lahan sawit petani yang mencapai 6,87 juta ha. “Memang ini menjadi masalah besar karena batas wajib ISPO untuk petani dan korporasi sudah dipatok oleh pemerintah di tahun 2025. Namun demikian yang perlu dicatat adalah semangatnya pemerintah dalam mencapai dan menuju sawit Indonesia berkelanjutan,” ujar Gulat.

Asal tahu saja, Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara bukanlah termasuk pengimpor tertinggi untuk minyak sawit Indonesia. Mereka berada di posisi 4 atau 5, sebanyak 4,5 juta ton/tahun. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), Tiongkok dan India merupakan pangsa pasar terbesar bagi minyak sawit Indonesia. Ekspor CPO ke kedua negara tersebut, mencapai 29 persen dari total nilai ekspor sawit Indonesia.

Back to top button