Kanal

Media Sosial Ikut Tumbangkan Perbankan AS

Krisis kepercayaan di sektor perbankan AS membuat nasabah menarik uangnya atau bank run termasuk Silicon Valley Bank dan Credit Suisse, dan baru-baru ini, First Republic Bank serta PacWest Bancorp yang berbasis di California. Ternyata media sosial ikut memainkan peran dalam kejatuhan bank-bank tersebut.

Bank run merupakan peristiwa ketika banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena tidak percaya bahwa bank mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu. Istilah ini juga sering disebut dengan rush money.

Bank run beberapa kali terjadi di Indonesia. Bank run terbesar salah satunya terjadi pada 1992 yang menyebabkan tumbangnya Bank Summa. Namun, tahun 1997/1998 akan dikenang sebagai sejarah terkelam dalam peristiwa terkait bank run di Tanah Air.

Bank run pada tahun tersebut sampai membuat 16 bank tutup. Bank run atau rush money juga sempat membuat Bank Central Asia (BCA) oleng. Pada tahun 1998, BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Kenapa terjadi bank run?

Ada beberapa pemicu bank run. Seperti rasio likuiditas bank atau Loan-to-Deposit Ratio (LDR) secara ideal berada di kisaran 80-90 persen. Semakin rendah LDR, maka dapat mensinyalir bahwa bank tersebut tidak menghasilkan margin yang tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi LDR, apalagi di atas rata-rata, walaupun margin lebih tinggi, terdapat risiko bahwa bank tersebut tidak memiliki dana yang cukup saat terdapat kebutuhan dana.

Selain itu saat terjadi penarikan dana abnormal, maka bank terpaksa menjual aset. Yang menambah kekhawatiran saat aset yang dimiliki dijual di bawah nilai pasar, maka bank akan merealisasikan kerugian yang semakin tinggi.

Bank run terjadi akibat nasabah dari bank tersebut, baik individu maupun korporasi tidak dapat menarik dana yang cukup untuk menjalankan operasional, termasuk membayar gaji karyawan. Adanya bank run dan kesulitan likuiditas pada suatu bank, akan membuat naiknya premi risiko sehingga bank tersebut terpaksa mendapatkan pendanaan dengan biaya bunga yang lebih tinggi.

Pada akhirnya, di saat yang sama, terdapat risiko domino effect terhadap bank lain secara keseluruhan dan sektor riil. Hal ini akan mengakibatkan risiko sistemik atau terjadinya kegagalan sistem keuangan dan berdampak pada pelemahan ekonomi.

Bank run pada bank digital

Tidak seperti bank tradisional, yang membayangkan orang-orang mengantri di cabang-cabang untuk menarik uang mereka secara langsung, bank digital menghadapi efek bola salju yang lebih cepat. Ini karena obrolan di media sosial. Status dan komentar di media sosial bisa menambah rasa panik nasabah.

Lihat saja unggahan di Twitter dengan informasi negatif tentang Silicon Valley Bank yang berkontribusi pada penarikan deposan sebesar US$40 miliar atau sekitar 23 persen dari total simpanan dalam hitungan jam. Akibatnya memacu kegagalan bank. Sementara Washington Mutual pada 2008 membutuhkan waktu lebih lama yakni sembilan hari untuk kehilangan US$17 miliar (9 persen dari simpanannya).

Daniel Beunza, Profesor Ilmu Sosial Keuangan di City, University of London mengatakan, bank digital seperti mendapat ancaman baru terhadap stabilitas keuangan yang membuat regulator dan investor terjaga di malam hari. Seperti aset beracun dari krisis keuangan global 2008, mereka berasal dari kombinasi teknologi baru yakni media sosial, khususnya Twitter – dan kompleksitas lama sektor keuangan, dalam hal ini ‘perbankan fraksional’.

Ia memaparkan, bank hanya menyimpan sebagian kecil dari uang yang dipercayakan kepada mereka, menginvestasikan sisanya untuk keuntungan. Ini berarti jika cukup banyak deposan meminta uang mereka kembali –biasanya karena takut gagal– bank tidak akan memiliki cukup uang.

“Parahnya lagi, kekhawatiran terhadap satu bank dapat menyebar ke bank lain, menyebabkan kepanikan terhadap industri perbankan, meluasnya kegagalan bank, dan akhirnya, resesi ekonomi,” kata Prof Beunza, mengutip The Conversation.

Krisis Silicon Valley Bank menunjukkan bagaimana bahaya perbankan fraksional dapat diperparah oleh media sosial. Berbeda dengan situasi seperti antrean nasabah di kantor cabang bank, informasi negatif sulit menyebar dari satu nasabah ke nasabah lain sebelum ada media sosial.

Seperti dalam makalah penelitian baru yang tidak ditinjau oleh rekan sejawat, peningkatan tweet negatif tentang Silicon Valley Bank sebelum keruntuhannya pada 10 Maret diikuti oleh penurunan harga sahamnya, yang dilihat sebagai proksi untuk simpanan. Para penulis menyimpulkan bahwa “media sosial memang berkontribusi pada larinya dana nasabah Silicon Valley Bank”.

Menghindari bank run

Untuk menghindari jenis penularan yang mengarah pada bank run digital, manajemen bank, investor, dan regulator perlu berhati-hati terhadap apa yang mereka katakan. Bahkan jika mereka tidak memposting di media sosial, investor dan pihak berkepentingan lainnya, dan diskusi mereka dapat memengaruhi sentimen tentang bank.

Kegagalan Credit Suisse bisa dibilang dimulai dengan komentar yang tidak masuk akal dari ketua investor besar di bank tersebut, Ammar Al Khudairy dari Saudi National Bank. Dia tidak berkomentar secara terbuka tentang masalah ini tetapi mengundurkan diri dalam waktu dua minggu ‘karena alasan pribadi’ menurut sebuah pernyataan di bursa saham Saudi.

Komunikasi –atau kurangnya komunikasi– juga dikaitkan dengan penurunan harga saham baru-baru ini dan hilangnya kepercayaan pada First Republic Bank. Keputusan manajemen untuk tidak menjawab pertanyaan setelah presentasi kritis kepada investor pada 25 April menarik perhatian media sebelum aset bank tersebut disita regulator AS dan dijual ke raksasa perbankan AS JP Morgan pada 1 Mei.

Pemerintah sebenarnya juga dapat membantu mencegah bank run digital. Deutsche Bank mengalami penurunan tajam dalam harga sahamnya pada 24 April, beberapa menit setelah biaya mengasuransikan utangnya terhadap gagal bayar melonjak ke level tertinggi dalam empat tahun. Tapi bank run di Deutsche tidak terjadi. Kanselir Jerman Olaf Scholz secara terbuka menepis setiap perbandingan antara Deutsche dan bank Swiss yang gagal, yang tampaknya meyakinkan pasar.

Sebenarnya media sosial dapat memberikan solusi yang belum sempurna. Alih-alih hanya menghitung jumlah tweet dengan ‘sentimen negatif’, manfaatkan kemampuan Twitter untuk mengungkapkan pendapat yang lebih luas, termasuk reaksi pengguna lain terhadap satu sama lain, dan kontroversi yang muncul. Tentunya lewat pesan-pesan positif dengan alasan yang masuk akal yang dapat mengimbangi bahkan mengalahkan sentimen negatif.

Lihat Juga
Close
Back to top button